Agar Storytelling dalam Pemasaran Menarik!

marketeers article

KITA BERADA  dalam masa di mana semua orang menjadi Netizen (Citizen dari Internet), berkat kemajuan fasilitas telekomunikasi yang semakin dahsyat dan semakin murah. Sekarang siapa saja bisa menjadi teman Anda, tidak peduli dia itu office boy atau direktur sekalipun! Anda secara fisik hidup di sebuah negara, tetapi Anda mampu melakukan kontak dengan siapapun lewat jaringan global komputer dunia. Seakan-akan Anda tinggal bertetangga dengan setiap Netizen lainnya di dunia. Separasi geografis telah usang, tergantikan oleh eksistensi bersama di dunia maya.

Kadang internet itu baik, tapi kadang pula buruk. Baiknya membuat segala mungkin. Buruknya, segala yang tidak baik juga menjadi mungkin: mulai dari penipuan kartu kredit, pembajakan hak cipta, pelanggaran privasi, dan macam-macam.

Internet juga menciptakan “demokratisasi”. Siapa saja bisa mengatakan apa saja, dan susah disensor. Kalau dalam bisnis: semua orang bisa mengatakan apa saja tentang produk yang anda jual – baik atau buruk – tanpa bisa dicegah dan gampang menyebar kemana-mana. Demokratisasi ini menciptakan “horisontalisasi” – kita semua setara, selevel, berada dalam gelanggang percakapan yang sama.  Artinya, sebagai pebisnis harus bisa menjangkau segala kalangan atas dan bawah, karena obrolan tentang produk Anda bisa menyebar kemana-mana, bahkan diluar target market yang dituju. Target market Anda adalah orang super kaya, tetapi si orang kaya tersebut ternyata banyak terpengaruh temannya yang mendapatkan kabar dari temannya yang lain orang biasa-biasa, bahwa produk Anda buruk.  Sekarang ini cerita kecil dari bawah, bisa mengguncang sebuah kerajaan.

Robert Mc Kee, seorang penulis naskah film terkenal dari Amerika mengatakan, “Untuk bisa menjalin hubungan perasaan yang sangat dalam dengan seseorang, Anda membutuhkan cerita…”. Cerita menyebar seperti virus: ada dimana-mana–entah bagaimana caranya sebuah cerita sampai di telinga kita. Padahal kita sendiri mungkin tidak dengan sengaja mendengar cerita tersebut. Cerita itu menular– kalau cerita ya menarik, orang yang mendengar akan dengan suka rela mem-forward-nya kepada orang lain. Cerita yang paling heboh akan dengan otomatis diceritakan berulang-ulang kali. Yang paling gawat, cerita menempel seperti lem Aibon. Cerita yang seru akan selalu diingat, dan karena dibahas dan diceritakan di kalangan teman, cerita itu jadi semakin nyata dan menempel.

Coba Anda rasakan. Cerita adalah sesuatu yang begitu fundamental dalam hidup kita, bukan? Pakar sosiologi mengatakan, tradisi bercerita membuat sebuah komunitas dan keluarga menjadi semakin dekat. Pakar evolusi mengatakan, manusia men-transfer ilmu pengetahuan dari satu generasi ke generasi lainnya lewat cerita. Pakar psikologi percaya bahwa otak manusia didesain secara lebih baik untuk mencerna dan mengarang cerita dibanding untuk mengelola data.

Marketing juga pada dasarnya adalah sebuah upaya “bercerita” tentang produk yang kita jual. Meskipun sudah banyak brand yang merasa dirinya “menceritakan sesuatu”, tetapi pada kenyataannya kebanyakan terasa terlalu berpromosi, dangkal, dan seringkali terasa dibuat-buat – efek yang dihasilkan masih jauh dari tujuan bercerita untuk “masuk ke hati”. Dilain sisi, banyak pula brand-brand fenomenal yang dapat bercerita dengan begitu meyakinkannya, sehingga benar-benar melekat di sanubari publik, bahkan meskipun mereka sebenarnya bukan pembeli brand tersebut.

Brand-brand seperti Dji Sam Soe, Harley Davidson, Disney, dan macam-macam lainnya punya cerita yang sangat mengesankan. Tengok satu teknik bercerita dari Johnnie Walker si merek whiskey terkenal. Johnnie Walker hanyalah sebuah nama dengan sebuah icon orang berjalan–lalu bagaimana membuat merek ini lebih memorable?

Johnnie Walker ingin “mengisi” karakter dari mereknya dengan mengasosiasikannya dengan orang-orang yang “pantang menyerah” dan berani “terus berjalan maju”  dalam kehidupan. Salah satu iklan paling memorable adalah adegan Roberto Baggio yang gagal melakukan tendangan penalti di Piala Dunia 1994, bolanya melintas diatas gawang. Disusul adegan berikutnya 4 tahun kemudian, di Piala Dunia 1998 dimana Baggio kembali dihadapkan pada momen dramatis yang sama: tendangan penalti – akankah ia akan kembali gagal kali ini? Anda tahu bahwa pamor tendangan penalti begitu dahsyat sehingga bisa menghancurkan wibawa dan kepercayaan diri seorang pemain kalau gagal melakukan tendangan di saat-saat penentuan. Baggio yang dicaci-maki publik Itali karena cela tahun 1994, kini sekali lagi bertanggung jawab atas hidup-matinya kesebelasan Italia.

