Ahmad Bambang: Saatnya Bertindak Gila

marketeers article

Krisis perekonomian 2008 telah mengubah wajah perusahaan minyak dan gas di muka bumi ini. Jika sebelumnya mereka merasakan keuntungan yang besar akibat kenaikan harga minyak, kondisi sebaliknya justru terjadi saat ini. Banyak perusahaan minyak dan gas bumi dunia yang harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat melambatnya sektor ini.

Namun, kondisi itu tidak berlaku bagi Pertamina. Ketika kinerja perusahaan minyak dan gas di dunia turun, PT Pertamina (Persero) justru mampu mencatatkan kinerja yang apik. Bahkan, hingga kuartal ketiga 2016, laba bersih Pertamina naik 209% dibandingkan periode yang sama setahun lalu menjadi US$ 2,83 miliar. Dus, laba bersih Pertamina pada periode ini telah mengalahkan laba bersih Petronas, BP, atau pun Chevron.

Berbagai inovasi produk menjadi strategi perusahaan terbesar di Indonesia itu. Konsumen Indonesia yang sebelumnya bergantung pada produk Premium, beralih secara perlahan ke Pertalite, produk yang memberikan keuntungan bagi Pertamina. Sedangkan untuk menaikkan image, Pertamina pun merilis Pertamax Turbo dengan menggandeng produsen mobil asal Italia, Lamborghini.

Kesuksesan Pertamina itu tak terlepas dari peran Ahmad Bambang, yang kini menjabat sebagai Chief Operating Officer Downstream & NRE PT Pertamina (Persero). Dengan konsep d’Gil Marketing, pria yang akrab dipanggil AB ini mampu mengembalikan kejayaan Pertamina di rumahnya sendiri.

Lantas apa saja yang dilakukan Abe ketika masih menjabat sebagai Direktur Marketing Pertamina? Apa rencana Abe selanjutnya bagi Pertamina? Simak interview Hendra Soeprajitno dari Marketeers bersama Ahmad Bambang, Marketeer of the Year 2016.

Bagaimana Anda melihat industri BBM pada tahun ini?
Pertama, pertumbuhan harga minyak dunia yang diharapkan naik ternyata justru turun. Itu mengakibatkan beban kami di sektor hulu makin tertekan. Namun, kedua, hal ini membuat kami memiliki peluang untuk semakin agresif di sektor hilir. Sedangkan pada sektor industri, persaingan bakal semakin ketat. Sebab, di sini terdapat 129 perusahaan yang mendapatkan izin. Dulu hanya 20 yang aktif. Sedangkan di sektor ritel bakal ada pemain baru.

Customer kami umumnya adalah millennial. Mereka memperhatikan sisi lingkungan dan sosial. Sehingga yang menjadi tantangan kami adalah bagaimana mewujudkan semua itu, namun tetap mampu melakukan penugasan dari pemerintah dan subsidi. Itu tantangan dari sisi eksternal.

Bagaimana dengan internal?
Kami sedang mendorong kreativitas teman-teman di Pertamina. Banyak dari mereka yang kurang berani mengambil risiko. Itulah mengapa kami membuat tema yang cukup mengejutkan, yaitu mengalahkan Petronas. Kami memang belum bisa mengalahkan dari sisi aset. Namun, kami bisa mengalahkan mereka dari sisi operating income. Teman-teman pun bertanya bagaimana caranya mengingat kondisi saat ini tidak terlalu baik? Tentunya kami sudah punya kalkulasi dan strategi.

Misalnya saja kondisi beberapa waktu lalu. Penjualan Pertamina paling besar justru ditentukan oleh pemerintah, yaitu melalui Premium, Solar, dan LPG 3 kg. Makanya kami hadirkan Pertalite, dan mendorongnya agar ada di seluruh Indonesia. Kami juga menggencarkan promosi di segala sisi sehingga customer menjadi senang. Selain itu, kami juga masuk ke anak muda dengan menghadirkan Satria Muda Pertamina. Sedangkan di satu sisi kami terus melakukan efisiensi.

Jargon kami adalah Think Like There is No Box. Itulah mengapa kami menghadirkan My Pertamina, merchandise barang Pertamina, masuk ke pasar Eropa sehingga keluarlah Pertamax Turbo, serta ngebut untuk layanan overseas. Kami juga meningkatkan servis dengan menghadirkan red carpet bagi produk terbaik. Kami juga mengeluarkan biosolar. Jadi, produk yang kurang profit, kami geser ke produk yang menguntungkan. Dengan target itu, teman-teman semakin semangat karena hasilnya sudah bisa kita lihat per September 2016 ini. Inovasi dan kreativitas sebagai pilar.

Bagaimana target Pertamina pada tahun 2017?
Kami memang belum menetapkan target. Memang, agak berat jika kami menargetkan laba operasional US$ 8 miliar. Namun, saya senang memberikan target dua kali lipat. Saya lebih senang pasang target tinggi, tapi tercapai US$ 6 miliar atau US$ 7 miliar. Daripada saya tetapkan target US$ 5 miliar, namun tercapainya hanya US$ 5,1 miliar. Adrenaline kami akan lebih terpacu.

