Hapus Mindset Jawa Sentris dalam Mengembangkan e-Commerce

marketeers article
40708084 concept of online payment by plastic card through the internet banking. close-up of human hand for laptop and holding credit card, man is shopping indoor at home

Peta industri e-commerce Indonesia mulai berubah. Saat ini, Jakarta bukan lagi sebagai pusat belanja online di Indonesia. Kota-kota lain di luar Jakarta dan Pulau Jawa, pelan-pelan menjadi kantong-kantong signifikan buat pelaku e-commerce di Indonesia. Hal ini pun harus diantisipasi oleh pemain di dunia online.

Berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016, tercatat total jumlah pengguna internet di Indonesia sudah mencapai angka 132 juta pengguna. Mayoritas pengguna internet di Indonesia masih didominasi oleh masyarakat di Pulau Jawa dengan jumlah mencapai 86,3 juta orang.

Sementara, menurut data yang dirunut oleh situs statista.com pada tahun yang sama, setidaknya terdapat 24,7 juta masyarakat Indonesia pernah melakukan belanja secara online. Masih dari sumber yang sama, nilai transaksi e-commerce di Indonesia pada tahun 2016 diprediksi mencapai US$ 5,65 miliar.

Bila dibandingkan dengan kondisi lima tahun lalu, atau tepatnya ketika situs-situs e-commerce dan marketplace bermunculan, tahun 2017 menjadi medan perang bagi para pelaku industri. Sebab, jika e-commerce sebelumnya didominasi kota-kota besar, kini wilayah lain di Indonesia sudah mulai merasakan nyaman dan cepatnya berbelanja secara online melalui beragam platform.

Kombinasi dari para pemain dalam industri e-commerce, logistik, perbankan, financial technology (Fintech), jasa telekomunikasi, serta dukungan regulasi dan infrastruktur dari pemerintah, turut membantu menyebarnya konsumen belanja online di Indonesia.

Bila selama ini Jakarta selalu disebut-sebut sebagai wilayah yang paling sering mengakses layanan e-commerce, pada tahun ini anggapan tersebut sudah bisa dibantah. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Google Indonesia dan Gfk, ditemukan bahwa Jakarta bukan lagi kota pengguna layanan e-commerce terbesar di Nusantara.

Riset Google menunjukkan bahwa penetrasi e-commerce di Surabaya mencapai 71% dan Medan mencapai 68%. Angka ini berhasil menggeser Jakarta yang menduduki angka 66%. Dari lama waktu mengakses layanan e-commerce sendiri, masyarakat Jakarta menghabiskan waktu sekitar 4,7 jam. Angka tersebut masih lebih singkat bila dibandingkan warga Surabaya yang bisa mencapai 5,8 jam, dan warga kawasan Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) yang mencapai 5,2 jam.

Riset Google menunjukkan bahwa penetrasi e-commerce di Surabaya mencapai 71%

“Jakarta bukan lagi yang utama. Layanan e-commerce sudah merambah di luar Jakarta dan luar Pulau Jawa. Angka Jakarta memang masih signifikan, tapi di luar Jakarta aktivitas belanja online sudah banyak terjadi,” ujar Henky Prihatna, Head of E-commerce Google Indonesia.

Henky menegaskan bahwa data ini menjadi sinyal bagi para pelaku e-commerce di Indonesia untuk memahami seperti apa konsumen mereka saat ini. Baginya, data ini menunjukkan bahwa pelaku e-commerce di Indonesia perlu memahami strategi mereka secara keseluruhan di beragam wilayah dan tidak hanya menjadikan Jakarta sebagai patokan.

“Sebagai pemain, para pemain juga bisa meningkatkan pengalaman belanja online yang dirasakan oleh konsumennya. Jadi, bukan cuman perkara harga saja,” lanjut Henky.

Hal ini pun diamini oleh Tokopedia. “Di kota-kota lain sudah mulai terbuka dengan konsep belanja online. Saat ini permasalahannya adalah membangun kepercayaan konsumen dari masing-masing pemain dalam industri ini,” terang Vice President of Business Tokopedia Melissa Siska Juminto.

Google membagi karakteristik pengguna belanja online di Indonesia menjadi empat tipe. Inovator, Early Adopters, Gaptek, dan Late Bloomers. Empat kategori ini memiliki beragam keunikan tersendiri. Kategori Inovator misalnya, memiliki tingkat pendapatan yang tinggi serta mengakses internet melalui multiple device. Mereka memiliki karakter rela membayar lebih mahal, asalkan barang tersebut memiliki garansi.

Berbeda dengan kategori Inovator, kategori Early adopters, Late Bloomers, dan Gaptek masih mencari mencari harga yang termurah. Dari sisi metode pembayaran, kalangan Inovator dan Early Adopter sudah mulai terbiasa dengan pembayaran digital seperti kartu kredit dan internet banking. Sementara, kalangan Late Bloomers dan Gaptek merasa lebih aman apabila melakukan pembayaran via cash on delivery (COD) atau mengunjungi Anjungan Tunai Mandiri (ATM) terdekat.

Tokopedia yang memiliki jumlah seller mencapai angka dua juta, dan jumlah active listing hingga 60 juta, menilai bahwa saat ini sudah ada perubahan dari metode pembayaran para konsumennya. Bila dulu konsumennya masih rela membayar di tempat alias COD, saat ini banyak konsumen Tokopedia yang lebih nyaman menggunakan layanan M-Banking dan Internet Banking.

Google Indonesia menilai ada tiga hal yang membuat konsumen Indonesia masih ragu mencoba layanan e-commerce. Pertama, mereka khawatir tentang garansi produk. Kedua, ada anggapan bahwa layanan e-commerce tidak bisa diandalkan. Ketiga, banyak konsumen yang masih menginginkan untuk menyentuh dan merasakan produknya sebelum yakin untuk membelinya.

Untuk mengatasi tiga masalah itu, pelaku e-commerce harus bisa memberikan informasi yang jelas terkait produk dan layanan yang disajikan, terutama informasi tentang barang yang dijual. Ia juga menyarankan agar pelaku e-commerce mengoptimalkan kecepatan akses menuju situs mereka.

“Ketika kita bisa meningkatkan loading time menjadi satu detik lebih cepat, tingkat konversinya bisa meningkat sebesar 7%,” ujar Henky.

Menanggapi masalah kota-kota di luar Jakarta yang mulai menjadi kantong-kantong besar bagi pelaku e-commerce, Melissa menilai ada perbedaan ragam barang-barang yang dibeli oleh konsumennya. Meskipun Jakarta sudah tidak menjadi pusat dari konsumen belanja online di Indonesia, ia mengakui bahwa nilai satuan belanja masyarakat Jakarta masih lebih besar dibandingkan kota lain. Barang-barang elektronik dan fesyen menjadi kategori barang yang paling banyak dibeli oleh konsumen di Jakarta.

Selain itu, masyarakat Jakarta cenderung tidak bermasalah dengan biaya ongkos kirim yang dibebankan kepada mereka. Banyaknya penjual dari Jakarta dan wilayah sekitarnya, membuat ongkos kirim tidak terlalu besar buat konsumen asal Jakarta. Hal sebaliknya justru dirasakan oleh para konsumen dari luar Jakarta, khususnya kota-kota di luar Pulau Jawa.

“Namun, pada akhirnya konsumen akan tetap beli karena barang tersebut tidak ditemukan di kota mereka. Yang penting adlaah nilai dari barang tersebut yang akhirnya akan menentukan sikap konsumen untuk tetap membelinya atau tidak,” ujar Melissa.

Editor: Sigit Kurniawan

Related