Ancaman Depopulasi: Bayang-Bayang Krisis Demografis Dunia dan Dampaknya bagi Indonesia

marketeers article
Ilustrasi populasi masyarakat. (FOTO: 123RF)

Oleh:Hasanuddin Ali, Founder and CEO Alvara Research Center

Di tengah hiruk-pikuk isu perubahan iklim, krisis energi, dan konflik geopolitik, dunia kini menghadapi tantangan yang tak kalah genting namun kerap luput dari perhatian: ancaman depopulasi.

Fenomena ini terjadi ketika tingkat kelahiran suatu negara menurun secara signifikan hingga berada di bawah angka penggantian (replacement rate), yakni rata-rata 2,1 anak per perempuan. Jika situasi ini berlangsung terus-menerus, maka dalam jangka panjang jumlah penduduk akan menyusut drastis, memicu ketidakseimbangan struktural dalam masyarakat.

Penduduk dunia tahun 2024 menurut PBB diperkirakan mencapai 8,2 Milyar dan  terus mengalami pertumbuhan meski trendnya menujukkan adanya perlambatan. Estimasi PBB menunjukkan puncak populasi penduduk dunia terjadi pada tahun 2080 dengan jumlah penduduk sebesar 10,3 Milyar jiwa.

BACA JUGA: Masyarakat Bisa Jual Jelantah Rp 6.000 per Liter ke Pertamina di 6 Lokasi Ini

Trend perlambatan pertumbuhan penduduk dunia terjadi hampir disemua kawasan dunia, namun berdasarkan proyeksi PBB, penurunan jumlah penduduk terbesar terjadi dikawasan Asia, Eropa, dan Amerika Latin.

Analisa yang sama dilakukan oleh Mckinsey pada bulan Januari 2025 yang menunjukkan fertility rate diberbagai negara jauh dibawah ambang batas 2,1. Bahkan di China fertility rate hanya 1,0, negara-negara di kawasan eropa rata-rata fertility ratenya rata-rata 1,4 dan di negara-negara di Amerika Utara rata-rata 1,6.

Akibat dari pertumbuhan penduduk yang sangat rendah membuat China harus merelakan posisinya sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia kepada India pada tahun 2024. Jepang sudah lebih dahulu mengalami perlambatan pertumbuhan penduduk, bahkan dari tahun ke tahun jumlah penduduk di Jepang tidak bertambah, malah semakin berkurang. Kondisi yang sama sekarang juga sedang terjadi di Korea Selatan.

Tahun demi tahun, angka kelahiran di Jepang menurun sementara proporsi lansia meningkat tajam. Korea Selatan bahkan mencatat angka kelahiran terendah di dunia, dengan rata-rata kurang dari satu anak per perempuan. Situasi ini sangat mengkawatirkan karena kondisi ini tidak hanya bisa mengganggu sistem jaminan sosial dan pensiun, tetapi juga berpotensi menggerus produktivitas ekonomi karena kekurangan tenaga kerja muda.

BACA JUGA: Thailand Targetkan ฿ 800 Miliar dari Sektor Kesehatan dan Kebugaran

Bagaimana dengan Indonesia? Meskipun Indonesia masih tergolong negara dengan populasi besar, tren penurunan angka kelahiran perlahan mulai terlihat.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan angka kelahiran total (total fertility rate) dalam beberapa dekade terakhir, dari sekitar 5 anak per perempuan pada tahun 1970-an menjadi sekitar 2,2 pada tahun 2020-an.

Harus diakui bahwa program Keluarga Berencana yang terjadi di era 80-90an dengan slogannya yang sangat terkenal ”dua anak cukup” mampu menekan angka kelahiran bayi, dan itu terjadi hingga kini.

Selain itu faktor urbanisasi, peningkatan pendidikan perempuan, dan perubahan gaya hidup juga telah berkontribusi pada tren ini.

Faktor penting yang juga harus kita perhatikan adalah adanya trend angka perkawinan di Indonesia yang semakin menurun, data dari BPS yang bersumber dari Kementerian Agama menunjukkan angka pencatatan pernikahan sejak tahun 2019 hingga sekarang terus mengalami penurunan.

Banyak hipotesa yang berkembang mengenai penyebab trend ini diantaranya adanya kecenderungan dikalangan Gen Z dan Milenial untuk menunda perkawinan, Sebagian dari mereka malah menganggap menikah adalah beban.

Penurunan angka kelahiran tidak selalu berarti hal negatif. Dalam jangka pendek, bisa saja hal ini membawa keuntungan berupa bonus demografi, yaitu ketika proporsi penduduk usia produktif mencapai puncaknya, memberikan peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi.