Berapa market share Pertamax, Pertalite dan Premium saat ini?
Premium sudah turun jauh. Per September 2016, market share Premium sekitar 54%. Tapi per Oktober, market share Premium hanya 49%. Sedangkan market share Pertalite naik menjadi 30% dan Pertamax naik menjadi 17%.

Apa ini sudah sesuai dengan target Anda?
Target awal saya, market share Premium secara nasional di bawah 50% pada akhir 2016. Namun, saat ini sudah tercapai.

Presiden Joko Widodo menginginkan BBM satu harga hingga Papua. Bagaimana teknisnya?
Selama ini biaya transportasi ditanggung oleh penyalur. Nanti, kami yang akan menanggungnya. Kedua, kami akan memperluas pengiriman SPBU, melalui darat, laut, ataupun udara. Ketiga, kami akan memperbanyak SPBU mulai dari tingkat kabupaten hingga kecamatan. Sehingga, pedagang eceran semakin berkurang.

Lantas bagaimana secara biaya?
Sebenarnya masalah BBM mahal bukan hanya di Papua. Yang dekat saja, seperti Karimun Jawa, baru saja merasakan BBM satu harga. Kenapa? Karena dulu tidak ada orang yang menyuplai ke sana, sehingga banyak yang pakai drum, dan menjual secara eceran. Akhirnya kami suplai pakai ferry, sehingga sekarang kawasan itu sudah memiliki BBM satu harga. Semua ini akan menjadi konsentrasi kami untuk seluruh Indonesia. Setelah Papua, kami akan melihat Kepulauan Maluku. Dalam waktu dekat Enggano.

Banyak yang berpikir bahwa kami akan melakukan subsidi silang. Namun, bukan itu yang kami tetapkan. Kami akan terus memperkuat pasar di Jawa dan Sumatera. Kami harus menjadi pemenang. Dan, sebagian dari keuntungan itulah yang akan kami gunakan untuk membiayai daerah lain. Jadi konsepnya adalah charity atau rahmatan lil alamin. Kami menyebutnya PSM, Pertamina Spiritual Marketing. Inilah yang akan kami kembangkan pada tahun 2017.

Jadi bisnis Pertamina harus untung, mulai dari BBM, pelumas, dan lainnya. Servis kami harus bagus. Ketika Pertamina menang, maka kami akan untung. Dan, jika dihitung, itu bukan biaya yang besar. Misalnya jika kita untung US$ 4 miliar, dan kita gunakan sebanyak US$ 100 juta, itu hanya 2,5%. Jadi ini konsep yang kami gunakan. Masyarakat jangan khawatir bahwa rencana ini tidak akan continue karena takutnya Pertamina rugi. Semua ini sudah kami balik pemikirannya.

Bisa Anda ceritakan apa d’Gil Marketing?
Pada tahun 2015, Pertamina berpikir tentang kuota. Kami takut ketika masyarakat membeli melebihi kuota. Padahal Premium tidak mungkin dihapus. Akhirnya kami membuat produk yang bisa mengurangi konsumsi Premium. Hasilnya customer pindah ke produk baru.

Sebelumnya, Pertamina memiliki 10 kelompok bisnis dan lima di antaranya merah (merugi). Karenanya, Pertamina harus untung semua. Kami melakukan efisiensi dan perbaikan. Saat ini hanya satu produk yang merah, yaitu produk ke PLN. Tapi itukan milik pemerintah juga.

Saya sadar bahwa konsep marketing terus berubah. Jangan hanya berpikir 4P (price, place, promotion, product). Kita harus berpikir 5C (change, customer, competitor, company dan connect). Itulah kenapa kami harus menata brand. Kunci di sini, orang harus kreatif dan berani.

Makanya saya mengajak agar teman-teman Pertamina berpikir gila. Jika seandainya gagal, ya tidak apa-apa. Konsepnya harus sama, yaitu inovatif. Jika salah diperbaiki, tapi ketika gagal diulangi. Sama saja seperti Thomas Alfa Edison. Dia bolak balik gagal. Tapi tidak apa-apa. Prinsipnya seperti itu. Namun satu hal yang harus dicatat, ketika ide itu diterapkan, apakah melanggar hukum, norma dan agama? Itu saja.

Selanjutnya adalah raise the bar. Mulai dari produk, servis atau apa pun, kami naikkan satu tingkat. Sekarang pandangan orang terhadap Pertamina telah berbeda. Misalnya, Pertamax Turbo dipakai Lamborghini di Eropa. Masa Indonesia tidak tertarik? d’Gil Marketing adalah men-challenge orang untuk mengambil risiko dan kreatif. Bisnis harus di-challenge.

Artikel selengkapnya bisa dibaca di
Majalah Marketeers edisi Des 2016-Jan 2017

Related