13 Paradoks dalam Masyarakat New Wave

marketeers article

Di luar konteks pemasaran,  tampaknya  istilah “New Wave”  bisa dipakai untuk menggambarkan kondisi masyarakat kontemporer.  Dalam sejarah filsafat maupun sosiologi, kondisi ini sudah mengalami evolusi dengan istilah yang tidak lepas dari konsep “modernitas”. Sebab itu, muncul istilah pramodern dan modern. Fase modernitas sendiri juga mengalami evolusi dengan istilah postmodernity, late-modernity, advance modernity, Reflexive modernity, maupun liquid modernity . Konsep baru tentang modernitas ini bermaksud ingin merevisi konsep lama modernitas yang sudah tidak relevan lagi dengan zamannya. Namun revisi ini tidak meninggalkan 100 persen konsep modernitas yang lama.

Sejauh dielaborasi, semua istilah itu muncul paling baru sepuluh tahun yang lalu—jauh sebelum euforia media sosial maupun revolusi internet menggila seperti sekarang. Paling santer Jurgen Habermas, pemikir Jerman, yang membaca ulang filsafat modernitas pasca tragedi 9/11—yang juga sepuluh tahun silam. Pembahasan dunia internet secara filosofis muncul dalam bukunya Gordon Graham berjudul “The Internet: Philosophical Inquiry”. Buku ini diterbitkan pada tahun 1999—jauh sebelum muncul Facebook dan Twitter.

Namun, setelah melalui tahap pencarian—mungkin karena keterbatasan sumber/literatur—tidak (ditemukan/ada) filsuf yang mengkaji kondisi paling kontemporer (lengkap dengan euforia media sosial maupun revolusi internet). Soal ini, tulisan ini terbuka untuk dikoreksi.  Justru, istilah yang baru untuk mengkaji kondisi kontemporer disumbang dari disiplin ilmu marketing, yakni New Wave Marketing yang sebagian besar menggambarkan kondisi kontemporer, tidak hanya lanskap marketing tapi juga kondisi sosial masyarakat.

Di tengah situasi yang berubah dan mengusung kebaruan seperti sekarang (seperti yang ada dalam paparan tentang New Wave), paling tidak saya menyisir beberapa paradoks atau problem yang dihadapi oleh masyarakat modern sekarang ini.

1.         Transparency Vs Privacy

Era sekarang ditandai dengan transparansi di segala bidang. Hampir semua jejak rekam hidup kita (person/merek) ada di Google. Semua serba transparan dan tersaji di internet dan bisa diakses dengan gampangnya oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Fenomena Wikileaks juga menjadi pertanda bahwa tak ada yang bisa disembunyikan oleh siapa pun, termasuk kekuasan negara sekalipun. Namun, di kutub lain, ada problem privasi. Privasi di era sekarang seperti dipeloroti. Contoh kasus, para pengguna pernah memprotes ketidakamanan data di Facebook. Sementara itu, hidup di era sekarang seolah “dimata-matai” oleh kamera di mana-mana. Dengan gampang, orang memotret dan mengunggahnya di internet tanpa seizin dan sepengetahuan yang dipotret. Transparansi di satu sisi menimbulkan problem privasi di sisi lain. Seolah tidak ada lagi tempat bagi privasi. Ruang privat seolah dilebur dalam ruang publik untuk jadi tontonan maupun konsumsi bersama.

2.         Freedom Vs Surveillance

Era sekarang ditandai juga dengan kebebasan. Dulu, di zaman legacy (baca: Rezim Soeharto), negara paling paranoid kalau melihat orang berkumpul. Sebab itu, cara mengontrol warga tak lain dengan jalan membatasi kebebasan mereka untuk berkumpul—dalam bentuk organisasi maupun serikat. Kontrol ketat ini untuk menghindari kudeta, makar, dan hal-hal yang dianggap mengancam negara.  Sekarang, di era media sosial, orang bebas bicara, beropini apa saja, bahkan bebas mengkritik, dan sebagainya. Namun, sebenarnya, kebebasan bicara di media sosial ini bisa menjadi alat pengawasan (surveillance) baru bagi penguasa untuk mengontrol warganya. Semakin kita banyak bicara di media sosial, sebenarnya semakin mudah penguasa mengontrol kita karena semakin banyak data yang bisa diakses. Kasus menarik terjadi di Mexico minggu ini. TIME melaporkan dua orang pekicau di Twitter ditemukan tewas dibunuh dengan jasad digantung di jembatan. Di dekat jasad, terpasang plakat yang berbunyi “This is going to happen to all Internet snitches. Pay attention, I’m WATCHING you.” Nah, media sosial bisa menjadi alat untuk memata-matai.

