Bagaimana Pelayanan Buruk Khas Karen’s Diner, Bisa Laku di Pasar?

marketeers article
Crew Karens Diner Jakarta (Sumber: Instagram Bengkel Burger, Official Partner Karens Diner)

Baru-baru ini dunia maya diramaikan dengan video restoran Karen’s Diner yang memberikan pelayanan buruk bagi pelanggannya. Dalam video itu menggambarkan pramusaji dan koki yang selalu marah-marah ketika bekerja. Bahkan, tak jarang mereka melempar alat masak maupun makanan yang disajikan. Namun, hal ini tidak membuat pembeli enggan datang. 

Justru sebaliknya, cara tersebut mampu mendatangkan jumlah pembeli yang banyak dan perhatian netizen di media sosial. Ignatius Untung, Praktisi Marketing dan Behavioral Science menuturkan cara yang dilakukan koki maupun pramusaji merupakan bentuk teknik marketing

Tujuannya untuk menimbulkan rasa penasaran orang agar mau datang ke gerai sekadar melihat mereka marah-marah.

BACA JUGA: Ciptakan Value Abadi ke Pelanggan, Pahami Aspek Penting Pelayanan

“Saya melihatnya restoran itu bukanlah layanannya yang buruk, tapi justru entertainment company yang sengaja di-setting seperti itu agar orang mau datang untuk menonton. Hingga akhirnya mereka mau membeli makanan atau produknya walaupun rasanya ya tidak begitu menonjol,” kata Untung dalam YouTube Marketeers TV bertajuk Markethink, dikutip Rabu (15/2/2023).

Menurutnya, cara pemasaran seperti itu tak jauh berbeda dengan yang dilakukan bioskop-bioskop dengan menawarkan sensasi menonton film yang berbeda. Dengan begitu, yang terjual tidak hanya tiket saja, melainkan makanan-makanan di sana juga turut diborong pengunjung.

Restoran tersebut juga sama, dengan banyaknya orang yang penasaran dan ingin menonton koki serta pramusaji yang marah-marah atau melempar barang akhirnya mereka membeli makanan. Tujuannya memang untuk bersenang-senang sehingga orang yang datang tidak tersinggung melihat koki dan pramusaji marah.

BACA JUGA: Ciptakan Loyalitas Pelanggan, Merek Tak Sekadar Nama atau Simbol

Bahkan, dapat dipastikan orang yang datang ke restoran tersebut tidak untuk menikmati masakannya. Namun, justru ikut merekam video untuk menjadi pusat perhatian di sosial media atau viral. 

Untung menyebut konsep ini dengan istilah social currency dengan membangun brand image yang unik atau kontroversial. Berkaca dari fenomena itu, Untung bilang pengemasan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi pemasar atau merek. 

Makin unik dan kontroversial kemasan yang disajikan, maka akan kian cepat barang yang dijual dan terkenal. Terlebih lagi di era media sosial seperti sekarang.

“Di social media ulasan terhadap restoran itu tidak ada yang membicarakan soal makanannya, tapi social experience-nya. Dari sana membuktikan, fokus konsumen ketika datang ke sana lebih kepada entertainment-nya ketimbang makanan,” ujarnya.

Bagi pemasar atau merek yang akan menggunakan teknik serupa dalam memasarkan barang, kata Untung, perlu diimbangi dengan kualitas merek yang bagus. Tanpa adanya kualitas yang baik, maka dapat dipastikan strategi tersebut tidak akan bertahan lama mendorong penjualan.

“Mau sampai kapan sih kita datang ke restoran dimarah-marahi. Mungkin satu dua kali masih lucu, masih di-share dan menjadi perhatian publik. Jadi cara seperti ini keberlanjutannya masih tanda tanya karena manusia punya adaptasinya masing-masing, ketika sudah sering menjadi biasa saja,” tuturnya.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related