Aviliani: Pemerintah Harus Menjaga Optimisme Masyarakat

marketeers article
Tree growing on coins stack ,concept of investment growth.

Pada acara Lintasarta Cloudeka Conference waktu lalu, Aviliani selaku Senior Economist di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menegaskan bahwa dari waktu ke waktu ekonomi akan selalu menghadapi krisis. Oleh sebab itu,  di tengah pandemi para pelaku usaha maupun regulator jangan hanya menunggu ekonomi membaik, namun perlu melakukan sesuatu seperti hidup berdampingan dengan pandemi.

Menurutnya pandemi COVID-19 telah mengakibatkan berbagai hal. Di antaranya, menurunnya daya beli. Adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di awal pandemi, yang mana aktivitas masyarakat mulai berkurang memicu permintaan dari konsumen menurun. Dengan rendahnya daya beli ini menimbulkan lonjakan pengangguran yang akhirnya membuat pemerintah akhirnya meluncurkan dana pemulihan ekonomi atau yang kerap dikenal sebagai dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang bertujuan untuk mempertahankan daya beli masyarakat.

Ia mengungkap di tahun 2021, ekonomi Indonesia sebenarnya sudah mulai membaik yang terlihat pada pertumbuhan sekitar 7% year on year. Hadirnya vaksin di tahun ini membuat masyarakat cenderung lebih optimis, namun ketika muncul Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) menimbulkan kembali penurunan meskipun tidak seburuk tahun lalu.

 


“Melihat hal tersebut, pemerintah perlu mawas diri kepada masyarakat yang sudah optimistis agar mereka tidak kembali pesimis. Karena jika masyarakat mulai pesimis, bahayanya mereka akan mengurangi konsumsi,” ujar Aviliani.

Ia menambahkan, terkait moneter Bank Indonesia menurunkan suku bunga sebagai acuan untuk menstimulus penyaluran kredit dan melakukan skema burden sharing. Tidak hanya dampak negatif, sisi positif akibat pandemi juga terlihat pada pasar saham yang cenderung membaik. Hal ini terjadi karena tingkat konsumsi turun, dimana masyarakat terutama generasi milenial menempatkan lebih banyak investasi.

“Dengan memanfaatkan teknologi, generasi milenial semakin melek investasi. Artinya, teknologi atau digital ternyata memicu untuk masyarakat mulai berinvestasi secara langsung. Teknologi telah mempermudah mereka untuk berinvestasi,” ungkap Aviliani.

Sementara dampak pada kredit perbankan, ia mengungkap tumbuh meskipun belum signifikan. Didominasi pada sektor pertambangan yang didukung dengan hadirnya mobil listrik. Likuiditas  sangat longgar, setiap bank memiliki likuiditas sekitar 23% yang menunjukkan kekuatan. Hampir seluruh bank mulai mengarah ke digital, tidak hanya layanan bank saja namun juga produk. Sehingga hal ini merupakan prospek bagi perusahaan berbasis teknologi. Belum lagi didukung oleh lembaga keuangan lainnya seperti asuransi, multi-finance, dan fintech.

Kembali kepada dampak negatif pandemi COVID-19, hutang pemerintah Indonesia semakin meningkat yang dilatarbelakangi oleh shortfall pajak dan defisit. Seperti yang telah diketahui, setiap krisis pendapatan pajak menurun. Dengan begitu, pemerintah harus menutup oleh hutang. Sementara defisit lebih dari 3% karena ketika membutuhkan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak mampu membiayai yang akhirnya defisit mencapai 5%.

Dari sektor riil, kapasitas produksi Indonesia bergerak di atas 50%. Artinya, melihat dari survei yang biasanya dilakukan jika Purchasing Manager Index (PMI) naik hingga mendekati bahkan mencapai 100%, maka perekonomian dianggap membaik, artinya ada produksi. Oleh sebab itu, menurutnya triwulan tiga tahun ini diperkirakan perbaikan mulai terjadi apabila memang asumsinya tidak ada varian baru COVID-19.

Ia turut menyebutkan sektor yang cepat pulih ialah sektor informasi dan telekomunikasi, industri makanan dan minuman, jasa kesehatan, pendidikan, agrikultur dan peternakan dan air bersih. Sedangkan sektor yang mengalami pemulihan secara sedang ialah perdagangan besar dan retail, industri pengolahan, sektor keuangan, konstruksi, minyak dan gas, transportasi darat dan pergudangan, serta pertambangan. Lalu sektor yang pemulihannya lambar antara lain hotel dan restoran, transportasi udara dan sektor real estate.

“Untuk mencapai pemulihan dengan cepat yang dibutuhkan adalah infrastruktur dan Sumber Daya Manusia (SDM). Untuk saat ini masih banyak infrastruktur yang belum mendukung di daerah, sehingga teknologi tidak dapat dioptimalkan. Sangat sulit mencari SDM yang memahami dan mumpuni mengenai teknologi, padahal di era saat ini sangat dibutuhkan oleh setiap perusahaan,” kata Aviliani.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related