Agar Bertahan, Konten Radio Harus Menghibur

marketeers article

Musik merupakan salah satu gaya hidup sehari-hari. Hampir setiap orang mendengarkan musik lewat berbagai cara. Di kafe, di bus, hingga di toilet mal saja, seseorang disuguhi alunan musik. Ini membuktikan bahwa musik menjadi alunan yang hampir didengar orang saban hari.

Terkait hal itu, lumrah apabila radio menjadikan musik sebagai konten utama mereka. Alasannya, kebanyakan orang mendengar radio adalah untuk mendengar musik secara gratis.

Akan tetapi, teknologi datang dan menawarkan musik on-demand yang bisa diputar kapan pun dan dimana pun, semasih terkoneksi jaringan internet. Kalau sudah demikian, radio diprediksi akan ditinggalkan oleh pendengarnya.

Setidaknya pemilik stasiun radio saat ini masih bisa bernapas lega. Nielsen Radio Audience Measurement pada kuartal ketiga tahun 2016 menunjukkan bahwa 57% penonton radio ternyata berasal dari Generasi Z dan millennials.

Temuan Nielsen dari survei yang dilakukannya di 11 kota nusantara itu mengindikasikan bahwa radio berada di posisi empat media yang paling banyak dikonsumsi, dengan penetrasi 38% di bawah televisi (96%), media luar ruang (52%), dan internet (40%). Jumlah pendengarnya, menurut data Nielsen, menembus 20 juta orang per minggu.

Fakta tersebut memang menjadi berkah sekaligus tantangan bagi pemilik stasiun radio. Berkah karena keberadaan teknologi dan millennials seharusnya membuat radio masih bisa bertahan asalkan mengadopsi dua pendekatan tersebut. Menjadi tantangan karena millennials sebagai pasar terbesar memiliki karakter yang mudah sekali ‘bosan’ dan cenderung tidak loyal.

Karena itu, jika positioning radio hanya sebagai media mendengarkan musik secara gratis, tentu peran ini lambat laun akan digantikan oleh platform music streaming seperti JOOX dan Spotify. Alhasil, para pemilik stasiun radio mesti berpikir keras untuk menghadirkan konten di luar musik yang menarik agar penonton mampu betah berlama-lama menyalakan radionya.

Christo Putra, Content Director Prambors FM telah memperhatikan gejala tersebut. Menurutnya, positioning radio tidak melulu soal musik, namun harus ada value lain yang ditawarkan.

“Tidak hanya di branding sebagai radio yang memberikan konten musik, Prambors juga mem-branding diri sebagai stasiun radio yang memberikan konten lucu dan menghibur,” kata dia.

Radio yang berdiri sejak 46 tahun silam itu sejak tahun 2013 menawarkan konten hiburan dan humor dalam bentuk program yang diputar pada prime-time (06.00-10.00 dan 16.00-20.00). Program bertajuk Desta and Gina in The Morning memang menjadi andalan Prambors saat ini.

Christo menuturkan, pendengar menyukai program tersebut karena isi konten dibuat benar-benar mampu mengocok perut penonton. Ia menjelaskan, awalnya Gina dipasangkan dengan Indra Bekti yang kemudian digantikan oleh Desta.

“Konsepnya adalah konten harus fun (menghibur) , ada nilai informatif (bukan cuma lucu-lucuan), dan tentu saja musik,” papar dia.

Nah, untuk urusan musik, Prambors yang mengusung slogan “Number 1 Hits Music Station” itu lebih banyak memainkan musik asing atau luar negeri dengan poris 80%. Sedangkan sisanya adalah musik local.

Berdasarkan temuan tim risetnya, Christo mengungkapkan bahwa kemacetan di kota besar menjadi alasan pendengar ingin mendengar konten yang menghibur. Sedangkan pada malam hari, justru waktunya Prambors memutarkan lagu-lagu terbaru, seperti lagu-lagu yang baru dirilis dari Spotify.

Berbeda dengan Prambors yang lebih memutar musik-musik barat dalam program siarannya, Gen FM justru mengutamakan musik lokal sebagai sajian utama dengan porsi 80% dari total jam siaran musik.

Christie Augusta, Brand & Product Manager Gen FM mengungkapkan, segmentasi Gen FM adalah millennials usia 20-29 tahun yang  mencari musik Indonesia. “Gen FM lebih memilih (musik) mana yang disukai pendengar. Tapi memang, kami lebih bermain di pop mainstream,” tutur Christie

Christie mengakui bahwa konten-konten yang menghibur menjadi santapan para kebanyakan pendengar radio saat ini, khususnya orang muda yang menyenangi informasi yang ringan. “Sudah menjadi kenyataan bahwa masyarakat Jakarta stres dan butuh sesuatu yang lucu,” timpal dia.

Kendati demikian, Gen FM menerawang bahwa konten radio ke depan akan menawarkan sesuatu yang lebih realitas, sehingga unsur story telling menjadi sangat kuat. Artinya, bisa saja, sandiwara radio akan menjadi tren di benak pendengar, sehingga mendorong kembali imajinasi seseorang.

“Pendengar tertarik dengan cerita yang real. Di radio, konten lucu paling dicari karena kemacetan di Ibu Kota,” tutur Christie.

Editor: Sigit Kurniawan

 

Related