BACA JUGA: Heboh di Media Sosial, Ini Bahaya Pernikahan Dini

Namun bonus ini bersifat sementara, menurut BPS Indonesia akan menikmati bonus demografi sampai tahun 2030 hingga tahun 2035, setelah itu Indonesia akan mulai masuk era aging country. Ketika jumlah penduduk usia tua mulai mendominasi dan kelompok usia muda tidak cukup untuk menggantikannya, maka beban ekonomi akan bergeser. Pemerintah dan masyarakat akan menghadapi tantangan besar dalam membiayai sistem pensiun, layanan kesehatan, serta menjaga produktivitas nasional.

Ancaman depopulasi juga memiliki implikasi sosial yang luas. Ketimpangan populasi antara wilayah barat dan timur Indonesia, misalnya, dapat semakin parah. Wilayah-wilayah seperti Jawa dan Bali mungkin akan mengalami kejenuhan urbanisasi sementara daerah lain kekurangan tenaga kerja dan generasi penerus.

Di sisi lain, budaya keluarga besar yang selama ini menjadi bagian dari identitas masyarakat Indonesia mulai memudar, digantikan oleh preferensi hidup berpasangan tanpa anak atau dengan anak tunggal.

Beberapa negara saat ini sudah mulai membuat kebijakan untuk menangggulangi masalah ini. Negara-negara seperti Prancis dan Hungaria telah mencoba mendorong angka kelahiran kembali naik melalui insentif finansial, dukungan untuk keluarga muda, serta reformasi kebijakan kerja dan perumahan.

Kebijakan yang hampir sama juga dilakukan oleh negara di Asia, seperti China, Jepang, Korea, dan Singapura. Namun keberhasilan kebijakan tersebut tidak selalu membawa dampak signifikan. Artinya, selain intervensi negara, dibutuhkan pula perubahan dalam cara masyarakat memandang keluarga, pekerjaan, dan masa depan.

Untuk kasus Indonesia ancaman depopulasi di tahun-tahun mendatang menjadi sangat serius bila tidak kita antisipasi mulai dari sekarang, apalagi Indonesia sudah mencanangkan visi Indonesia Emas 2045. Sebagai gambaran negara-negara yang saya sebutkan diatas ketika mengalami depopulasi status negara-negara tersebut sudah negara maju. Pertanyaannya adalah ketika depopulasi sudah terjadi di Indonesia, apakah status Indonesia sudah menjadi negara maju atau belum?.

Oleh karena itu kita harus betul-betul memaksimalkan dan memacu pembangunan ekonomi setidaknya sampai 10 tahun mendatang.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak cukup hanya 5%  sebagaimana yang terjadi dalam 10 tahun terakhir, minimal pertumbuhan ekonomi harus diatas 7%. Bonus demografi harus benar-benar dimanfaatkan dengan baik, kesempatan kerja harus dibuka seluas-luasnya, meningkatkan produktifitas dan mencari sumber-sumber baru pendorong pertumbuhan ekonomi.

BACA JUGA: 3 Tips Mengatur Keseimbangan Keuangan, Keluarga, dan Kesejahteraan

Disisi lain ketimpangan ekonomi harus diatasi, baik dari sisi pendapatan maupun juga dari sisi kewilayahan, jawa-luar jawa, perkotaan-perdesaan.

Kedua, pembangunan berbasis keluarga juga bisa menjadi pilihan utama, kita tentu menaruh harapan besar kepada Kementerian Kependudukan dan Pembangunan

Keluarga, dulu BKKBN, untuk merumuskan berbagai kebijakan pembangunan yang pro-keluarga, kebijakan yang bisa mendukung peningkatan kualitas kehidupan keluarga.

Ketiga, yang tidak kalah penting adalah perlunya ”rekayasa sosial” untuk mencegah berbagai kampanye gaya hidup anti keluarga dan anti keturunan yang sedang marak belakangan ini terutama dikalangan anak muda. Berbagai pendekatan harus dilukakan baik melalui jalur pendekatan agama maupun juga pendekatan sosial budaya.

Depopulasi bukan sekadar urusan angka, melainkan persoalan keberlanjutan sebuah peradaban, bagaimana generasi mendatang akan mewarisi dunia yang akan kita tinggalkan.

Jika tidak diantisipasi sejak dini, penurunan populasi bukan hanya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mengikis struktur sosial yang menopang kehidupan bersama. Dunia dan Indonesia kini berada di persimpangan sejarah: apakah kita akan menua bersama atau membangun masa depan yang berimbang dan berkelanjutan?

Editor: Eric Iskandarsjah Z

Related

award
SPSAwArDS