Namun, kemudian Baggio berujar, “Semua orang bertanya apakah saya bisa melakukannya – tetapi tidak peduli, karena yang terpenting saya percaya saya bisa”. Dia lalu menendang, dan Gol! Iklan itu ditutup dengan kata-kata “Roberto Bagio’s Walk: 1994 – 1998” artinya Baggio membawa beban mental yang berat sejak tahun 1994, beban yang bisa menghancurkan karir seorang pemain. Tetapi Baggio tetap berjalan maju dengan kepercayaan diri yang tinggi dan sukses.

“Orang yang tidak menyerah dan terus berjalan”, itulah perilaku karakter yang representatif untuk brand Jhonnie Walker. Karekter tersebut akhirnya dapat terbentuk karena ide brilian storytelling dengan mengambil asosiasi kehidupan Roberto Baggio yang legendaris.

Bagaimana pemakaian storytelling untuk sales, service, & branding? Aplikasi cerita dalam ketiga disiplin tersebut dapat dibagi menjadi dua tujuan: internal dan eksternal. Tujuan internal apabila cerita dipergunakan untuk memotivasi karyawan sendiri (motivasi ke dalam). Sedangkan tujuan eksternal apabila cerita dipergunakan untuk menjual kepada pelanggan (membangun kesan yang bagus di mata pelanggan).

Untuk sales, misalnya, tujuan internalnya adalah untuk building sales culture. Bagaimana team sales memiliki semangat juang yang tinggi dan kultur yang tidak mudah menyerah. Selama beberapa tahun kita sempat menjadi konsultan bagi United Tractors, kita sempat mendengar kisah tentang seorang salesman sukses bernama Pak Suroto. Pak Suroto dulu hanya berlatar belakang sopir direksi UT, yang kemudian mengajukan diri menjadi salesman – padahal di industri alat berat, seorang salesman harus bisa berbahasa Inggris karena harus berhadapan dengan perusahaan minyak, pertambangan, dan sebagainya. Tapi dengan perjuangan yang keras dan semangat customer service yang tinggi, akhirnya Pak Suroto malah bisa sukses melebihi rekan-rekannya yang bisa bahasa Inggris. Ini sejalan dengan kultur customer service yang selalu ditekan-tekankan oleh UT. Kisah Pak Suroto konon selalu diceritakan kepada para salesman baru untuk menunjukkan bahwa tidak peduli latar belakang mereka apa, kaya-miskin, berpendidikan tinggi atau rendah, selama mereka berdaya juang tinggi dan setia kepada pelanggan, mereka bisa sukses.

Aplikasi dalam selling untuk eksternal adalah influencing prospect’s response. Sebagai salesman, Anda harus memiliki koleksi cerita yang lengkap untuk dapat bercakap-cakap secara menarik dengan customer. Salesman junior biasanya hanya mengandalkan product knowledge dan bahan presentasi, tetapi seorang salesman berpengalaman lebih mengandalkan storytelling untuk meyakinkan pembeli. Apakah itu kisah tentang pelanggan lain yang telah membeli produk dan puas, kisah kesulitan yang dialami team teknis perusahaan tetapi dengan semangat yang tinggi mereka akhirnya berhasil memecahkan masalah pelanggan, kasus-kasus memukau yang pernah dialami oleh perusahaan, bahkan sampai cerita-cerita pribadi untuk dapat menarik simpati calon pembeli.

Pada servis, secara internal tujuannya serupa, yaitu untuk membangun kultur. Satu kisah yang menarik adalah yang ditulis oleh Tom Peters dari Amerika tentang Nordstorm, departemen store yang terkenal akan pelayanannya yang luar biasa. Nordstorm memiliki kebijakan “nothing will be asked” yang maksudnya kalau Anda mengembalikan barang ke departemen store tersebut (apakah karena rusak, kurang pas, dan sebagainya) Anda tidak akan ditanya apapun alasannya, dan uang Anda akan benar-benar dikembalikan. Luar biasa bukan? Tom Peters kemudian menulis tentang kisah adanya seorang pelanggan yang mengembalikan ban mobil ke Nordstorm, dan kemudian oleh pihak Nordstorm uangnya dikembalikan – padahal, Nordstorm sebenarnya tidak menjual ban mobil. Tapi karena prinsip “nothing will be asked” tadi, mereka tetap konsisten menjalankannya. Nah, kisah seperti ini pun bisa dipakai untuk kepentingan eksternal yaitu “communicating customer care” karena kisah tersebut akhirnya dibaca oleh jutaan masyarakat dunia lewat buku-buku Tom Peters, atau diceritakan dari mulut ke mulut.

