Serba-Serbi Mengapa Konsumsi Susu Indonesia Rendah

marketeers article
glass of milk

Konsumsi susu Indonesia masih teramat rendah jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan laporan Nielsen RUU Data Tahun 2014, konsumsi susu di Indonesia mencapai 12 liter per kapita per tahun. Jauh tertinggal dari Malaysia 39 liter per kapita per tahun, Vietnam 20 liter, dan Thailand 17 liter.

Tentu jika dibandingkan dengan negara maju, perbedaannya jauh lebih timpang. Amerika Serikat misalnya, konsumsi susunya bisa mencapai 117 liter per kapita per tahun, atau Irlandia sebagai negara pengonsumsi susu tertinggi di dunia yang mencapai 174 liter per kapita per tahun.

Jumlah yang minim itu, membuat rata-rata konsumsi susu orang Indonesia hanya 250 mili liter (ml) per kepala. “Atau setara dengan satu gelas susu per orang per minggu,” ujar Medical Affair Manager PT Frisian Flag Indonesia Rulli P. A. Situmorang saat memberikan penjelaskan menyambut Hari Gizi Nasional di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Jika dirinci lebih dalam, laporan Usage and Attitude Studies 2011 menyebut, konsumen susu mengalami penurunan setelah seseorang melewati masa golden age atau masa pertumbuhan anak usia nol hingga enam tahun.

Laporan itu mencatat, mereka yang berusia 13-20 tahun hanya mengkonsumsi 11 liter per kapita per tahun. Sedangkan usia 21-29 tahun hanya 4 liter per kapita per tahun. Artinya, kesadaran seseorang mengonsumsi susu berkurang seiring usia bertambah.

Ahli Gizi, Dr. Marudut, MPS mengatakan, data rendahnya konsumsi susu di Tanah Air berkorelasi dengan tingkat bayi stunting (tubuh pendek) dan prevalensi Penyakit Tidak Menular (PTM) di Indonesia. Kondisi tubuh anak stunting terjadi karena kekurangan gizi, sehingga mendorong tubuh untuk melakukan ‘kompensasi’ dengan tidak tumbuh ke atas.

Ia menegaskan, susu merupakan pangan hewani yang mengandung zat gizi makro berupa protein, yang bersama protein telur, adalah protein terbaik di antara sumber protein lainnya. Bahkan, protein susu sering dijadikan referensi untuk menilai mutu protein dari sumber pangan lainnya.

“Hanya protein kualitas terbaiklah yang menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak pada usia pertumbuhan serta membentuk dan mengganti jaringan yang rusak,” jelas Marudut yang juga anggota Bidang Penelitian dan Pengembangan Gizi Persatuan Ahli Gizi Indonesia.

Menuru dia, protein susu merupakan asupan gizi dan nutrisi paling baik untuk dikonsumsi dalam melengkapi kekurangan zat gizi yang berasal dari sumber pangan sehari-hari. “Akan tetapi, bukan berarti anak harus dijejali susu saja. Makan dan minum dengan pola seimbang itu yang tepat dilakukan untuk menghindari anak stunting,” tuturnya.

Masalah Distribusi

Jika dicermati, ada beberapa masalah mendasar mengenai alasan mengapa konsumsi susu Indonesia rendah. Pertama, menyangkut produksi susu. Produksi susu di Indonesia cukup rendah, atau hanya menguasai 30% dari total kebutuhan susu nasional. Artinya, 70% sisanya diperoleh secara impor.

Rendahnya produksi susu disebabkan karena produktivitas susu segar masih terlampu minim. Setiap satu sapi, rata-rata hanya memproduksi 10 liter susu per hari. Adapun total sapi perah di negeri ini mencapai sekitar 600.000 ekor. Tentu, jumlah itu jauh dari cukup jika ingin memenuhi 250 juta jiwa populasi Indonesia.

Fasilitas susu sapi perah Greenfield, di Malang, Jawa Timur | Photo Credit: sea-global.com

Produktivitas yang rendah juga terjadi karena sebagian besar peternak sapi di Indonesia berternak dalam skala kecil, yaitu rata-rata dua hingga tiga sapi ekor. Berbeda dengan peternak sapi di Australia dan Selandia Baru di mana satu peternak bisa mengelola 50-60 sapi perah.

