Aviliani: Fokuskan Dana PEN di Perbankan ke Proyek Pemerintah

marketeers article

Untuk memulihkan ekonomi negara, pemerintah melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) telah menganggarkan sekitar RP 695  triliun.  Sekitar Rp 203 triliun dari nilai tersebut berkaitan dengan demand side, sedangkan yang sisanya untuk supply side.

Dalam demand side ada masalah data, yakni jumlah orang miskin baru yang jumlahnya masih bertambah dan terus diverifikasi.  Sedangkan dana santunan untuk yang bergaji di bawah Rp 5 juta baru dilakukan belakangan melalui BPJS Ketenagakerjaan. Masalahnya, yang terdata di BPJS Ketenagakerjaan kebanyakan di sektor formal, padahal banyak yang di sektor informal juga banyak yang terpapar, tapi belum terdata. 

“Hingga 16 September implementasi di sisi demand side baru sekitar 35%. Jadi, akan lebih baik bila menggunakan data yang ada saja. Di sisi lain, BPK juga harus memahami tujuan pemerintah baik, jadi harus ada pengertian agar nantinya dianggap temuan korupsi,” kata Aviliani, Ekonom INDEF dan Komisaris Independen Bank Mega.

Bagaimana bank mengoptimalkan PEN ini? Dalam POJK 11/POJK.03/2020, bank boleh memberikan restrukturisasi bagi yang terdampak COVID-19. Di bebeberapa negara lain, semua kredit direstrukturisasi, justru yang tidak mau mendapatkan datang melapor. Sedangkan di Indonesia yang tidak lapor dianggap tidak mau mengajukan restrukturisasi. 

Saat ini, nilai restrukturisasi sudah mencapai Rp 800 triliun. Pemerintah memprediksi angkanya bisa menembus Rp 1.000 triliun. Sektor UKM menjadi target dari restrukturisasi karena sektor ini yang terdampak lebih dulu dibanding korporasi. Segmen korporasi dianggap masih bisa bertahan antara 6-12 bulan.

Pemerintah juga meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan relaksasi pada perbankan yang memberikan restruktrurisasi. Artinya, dengan memberikan restrukturisasi tidak dianggap sebagai kenaikan nonperforming loan (NPL).  Sehingga, saat ini tingkat NPL industri perbankan masih 3,22%.

Masih terkait dana PEN, pemerintahan memang bisa menempatkan dana tersebut di perbankan, baik bank pemerintah, swasta atau bank daerah dengan bunga murah, tapi wajib disalurkan. Pemerintah juga memberikan jaminan hingga 80% untuk pinjaman hingga Rp 1 triliun oleh Jamkrindo, Askrindo, dan LPEI.

Masalahnya, sekarang ini belum ada permintaan kredit. Hal ini, menurut Aviliani, mendorong munculnya dua hal yang patut diwaspadai. Pertama, kanibalisme, yakni mengambil kredit di bank lain, tapi tidak tumbuh, hanya pindah saja. Kedua, seolah tumbuh padahal tidak karena hanya menambah kredit UKM yang sedang tidak jalan usahanya.

“Hal ini bisa memicu kenaikan NPL saat pandemi sudah lewat.  Jadi, tidak usah memaksa memberikan kredit pada masyarakat dan swasta. Sebaiknya, biayai dulu proyek-proyek pemerintah, sehingga kredit bank tumbuh,” katanya.

Seandainya saat ini ingin menyalurkan kredit, maka salurkan di sektor-sektor yang sedang tumbuh, seperti pangan dan kesehatan. Setelah mulai normal, sektor pariwisata dan turunanya bisa menjadi target kucuran kredit. “Pilih sektor dan destinasi yang sudah hijau terlebih dulu untuk diberi kredit,” tambahnya.

    Related