3.         Horizontal Vs Vertikal

Pada banyak hal, horisontalisasi telah terjadi. Namun, di sini lain, legacy juga semakin kuat. Misalnya, masyarakat horisontal masih berbenturan dengan aturan main/regulasi yang dibuat pemerintah. Lain lagi di ranah agama. Meskipun orang itu memegang BlackBerry, sering nge-tweet, maupun pegang iPad dia bisa sangat vertikal alias fanatik kalau sudah menyangkut agama maupun ideologi. Ia bisa sangat liberal di media sosial, tapi bisa menjadi sangat patuh dalam ideologi tertentu. Jadi, horizontal dan vertikal ini masih hidup berdampingan, saling berbenturan, tapi juga saling menguatkan.

4.         Facility vs Risk

Internet, media sosial, dan segala produk modernitas sekarang ini benar-benar memanjakan masyarakat sekarang. Mereka memudahkan (Bahasa Latin facile: mudah”) proses kerja maupun komunikasi orang-orang saat ini. Bahkan, kemudahan ini belum terjadi (mungkin) sepuluh dekade yang lalu. Namun, di sisi lain, produk dan fasilitas modern ini selain menyuguhkan kemudahan dan kenyamanan juga menyuguhkan aneka risiko yang tak kalah hebat. Bahkan, risiko yang tidak bisa dibayangkan sepuluh tahun silam. Misalnya, hacker, kejahatan akun, pembobolan kartu kredit, malware, virus komputer, dan sebagainya. Orang bisa cepat kaya atau mendadak miskin hanya satu klik atau salah klik di keyboard komputernya.

5.        Connected vs Disconnected

Orang sekarang sudah saling terhubung satu sama lain melintasi batasan-batasan fisik, seperti geografi, teritori negara, dan sebagainya. Bahkan, bisa tersambung secara kekinian (real time). Namun, tanpa disadari juga, keterhubungan ini juga bisa memutus hubungan alias disconnected dengan yang lainnya. Ilustrasinya, orang mungkin sangat intensif berhubungan dengan orang jauh di lain benua sana dan bahkan belum pernah ia kenal sama sekali, tapi sekaligus terputus dengan orang-orang di sekitarnya yang sudah ia kenal bertahun-tahun lamanya. Istilah populernya “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.”

6.         Producer Society vs Consumer Society

Di era New Wave, semua orang boleh dibilang adalah produsen. Hal ini sangat kentara di industri media digital. Semua orang sekarang tidak hanya menjadi konsumen berita, tapi bisa meliput, membuat, dan mendistribusikan beritanya sendiri. Ini dikenal dengan citizen journalism. Uniknya, tak jarang, media arus utama sering mengkonsumsi berita dari warga ini untuk dijadikan berita baru di medianya (sebuah arus balik). Selain itu, masyarakat produser ini juga ditandai dengan banyaknya para pelaku bisnis yang bermunculan yang sebelumnya tidak dibayangkan. Misalnya, pelaku startup dengan aneka bisnis baru yang menjanjikan.  Hal ini didukung oleh kreativitas yang berbasiskan internet. Tapi, di sisi lain, masyarakat ini juga tetap menyandang sebagai masyarakat konsumer. Hal ini sangat gamblang terlihat pada fenomena Lebaran di mana pada masa mengekang diri ini justru nafsu belanja semakin menggila. “Aku belanja, maka aku ada” demikian jargon bagi para penggila belanja ini.

