Ancaman Pandemi Masih Ada, Brand Jangan Overmarketing dan Eksploitasi Konsumen

marketeers article
Busy Group of People Discussion about Startup Business

Berbicara mengenai gaya hidup, pandemi menyebabkan perubahan gaya hidup masyarakat secara signifikan. Kesehatan, kebersihan, dan keamanan menjadi prioritas utama dalam menjalankan kegiatan sehari-hari. Perubahan ditangkap merek untuk melakukan berbagai strategi pemasaran yang adaptif dan menciptakan new lifestyle marketing.

Menurut Ignatius Untung, Head of Brand and Marketing LinkAja, gaya hidup konsumen dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu pleasure driven, pain avoidance driven, serta keduanya. Di kategori pertama, pleasure driven merupakan sebuah gaya hidup yang didorong dari kesenangan saat melakukan suatu kegiatan, contohnya adalah menggunakan sosial media.

“Sedangkan untuk saat ini, gaya hidup seperti menjaga kesehatan dan kebersihan masuk ke pain avoidance driven, atau menghindari rasa sakit. Serta untuk ketiga adalah kombinasi antar pleasure driven dan pain avoidance driven, ini prosesnya panjang. Misal dari menghindari rasa sakit lama-lama menjadi kebiasaan yang menciptakan suatu kesenangan,” jelas Untung pada acara Marketeers iClub ‘Exploring New Lifestyle Marketing‘ Jumat (7/8).

Lantas bagaimana caranya perubahan gaya hidup tersebut dapat menjadi sebuah strategi marketing? Merek harus ingat, gaya hidup saat ini dapat membatasi kegiatan masyarakat, terutama pada sektor-sektor tertentu seperti pariwisata dan perjalanan.

Kedua pemain di sektor ini kemudian harus pintar dalam memilih strategi marketing. Namun, intinya adalah bagaimana ketika konsumen tidak dapat menggunakan jasa atau layanan, merek tetap dapat mempertahankan brand awareness. Biasanya diwujudkan dengan berbagai kampanye yang menarik simpati konsumen.

“Jangan lupa untuk planting seed of craving. Hotel melakukan ini dengan menjual pre-paid voucher, beli sekarang, tapi bisa digunakan nanti. Jadi, voucernya punya jangka waktu yang panjang. Konsumen pun akan tertarik membeli karena bisa digunakan setelah pandemi,” imbuh Untung.

Untung menambahkan, ada pula merek yang tiba-tiba menjadi hero atau merek yang produknya banyak digunakan karena adanya gaya hidup baru ini. Merek seperti ini jangan melakukan eksploitasi dan jangan overmarketing karena dapat menghilangkan nilai dari merek.

Sedangkan untuk merek yang berada di situasi keduanya, merek harus menghadirkan solusi dan jangan memaksakan strategi marketing yang nantinya malah menghasilkan kerugian.

Untung mengutip perkataan Piyush Pandey, Chief Creative Officer Worldwide Ogilvy, COVID-19 is not for profit. “Merek yang baik harus memposisikan diri sebagai good friend. Jadi ketika orang-orang mengkonsumsi merek karena dilandaskan avoid pain, pertanyaannya adalah what would a good friend do?,” tutup Untung.

Editor: Ramadhan Triwijanarko

Related