Belajar Menjaga Brand Value dan Meningkatkan Volume Sales Saat Pandemi Bersama Brodo

profile photo reporter Marketeers
Marketeers
04 Februari 2021
marketeers article

Artikel ini ditulis oleh Bahmaniar Muhammad, Growth Marketing Manager Brodo Footwear.


Semenjak Covid-19 menghantam Indonesia di bulan Maret 2020, seluruh rakyat Indonesia kocar-kacir. Tak siap, sang virus tak hanya mengancam kesehatan banyak orang, namun juga perekonomian bangsa. Karena segala aktivitas luar ruangan dikurangi secara signifikan, berbagai macam industri perlahan lumpuh, mulai dari food & beverage, pariwisata, hingga tentu industri fashion. Tak hanya untuk melindungi badan dari dunia, kegiatan diluar ruangan adalah alasan utama manusia berkontribusi dalam industri fashion, baik sebagai konsumen maupun produsen.

Memahami dua variabel terakhir yang disebutkan pada paragraf sebelumnya, konsumen dan produsen, akan menjadi kunci untuk bertahan dan berjaya di Industri fashion di masa pandemi seperti ini.

Konsumen

Mari memahami lebih dalam apa dampak Covid-19 kepada para konsumen dari proses sebab-akibat yang terjadi:

Pandemi → Aktivitas luar ruangan berkurang → Perekonomian negara melemah → Perekonomian pribadi melemah → Adjustment dari alokasi budget menurut skala prioritas → Melemahkan daya beli konsumen + Kecilnya alasan untuk keluar rumah

Mengacu ke proses sebab-akibat diatas, jelas terjadi perubahan signifikan dari demand produk fashion untuk kebanyakan rakyat Indonesia. Perubahan ini bukan mengurangi kegiatan jual beli, namun merubah daya beli dan skala prioritas konsumen. Behavioral shift ini lah yang para produsen harus bisa memahami dan menyesuaikan.

Produsen

Tanpa menyesuaikan dengan behavioral shift yang terjadi akan sulit untuk para produsen dapat bertahan di industri fashion di masa pandemi ini. Sebagai perwakilan brand yang berkontribusi di industri fashion, khususnya footwear, Brodo melakukan banyak adaptasi sejak bulan April 2020. Beberapa diantaranya:

  1. Memproduksi beberapa produk esensial kala pandemi: Masker, Hand Sanitizer, Hand Extender dan Sejenisnya. Ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan alokasi budget menurut skala prioritas konsumen
  2. Menyesuaikan price point menjadi lebih affordable dengan buying power atau daya beli konsumen. This is where it gets tricky. Mari membedah lebih dalam.

Penyesuaian price point yang marak dan lumrah dilakukan adalah melalui diskon dan segala jenis promosi lainnya. Tentu ini wajar, karena tanpa terjadi transaksi, sebuah bisnis akan runtuh. Namun hal ini tentu mempengaruhi profitability (karena memakan margin produk) dan juga melemahkan branding sebuah bisnis. Ketika konsumen sudah terbiasa dengan harga-harga produk yang terlampau murah melalui diskon, maka akan sulit untuk mengembalikan pricing power dari sebuah brand ke angka semula.

Saat sebuah bisnis sudah bergerak sebagai brand dengan emotional & functional value, dan bukan sekedar merchant yang produce-sell-profit lagi, variabel yang perlu diperhatikan adalah bagaimana dapat menjaga brand equity, branding in general dan bagaimana brand kita dipersepsikan oleh audiens kita.

Untuk menjaga Brand Value, penyesuaian price point dapat dilakukan dengan menyesuaikan dengan Social Economic Status (SES) dari Target Market kita. Mengacu ke pengalaman dan best practice Brodo; Terdapat 3 Klasifikasi yang kami lakukan:

  1. Kelas A: Exclusive pricing diangka Rp 500 ribu ++
  2. Kelas B: Premium pricing diangka Rp 300-500 ribu
  3. Kelas C: Sweet spot pricing diangka Rp 300 ribu

Mengacu ke klasifikasi di atas. Langkah selanjutnya adalah:

  1. Mapping produk apa saja yang sesuai dengan tiap kelasnya
  2. Memproduksi produk yang sesuai dengan tiap kelasnya melalui market & product research yang dalam & agresif
  3. Quality & COGS control untuk setiap kelasnya
  4. Mendistribusi produk di commerce yang sesuai dengan tiap kelasnya

Untuk memahami lebih dalam, terdapat beberapa contoh yang Brodo lakukan:

  1. Kelas A
    1. Produk: Sepatu kulit (Parang Series, Signore, Ventura, Natuna)
    2. Price range: Rp 500-700 ribu
    3. Target Market: First Jobber, 23 tahun++, Rp 3-8 juta pendapatan/bulan
    4. Kompleksitas produksi: Rumit & ber-HPP tinggi, margin sehat
    5. Distribusi: Commerce utama seperti Webstore dan juga Marketplace
    6. Strategic Aim: Brand Equity & Core Branding. Tidak diterapkan diskon

  2. Kelas B
    1. Produk: Sneakers (Vantage V2, Vulcan, Base Signature, dan sejenisnya)
    2. Price range: Rp 300-500 ribu
    3. Target Market: Gen Z & Late Millennials, 16-25 tahun, Rp 1-5 juta pendapatan/bulan
    4. Kompleksitas produksi: Cukup sederhana, ber-HPP cukup dan margin cukup sehat
    5. Distribusi: Webstore, marketplace dan juga reseller
    6. Strategic Aim: Volume sales & branding. Dapat diterapkan diskon

  3. Kelas C
    1. Produk: Vulcanized & Non-footwear (Vantage Lite, Sabuk, Dompet, Kaos)
    2. Price Range: Rp 70-299 ribu
    3. Target Market: Gen Z & late millennials, 15-25 tahun, Rp 1-4 juta pendapatan/bulan
    4. Kompleksitas produksi: Mudah, HPP rendah, margin rendah
    5. Distribusi: hanya marketplace dan juga reseller
    6. Strategic Aim: High volume sales. Pure profitabilitas. Dapat diterapkan diskon

Dengan memproduksi produk yang sesuai dengan target market, jalur distribusi dan daya beli setiap kelas SES-nya, maka sebuah brand akan dapat menjaga volume sales, pricing power & profitabilitas tinggi, tanpa merusak Brand Value dan juga menjaga Brand Equity.

Setiap konsumen memiliki alasan membeli yang beragam dengan daya beli yang berbeda-beda pula. Meski terjadi behavioral shift di masa pandemi seperti ini, dengan membaca data, berstrategi bisnis yang tepat, hal yang tidak diinginkan oleh sebuah bisnis dapat dihindari.

Percayalah, setiap produk memiliki target konsumen yang membutuhkan.

Related