Alasan Media Sosial Harus Dipisah dengan E-commerce

marketeers article
social commerce | sumber: 123rf

Pemerintah telah resmi mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Dalam beleid ini, media sosial, e-commerce, dan social commerce bakal dipisahkan.

Fiki Satari, Staf Khusus Menteri koperasi dan UKM (MenKopUKM) Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif menuturkan dalam Pasal 21 ayat (3) social commerce hanya diperbolehkan sebagai sarana untuk memberikan penawaran barang dan atau jasa. Dia bilang aturan tersebut diambil mempertimbangkan bahayanya sebuah platform menjalankan bisnis media sosial dengan e-commerce secara bersamaan.

BACA JUGA: TikTok Shop Resmi Dilarang Transaksi, Kemendag Beri Waktu Sepekan

Setidaknya ada empat alasan yang membuat sebuah platform dilarang menjalankan bisnis tersebut secara bersamaan. Pertama, sebuah platform bisa memonopoli pasar.

Ironisnya, monopoli alur traffic dijalankan tanpa disadari oleh pengguna. Mereka diarahkan untuk membeli produk tertentu tanpa mereka sadar.

BACA JUGA: Revisi Permendag 50 Tahun 2020, TikTok Dilarang Transaksi Langsung

“Monopoli terjadi apabila ada platform yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pasar, penetapan harga yang tidak adil, perlakuan yang berbeda, dan penetapan harga diskriminatif berdasarkan data yang dipunyai,” kata Fiki melalui keterangannya, Selasa (3/10/2023).

Kedua, platform bisa memanipulasi algoritma. Platform yang memiliki media sosial dan e-commerce secara bersamaan bisa dengan mudah mendorong produk asing tertentu untuk muncul terus menerus di media sosial pengguna dan pada saat bersamaan mempersulit produk lokal untuk muncul di media sosial.

“Manipulasi algoritma ini memungkinkan platform untuk menguntungkan satu produk dan di saat bersamaan mendiskriminasi produk lainnya,” ujarnya.

Ketiga, platform bisa memanfaatkan traffic. Media sosial mempunyai traffic yang sangat besar dan saat ini dapat dimanfaatkan menjadi navigasi atau trigger dalam pembelian di e-commerce.

Trigger pembelian ini tidak boleh ditangkap oleh e-commerce yang berada dalam satu platform dengan media sosial. Jika ini terjadi, maka tidak ada equal playing field dalam industri digital di Indonesia.

Keempat, terkait dengan perlindungan data. Jika berkaca kepada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, pemrosesan data pribadi dilakukan sesuai dengan tujuannya. 

Pasalnya, media sosial tujuannya untuk hiburan, maka data yang didapat dari situ tidak untuk diperdagangkan.

“Data demografi pengguna dan agregat pembelian sangat memungkinkan untuk diduplikasi sebagai basis pembuatan produk sendiri atau terafiliasi oleh platform yang menjalankan bisnis secara bersamaan,” kata Fiki.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Dia bilang sebuah platform memang sudah sewajarnya untuk dilarang menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan.

Jika tidak diatur, berpotensi menghadirkan persaingan dagang yang tidak sehat. Pemisahan ini diperlukan salah satunya untuk menjaga keamanan data.

Penyalahgunaan data akan lebih sulit dilakukan jika terbagi di dua platform berbeda. Selain itu, pengawasan yang dilakukan juga dapat lebih optimal karena tidak tumpang tindih.

“Kalau di luar negeri memang dipisah, jadi sosial media dan e-commerce itu dipisah atau tidak jadi satu,” kata Bhima.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related