7.         Humanize  Vs Alienation

Era horisontal seperti sekarang memudahkan orang untuk saling berbelarasa dan menunjukkan solidaritasnya atau kemanusiaannya satu sama lain. Prosesnya semakin memanusiakan manusia di dalamnya. Misalnya, solidaritas dalam gerakan koin Prita dan sebagainya. Namun, di sini lain, teknologi sekarang ini justru mengasingkan (alienasi) orang dengan dirinya atau kemanusiaannya. Misalnya, saat listrik mati, timeline Twittter riuh dengan umpatan dan kekecewaan. Atau, saat jaringan selulernya lemot dan orang tak bisa kirim BBM, maupun ngetweet, orang merasa ada sesuatu yang kurang dan bahkan kelabakan. Padahal, sebelum ada BBM, Twitter, Internet, orang tetap dalam kondisi baik tanpa kurang sedikit pun.  Seolah orang terasing dengan dirinya sendiri.

8.         Credible Vs Incredible

Transparansi membuat masyarakat sekarang berbuat maupun mencari sesuatu yang kredibel. Orang tidak gampang dibohongi. Semua jejak rekam kita ada di dalam internet. Kita dituntut bisa hidup otentik. Namun di sini lain, internet juga menyuguhkan ketidakotentikan yang ujungnya ketidakkredibelan. Contoh kasus, maraknya akun-akun palsu di media sosial yang mempunyai daya pengaruh kuat (di Twitter, misalnya Benny Israel). Selain itu, muncul gerakan Anonymous di media sosial. Belum lagi dengan Net-Terrorist yang doyan merusak dan mencari masalah di internet. Hal ini yang justru melahirkan ketidakpercayaan. Di internet, kita bisa kelihatan jati diri kita tapi juga bisa menyembunyikan jati diri kita. Lain contoh adalah kejahatan maupun penipuan online, melalui Facebook yang selama ini marak. Fenomena kepribadian ganda juga bisa masuk di sini.

Dunia virtual memang bukan dunia real.  Kartunis Peter Steiner pernah mengirim karikatur seekor anjing sedang bermain internet dan dipublikasikan di The New Yorker, 5 Juli 1993 dengan tulisan “On the internet, nobody knows you’re a dog.” Sementara itu, pemikir Prancis Jean Baudrillard menandaskan dunia sekarang semakin masuk ke hipperrealitas di mana kita tidak bisa membedakan mana yang asli dan mana yang bukan. Perasaan kita  bisa turut lebih hanyut pada penderitaan tokoh dalam sinetron yang notabene tidak nyata daripada tersentuh dengan nasib tetangga yang nyata ada dan sedang kena musibah. Psikolog John Suler, seperti dikutip dari buku “Facebook and Philosophy: What’s on Your Mind?” (2010), mengatakan bahwa dunia online telah memicu “disinhibition effect” di mana orang lebih gampang menampilkan kesejatian dirinya (self-disclose) bila dibanding dalam dunia nyata. Di sini, orang bisa mengeluarkan semua isi hati, kekesalan, kritikan, komentar provokatif, dan sebagainya. Orang yang dalam dunia nyata terkenal pendiam, bisa menjadi pembual di dunia online. Nah, menurut saya, hal ini kental dengan unsur paradoksnya, yakni orang berani menampilkan  dirinya yang nyata  (real self) di media yang tidak nyata atau lebih tepat disebut sebagai dunia virtual dan dengan identitas yang anonim.

9.        Up to Date Vs Out of Date

Teknologi sekarang menyuguhkan perubahan cepat. Boleh dibilang banyak hal baru yang dengan cepat disuguhkan kepada masyarakat sekarang. Maklum, dunia kontemporer ini seperti dilukiskan oleh sosiolog Inggris Anthony Giddens sebagai runaway world—dunia yang tunggang langgang.  Namun di sini lain, teknologi ini membuat sesuatu yang baru itu juga cepat usang dan ketinggalan zaman. Misalnya, pager, Friendster, tipe-tipe ponsel pintar, dan sebagainya. Menarik mencerna apa yang dikatakan pendiri PayPal Peter Thiel di Majalah Forbes belakangan ini. Thiel menandaskan selama 40 tahun—di luar internet dan komputer—inovasi telah berjalan stagnan. “Innovation is dead” demikian pernyatannya yang mengundang kontroversi. Tak ada sesuatu penemuan yang benar-benar baru dan spektakuler selain internet dan komputer selama empat dekade terakhir ini.

