Apindo: Pasar Eropa Tolak Produk dari Negara Pelanggar HAM

marketeers article
Sumber gambar: 123rf.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebutkan pasar di kawasan Eropa saat ini mulai melakukan kampanye penolakan untuk menggunakan barang-barang dari negara yang dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM). Hal ini membuka peluang Indonesia untuk memperluas pasar ekspor ke Benua Biru di tengah situasi ekonomi yang makin bergejolak.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Oktober 2022, nilai ekspor Indonesia ke Eropa mencapai US$ 1,81 miliar. Dengan nilai ekspor tersebut, Eropa menjadi pasar ekspor terbesar ke-15 setelah Cina, India, Amerika Serikat (AS), dan Asia Tenggara (ASEAN).

BACA JUGA: Survei Apindo: 39,4% Industri Tumbuh di Atas 5% pada 2023

Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum Apindo menilai sejauh ini Indonesia merupakan negara yang patuh terhadap HAM sehingga berpeluang untuk bisa meningkatkan ekspor. Kendati demikian, peluang ini belum dibarengi dengan selesainya perjanjian-perjanjian dagang antara Indonesia-Eropa yang berakibat masih tingginya bea masuk.

“Perlu adanya percepatan finalisasi perjanjian perdagangan kita dengan Eropa yang sebetulnya punya potensi untuk masuk Eropa di tengah-tengah situasi resesi mereka. Sebab, konsumen di sana sudah tidak menginginkan menggunakan produk yang dihasilkan oleh negara-negara yang melanggar HAM seperti di Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Bangladesh yang dianggapnya kurang patuh terhadap HAM,” kata Hariyadi dalam dialog daring bertajuk Mengelola Ketidakpastian Ekonomi di Tahun Politik, Senin (5/12/2022).

BACA JUGA: Order Turun 51%, Industri Tekstil PHK 79.316 Pekerja

Hariyadi melanjutkan upaya mempercepat penyelesaian perjanjian dagang harus segera dilakukan, khususnya bagi industri-industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki. Langkah itu dilakukan untuk menyelamatkan kedua industri tersebut dari ancaman badai pemutusan hubungan kerja (PHK).

Tak hanya itu, fleksibilitas regulasi terkait dengan jam kerja dan jaminan sosial kesehatan serta ketenagakerjaan juga perlu dilakukan pemerintah. Alasannya, kedua komponen itu merupakan biaya operasional tertinggi bagi industri padat karya.

“Pokoknya yang penting jangan ada PHK dulu. Sebab, berdasarkan laporan terakhir sudah ada 79.000 pekerja tekstil dan produk tekstil yang telah terkena PHK,” tuturnya.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related