Salah satu yang unik adalah kisah bagaimana William R. Hewlett dan David Packard (pendiri perusahaan printer HP) memiliki obsesi yang luar biasa terhadap memberikan solusi pelanggan – sampai sekarang ada gembok rusak yang masih menempel di pintu gudang sparepart HP.  Gembok itu sudah ada disana puluhan tahun dan tidak pernah diperbaiki. Mengapa? Konon, gembok itu sengaja dirusak oleh Hewlett & Packard yang mengatakan, “Gudang sparepart ini jangan digembok, karena akan menyulitkan kita kalau mau memperbaiki barang pelanggan!” Nah, akhirnya gembok rusak itu sengaja ditinggal disana sebagai ikon pengingat betapa memberikan servis kepada pelanggan itu merupakan sebuah “agama” di dalam perusahaan HP.

Untuk branding, perusahaan-perusahaan berusaha menciptakan word-of-mouth agar tercipta conversation atau percakapan diantara para pelanggan sendiri. Nah, bukankah word-of-mouth ini membutuhkan sebuah bahan cerita? Justru cerita atau story itulah yang merupakan cikal bakal terjadinya word-of-mouth! Tanpa story yang dipersiapkan dan dirancang untuk disebar, tidak akan ada word-of-mouth yang bermutu. Perusahaan-perusahaan seperti Harley Davidson, pintar sekali menciptakan kisah-kisah perjalanan yang dibagikan dari mulut ke mulut baik oleh para karyawan Harley Davidson maupun oleh para customer mereka sendiri. Aspek internal “marketing the values to the employees” dan eksternal “creating customer conversation” berjalan sekaligus disini.

Nah, bagaimana menulis sebuah cerita yang “asyik” dan bisa diceritakan terus menerus? Simak model storytelling in sales, service, brand berikut.

Pertama, character yang ditampilkan dalam cerita harus kuat. Karakter tersebut harus menampilkan Values, Behavior, Words, & Style dari Brand Anda. Seperti misalnya Roberto Baggio adalah karakter sentral dalam iklan Jhonnie Walker yang memang sesuai dengan kepribadian brand tersebut. Hal ini penting karena memang cerita itu dibuat agar tercipta gambaran yang bagus dimata pendengar cerita terhadap brand Anda. Dan customer harus dibuat bersimpati terhadap karakter agar terbina kedekatan dengan brand.

Kedua, cerita yang menarik harus didesain dengan setting/intro (pembukaan yang menarik), problema conflict (ada permasalahan yang harus dipecahkan oleh si karakter), dan sebagaimana sebuah cerita, pasti akan menuju kepada climax, falling action (aksi penyelesaian setelah climax), dan resolution (pesan moral yang didapatkan di akhir kisah – misalnya Baggio mengatakan “yang penting saya percaya saya bisa”).

Komponen terpenting dari desain cerita adalah problema conflict, karena justru kisah tersebut akan menjadi menarik dengan adanya problem atau masalah. Ingat bahwa sebuah cerita lebih menjual dibandingkan sales presentation antara lain karena cerita itu berkesan lebih “jujur” dibandingkan presentasi. Dalam presentasi, segala sesuatunya sudah dipersiapkan dan ditata secara rapi dan bagus, kalau perlu segala macam masalah disembunyikan. Tetapi dalam storytelling, justru masalah atau problem tersebut dikemukakan.

Misalnya dalam film Cast Away yang disponsori Fedex (diperankan oleh Tom Hanks), dimana disitu digambarkan pesawat Fedex jatuh karena tersambar petir saat cuaca yang buruk, dan Tom Hanks adalah satu-satunya orang yang berhasil selamat. Apakah Anda berani mensponsori film dimana pesawat Anda jatuh? Ini adalah sebuah langkah “nekad” yang dibuat Fedex. Tetapi akhirnya, dengan mengakui “kelemahan” (menunjukkan bahwa pesawat kita bisa jatuh), justru penggambaran brand bisa terasa lebih manusiawi dan menarik simpati penonton. Toh, tidak ada manusia atau perusahaan yang sempurna. Nah, yang penting bagaimana kemudian dalam cerita digambarkan karakter orang Fedex yang tidak kenal menyerah diperankan oleh Tom Hanks itulah yang bisa menunjukkan bahwa Fedex adalah perusahaan yang gigih dan tangguh.

Dalam storytelling, dibutuhkan keberanian untuk tampil “manusiawi” dan wajar. Daya tarik dari cerita adalah drama dan problem yang menunjukkan bahwa kisah tersebut mendekati kenyataan – itulah yang membedakan storytelling dibandingkan iklan yang biasa. Dalam iklan biasa, semuanya ditampilkan begitu sempurna tanpa cacat–akhirnya konsumen malah tidak 100% bisa percaya. Hidup pada dasarnya mengandung drama dan konflik, yang justru membuat hidup itu menarik bukan? Nah, sebagai pemasar sejati, Anda tidak hanya hidup untuk menjual produk saja, bukan? –Alangkah indahnya apabila karya-karya kita juga bisa dipergunakan untuk memberikan semangat dan inspirasi kepada orang lain. (Alex Mulya, Majalah Marketeers edisi Februari 2011 dengan judul yang sudah diubah)

*Ilustrasi dari http://www.indyposted.com/122271/top-10-tips-for-nanowrimo/

Related