10.       Inclusivity Vs Exclusivity

Horisontalisasi di segala bidang dengan internet dan kawan-kawannya, membuat orang semakin inklusif, menerima perbedaan, dan sebagainya. Orang mempunyai identitas baru sebagai warga global seperti yang dialami netizen yang tidak mempersoalkan KTP, agama, suku, dan sebagainya. Namun, globalisasi ini juga menumbuhkan resistensi di sana-sini di mana banyak kelompok yang ingin mempertegas identitasnya sebagai lokal maupun primodial. Sebab itu, tak heran muncul Front Pembela Islam, Al-Qaeda, Taliban, dan sebagainya. Bahkan, Forbes terbaru memberitakan bahwa Taliban dan Pasukan Koalisi di Afganistan berperang kata-kata di Twitter. Mereka perang di media horisontal tapi mengusung pesan eksklusivitas, yakni satu identitas sebagai Taliban yang antiAmerika dan satu lagi identitas Amerika/Barat yang antiteroris.  Belum lagi, kasus kerusuhan rasial di Inggris beberapa saat lalu ternyata terprovokasi oleh media sosial, seperti BBM yang kemudian panas di Twitter.

11.       The End of Monopoly Vs The New Monopoly

Di era New Wave ditandai dengan berakhirnya monopoli karena selain aturan yang tidak memungkinkan itu lagi, juga gampangnya orang untuk turut menjadi pelaku bisnis. Namun, ada tren dengan berakhirnya monopoli lama ini justru memicu munculnya monopoli gaya baru yang misinya tidak jauh berbeda. Hal ini tampak dengan adanya akuisisi oleh merek/pemain besar atas merek maupun pemain kecil.  Contoh Kaskus, InfoKos, Plaza.com, dan sebagainya. Tren akuisisi ini marak terjadi belakangan ini. Jadi, pemainnya tetap banyak, tapi di balik yang banyak tadi, mungkin monopoli dalam arti lain oleh perusahaan raksasa terjadi.

12.       Independent Vs Dependent

Di era sekarang, masyarakat jauh lebih independen di banding zaman dulu. Dulu, orang sangat tergantung pada alam dan sumber daya. Sekarang berkat teknologi informasi, semua bisa dikerjakan dengan mudah dan manusia bisa bekerja secara mandiri/independen. Namun, dalam independensi manusia sekarang, terdapat ketergantungan (dependent) orang pada teknologi tersebut. Akibatnya, ketika teknologi sedang tidak berfungsi, semua terasa seperti “mati” mendadak. Misalnya, listrik mati, orang baru menyadari betapa rapuh dan sangat tergantung dirinya pada produk yang justru ia buat sendiri.

13. Powerful Vs Impotent

Francis Bacon (1561-1626) pernah berujar “Knowledge is power.” Siapa yang memegang informasi dia bisa menguasai dunia. Dunia sekarang menyuguhkan aneka informasi. Dengan gampang, orang bisa mengaksesnya. Orang tak perlu lagi membaca buku berak-rak di dalam perpus yang berdebu. Kini, orang tinggal akses bacaan melalui internet. Orang semakin cerdas, berdaya, karena semakin well-informed. Namun, di sisi lain, orang merasa kwalahan dengan banjirnya informasi yang susah dikendalikan ini. Banjir informasi ini ternyata membuat orang jadi kelimpungan. Banyaknya pilihan membuat orang tidak bisa mengambil keputusan dengan cepat—bahkan cenderung lumpuh. Orang malah merasa kebingungan.

*Tulisan ini terbuka lebar untuk didiskusikan

* Ilustrasi sudah diperbarui karena versi lama mengalami degradasi kualitas

Related