Alasan Mengapa Industri Alat Kesehatan Indonesia Sulit Berkembang

marketeers article
Banjir Impor, Industri Alkes Nasional Hanya Raih Pasar 0,7%. (FOTO: 123rf)

Dengan populasi mencapai 250 juta jiwa, industri alat kesehatan di negeri ini memiliki potensi besar. Hanya saja, banyak tantangan yang mesti dihadapi para pemain industri tersebut. Mulai dari rantai perizinan yang panjang, hingga kurangnya insentif investasi di sektor manufaktur alkes.

Industri alkes merupakan bagian dari industri kesehatan yang diprediksi meningkat dua kali lipat dalam enam tahun ke depan. Pada tahun 2018 saja, industri kesehatan memiliki valuasi US$ 60,6 miliar dengan compound annual growth rate sekitar 14,9% pada tahun 2012-2018.

Sementara itu, Gabungan Perusahan Alat Kesehatan & Laboratorium Indonesia (Gakeslab) menyebut bahwa alat kesehatan di dalam negeri diprediksi menembus Rp 17 triliun pada tahun ini dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 10%.

Hanya saja, yang menjadi tantangan saat ini adalah 92% produk alkes yang beredar di fasilitas kesehatan baik swasta maupun milik pemerintah merupakan produk impor.

Impor mesti dilakukan karena kebutuhan alkes bersifat mendesak. Apalagi, dengan diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional, permintaan alkes, khususnya alat-alat sekali pakai semakin meninggi.

Pemerintah sebenarnya sudah mendorong industri dalam negeri untuk memproduksi alkes. Melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, pemerintah berharap 25% dari produk alkes pada tahun 2030 adalah merek dalam negeri.

Ketua Umum Gakeslab Indonesia Sugihadi mengatakan, dari 411 anggota Gakeslab, baru sepuluh perusahaan yang memutuskan untuk berkecimpung di industri alkes dengan membuat pabrik. Adapun alkes yang telah diproduksi di dalam negeri antara lain kursi roda, tempat tidur pasien, stem jantung, mesin anastesi, jarum, dan benang bedah.

Menurut Sugihaldi, masih banyak produk alkes yang bisa diusahakan untuk diproduksi di dalam negeri. Khususnya, produk-produk non-teknologi, seperti gunting dan selang infus.

“Selang infus menggunakan biji plastik. Nah, bijih plastik yang digunakan harus medical grade. Dan itu belum ada perusahaan chemical di Indonesia yang memproduksi itu,” paparnya dalam konferensi pers di Ritz-Carlton Mega Kuningan, Jakarta, Selasa, (16/10/2018).

Sekjen Gakeslab Randy Teguh mengatakan, selain soal bahan baku yang sulit, tantangan Indonesia membangun industri alkes adalah soal perizinan. Ia bilang, untuk membuat pabrik alkes dari pembuatan PT sampai produksi, membutuhkan waktu 24 hingga 36 bulan.

“Investasi askes tidak cukup besar menarik perhatian pemerintah. Di BKPM, ada perizinan yang selesai dalam satu jam. Tapi tidak bagi alkes,” kata dia.

Menurutnya, ini lebih disebabkan karena investasi alkes di Indonesia sampai saat ini masih dalam kategori kecil atau berkisar Rp 10-30 miliar. Sementara itu, BKPM dapat memberikan izin investasi dalam tiga jam dengan syarat apabila investasinya menelan biaya di atas Rp 100 miliar.

“Dari sisi tenaga kerja, industri alkes pun hanya menyerap 20 sampai 30 orang. Sehingga, hal-hal itu dirasa tidak layak diberikan keistimewahan,” tutur Randy.

Jika kondisi masih seperti di atas, sulit bagi pemerintah untuk mencapai target 25% industri alkes nasional pada tahun 2030. Selain memerlukan modal dan investasi, industri alkes sangat terikat dengan banyak regulasi, tentu dengan segala sanksi hukumnya.

Sebagai representasi dari pelaku usaha, Gakeslab berharap pemerintah menyeimbangkan kondisi ini dengan jaminan dan kemudahan berusaha demi mendukung pelayanan kesehatan nasional berjalan lebih baik.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

 

 

Related