Benarkah Aktivitas Sport Marketing Cenderung Mahal Buat Brand?

marketeers article

Setiap tahunnya ada ratusan hingga ribuan event olah raga di Indonesia. Event tersebut pun terselenggara dari beragam lintas cabang olahraga. Misalnya, Go-Jek Liga 1 untuk kategori sepak bola, Honda DBL untuk cabang bola basket, atau Intersport yang mewakili kontes olahraga otomotif. Brand pun memiliki pilihan yang luas bila ingin masuk ke dalam event olahraga untuk memperkenalkan produknya.

Helatan seperti DBL dan Intersport hanya sebagian kecil dari ratusan kontes olahraga yang tiap tahunnya hadir di Indonesia. Sebagaimana sebuah kontes, keduanya membuka kesempatan yang besar kepada brand lain untuk hadir dan bergabung sebagai mitra. Hanya saja baik Kent Rusli, Brand Manager Gudang Garam, dan Masany Audri selaku Direktur PT DBL Indonesia, sepakat bahwa mitra yang hendak bergabung harus memiliki value yang sama dengan keduanya.

Brand yang berkolaborasi dengan kami harus memiliki visi yang sama terkait pemberdayaan anak muda. Tanpa ada ini, akan sulit untuk bisa benar-benar mendekati anak muda. Alasannya, mereka jadi sulit merasa relate,” jelas Masany.

Intersport juga mempersilakan brand lain untuk bergabung mulai dari menjadi sponsor resmi, aktivasi, atau hanya sekadar menjual makanan. Tapi Kent mengingatkan bahwa Intersport akan melakukan kurasi yang ketat. Karena otosport merupakan olahraga yang sarat akan presisi dan safety.

“Jangan sampai brand equity kami tergerus karena aktivasi dan konten yang salah. Kami sangat detil terhadap konten yang kami angkat.

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kampanye sport marketing terbilang mahal, bila dibandingkan dengan strategi pemasaran lainnya?

Tidak ada jawaban yang pasti akan pertanyaan ini. Semua kembali kepada tujuan yang ingin dicapai. Piotr Jakubowski, CMO Go-Jek misalnya menyarankan kepada brand untuk tidak hanya fokus pada uang yang digelontorkan. Baginya, salah satu yang terpenting adalah membangun sumber dayanya, tidak hanya menempelkan logo brand.

Ia mencontohkan kegiatan Go-Jek yang mengajak mitra driver untuk ikut serta mengibarkan bendera Liga berlogo Go-Jek. “Selain logo bisa terlihat oleh masyarakat, ada nilai tersendiri yang bisa diambil oleh para penonton yang menyaksikannya, selain itu juga memberikan pengalaman baru bagi para mitra driver,” terang Piotr.

DBL meyakini bahwa olahraga harus dibangun dengan komitmen dan konsistensi untuk memberikan dampak yang positif. Tidak bisa dibangun hanya karena kepentingan jangka pendek. Ketika memiliki tujuan yang baik dan menghasilkan dampak sosial yang positif, maka pendapatan bisnis akan mengikuti.

Senada dengan DBL, Intersport menilai bahwa ketika aktivasi dan brand equity yang dimiliki besar, maka akan diikuti dengan margin yang sehat. Bagi Kent, mahal itu relatif, segala sesuatu yang berkaitan dengan offline activation memang cenderung mahal.

“Tapi perlu diingat sport marketing membangun kultisme dari sebuah brand dan spirit dari pertandingan itu sendiri. Melalui cara seperti ini, konsumen akan tahu what brand stand for,” tandasnya.

Sekali lagi sport marketing tidak bisa disudutkan dengan kata, mahal. Beragam cara bisa dilakukan brand untuk masuk ke dalamnya. Namun, perlu diingat, ketika menerapkannya kita tidak hanya berbicara mengeluarkan uang lantas langsung mendapatkan profit kembali. Yang terpenting di dalamnya adalah komitmen dalam membangun pilar-pilar olahraga di masa yang akan datang.

Editor: Sigit Kurniawan

Related