Biar Tangguh, Perusahaan Perlu Integrasikan Lima Dikotomi Ini

marketeers article

Sudah hampir dua tahun, pandemi COVID-19 melanda dan membawa ketidakpastian bagi para pelaku industri. Boleh dibilang tahun 2020 merupakan tahun adaptasi dengan pandemi tersebut. Sementara, pada tahun 2021 yang diklaim sebagai tahun pemulihan, adaptif saja tidaklah cukup. Perusahaan harus tangkas melakukan transformasi bisnis dan organisasinya. Paling tidak, hal inilah yang mengemuka dalam HK Webinar Series Run 21 Run Episode 2 bertajuk Unifying The Corporation, Kamis (8/7/2021).

Hermawan Kartajaya, Founder and Chairman MarkPlus, Inc. dalam webinar tersebut mengajak perusahaan segera melakukan tranformasi. Transformasi tepat menurutnya adalah menjadi omni organisasi. Organisasi omni ini harus mampu memadukan humanity dan digital.

“Perusahaan mapan biasanya mengedepankan PI-PM atau Productivity, Improvement, Profesionalism, dan Management.Namun, di era yang sarat teknologi, perusahaan perlu bersemangat startup yang mengedepankan CI-EL atau Creativity, Innovation, Entrepreneurship, dan Leadership. Idealnya, perusahaan mampu mengintegrasikan keduanya,” ujar Hermawan.

Menurutnya, untuk menjadi organisasi omni, perusahaan memang perlu mendigitalisasikan sistemnya. Namun, perlu juga meningkatkan kapabilitas sumber daya manusia agar lebih melek digital. “Mereka harus naik kelas dengan memiliki skillbaru. Omni tidak hanya soal teknologi, tapi juga unsur humanity yang naik kelas,” katanya.

Masih dalam cara pandang omni, Hermawan mengajak perusahaan-perusahaan untuk bisa mengintegrasikan aneka dikotomi yang terjadi saat ini. Ia menyebut lima dikotomi yang harus diintegrasikan oleh perusahaan di era sekarang.

Pertama, dikotomi orientasi. Di sini, sambung Hermawan, biasanya perusahaan menghadapi dua dikotomi antara mencari untung alias value sekaligus memberi nilai-nilai pada khalayak atau values. “Tak jarang, perusahaan mengejar market value dengan langkah-langkah yang tidak memberi values. Padahal values itu pada akhirnya akan mengangkat value perusahaan tersebut,” katanya.

Hermawan mencontohkan Samator sebagai salah satu perusahaan yang mampu menjaga keseimbangan antara value dan values. Samator yang dikomandoi oleh Arief Harsono selaku founder dikenal sebagai produsen oksigen yang sangat dibutuhkan dalam penanganan COVID-19 ini. Indonesia pun berduka ketika Arif Harsono meninggal dunia lantaran terpapar COVID-19.

Kedua, dikotomi fungsi, yakni marketing dan keuangan. Di banyak perusahaan, dua tim tersebut sering bertentangan satu sama lain. Padahal keduanya justru saling menguatkan satu sama lain. “Kedunya harus ditemukan dan didamaikan agar perusahaan bisa bergerak lebih lincah dalam kondisi pasar yang dinamis,” kata Hermawan.

Ketiga, dikotomi sumberdaya, yakni manusia dan mesin. Di sini, perusahaan yang melakukan transformasi tidak hanya menggeber pemanfaatan teknologi, tetapi juga mendongkrak kapasitas sumber daya manusianya. Teknologi atau mesin, sambung Hermawan, memang menjanjikan efisiensi. Namun, manusia tetap dibutuhkan untuk membuat wisdom dan solusi-solusi yang out of the box.

Keempat, dikotomi ongkos dan kualitas. Di masa sulit, sudah lumrah bila perusahaan melakukan penghematan. Namun, Hermawan mengatakan perusahaan juga ditantang tetap mengedepankan kualitas. Menurutnya, cost dan quality tetap harus dijaga seimbang. Ia mencontohkan maskapai Emirates. “Maskapai ini melakukan pengurangi biaya, namun tidak mengorbankan layanan pada pelanggannya,” katanya.

Kelima, dikotomi generasi, yakni generasi senior dan junior. Generasi yang mewarnai tempat kerja saat ini beragam, dari baby boomer, generasi X, milenial, hingga generasi Z. Tak jarang, sambung Hermawan, terjadi gap antargenerasi. “Saat ini, sudah saatnya ada sinergi antargenerasi tersebut. Hanya dengan ini perusahaan akan kuat,” pungkas Hermawan.

Editor: Sigit Kurniawan

Related