Tak hanya itu, pola pengelolaan pun masih tradisional, alias peternak masih banyak memerah dengan menggunakan tangan, tanpa bantuan mesin.

Karenanya, dalam meningkatkan produksi susu, peternak membutuhkan pakan ternak yang unggul dan pengelolaan yang berkualitas. Akan tetapi, biasanya itu baru memungkinkan dilakukan oleh peternak sapi skala besar yang telah memiliki modal mumpuni.

Tak heran, dengan produksi dan kualitas yang rendah, harga susu sapi perah di level peternak lokal cukup rendah, berkisar Rp 5.000 hingga Rp 5.500 per liter. Hal ini lah yang memicu pemerintah untuk segera menetapkan harga dasar (floor price) susu segar nasional di level peternak. Tujuannya untuk menstimulus gairah peternak agar memproduksi susu sapi lebih banyak lagi.

Selain masalah produksi, masalah kedua yang turut berkontribusi terhadap tingkat konsumsi susu adalah distribusi. Doni Wibisono Wiroto, Public Affairs Manager PT Frisian Flag Indonesia mengatakan, infrastruktur yang belum merata, membuat produsen susu sulit memasarkan susunya di seantero Tanah Air.

“Ini menjadi tantangan kita semua untuk negara kepulauan, di mana distribusi menjadi kendala bisnis,” katanya.

Infrastruktur yang belum merata, membuat distribusi pun sulit menjangkau daerah-daerah terpencil. Saat ini, Frisian Flag telah memiliki 9 kantor cabang utama yang mengurusi 180 distributor di seluruh penjuru negeri.

“Di Kupang, produk kami sudah masuk. Namun, di Pulau Atambua, Flores, itu belum,” ceritanya.

(Baca Juga: Regenerasi dan Harga, Masalah Peternak Susu Sapi Indonesia)

Masalah distribusi membuat produsen kian selektif dalam memasarkan produk. Semakin sulit kawasan itu terjamah, susu yang tersedia adalah susu tipe condensed milk atau kental manis. Sebab, susu jenis ini selain masa kadaluarsanya cukup lama, juga hargaya relatif terjangkau.

“Ini terbukti dari kontribusi penjualan kami, dimana 40% disumbang dari produk susu kental manis,” kata Doni, seraya mengatakan, susu bubuk dan susu cair berkontribusi masing-masing 30% terhadap perusahaan yang mengantongi 23% market share susu nasional ini.

Lebih lanjut, distribusi yang tidak merata menjadikan konsumsi susu timpang antara kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, dengan wilayah Timur Indonesia. Di Ibu Kota, konsumsi susu berkisar 18-20 liter per kapita per tahun. Sedangkan di wilayah Timur bisa dibawah 10 liter per kapita per tahun.

“Untuk menjangkau seluruh masyarakat, kami terus meningkatkan armada distribusi dengan menambah kantor cabang baru di Indonesia,” tuturnya.

Rendahnya angka konsumsi susu mengindikasikan masih besarnya peluang bisnis yang bisa dimanfaatkan oleh para produsen susu. Bahkan, PT Fonterra Indonesia meyakini belanja susu masyarakat Indonesia bakal meningkat 13% saban tahunnya.

Dengan pertumbuhan tersebut, produsen susu Anlene ini optimistis pada tahun 2019, belanja susu masyarakat Indonesia mampu menembus Rp 44 triliun.

Lebih lanjut, pabrikan susu asal Selandia Baru ini menyatakan, pertumbuhan belanja susu di Indonesia dipengaruhi oleh gaya hidup kelas menengah yang gemar makan di luar rumah, seperti di restoran.

“Masyarakat kelas menengah mulai peduli makanan bernutrisi tinggi. Di saat yang sama, restoran saat ini banyak menghadirkan menu-menu olahan susu,” ujar Head of Consumer Insight and Marketing Research Fonterra Indonesia Tria Septariana.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related