Bisnis F&B Kian Sehat Berkat Tren Gaya Hidup Sehat

marketeers article
people, leisure and food concept close up friends having dinner and eating at restaurant

Fresh, natural, and organic, tiga kata ini bak bumbu penyedap bagi bisnis Food & Beverage (F&B) saat ini. Berbeda dengan lima atau 10 tahun lalu, produk makanan dan minuman sehat tak mudah untuk dijumpai. Kini, mulai dari pusat perbelanjaan, area perkantoran, pusat kebugaran, hingga klinik kecantikan menyajikan berbagai jenis produk F&B berbalut branding ‘makanan sehat’. Entah menaruh label ‘organic’, ‘fresh’, atau pun ‘natural’.

Wajar saja, dengan perubahan gaya hidup konsumen ke arah yang lebih sehat, perubahan perilaku konsumen di industri F&B pun turut terjadi. Di satu sisi, milenial menjadi penggerak utama adopsi tren ini.

Goldman Sachs Investment Research menemukan, milenial mengalokasikan lebih banyak pendapatan mereka ke sektor kuliner. Konsumen dari generasi ini juga memiliki kecenderungan untuk mengonsumsi makanan dan minuman sehat dibandingkan generasi terdahulu mereka.

Menilik secara spesifik konsumsi makanan sehat oleh milenial Indonesia, survei JAKPAT bertajuk ‘Healthy Meals Among Indonesian Millennials’ pada 2018 menunjukkan, rata-rata milenial mengutamakan nutrisi ketika memilih makanan dan minuman.

Konsumen milenial di usia 30-35 tahun menjadi konsumen yang paling peduli terhadap nutrisi (47.4%). Diikuti dengan konsumen milenial usia 26-29 tahun (45.6%). Yang menarik, konsumen di usia 20-25 tahun nyatanya tidak lebih mengutamakan nutrisi (39.3%) dibandingkan konsumen yang lebih muda, yakni 16-19 tahun (42.3%).

Sumber: JAKPAT (Healthy Meals Among Indonesian Millennials, 2018)

Meski milenial menjadi key driver konsumsi makanan dan minuman sehat di Indonesia, perilaku ini dirasakan sejumlah pemain bisnis healthy F&B menular pada generasi lain. Bukan hanya generasi terdahulu milenial yang notabane memiliki purchasing power lebih besar, melainkan generasi Z.

“Semula, pasar terbesar kami adalah generasi muda yang memang peduli terhadap gaya hidup sehat dan pergi ke pusat kebugaran. Seiring berjalannya waktu, demografi ini menyebar. Mulai dari anak-anak sekolah hingga orang tua mengadopsi tren ini,” terang Kareyca Moeloek, Brand Manager Fedwell.

Dampaknya, restoran yang diberi julukan ‘Warteg Sehat’ ini mampu meraup keuntungan besar seiring meluasnya adopsi tren makanan dan minuman sehat. Bayangkan, Fedwell mengklaim mencapai break even point  dalam waktu lima bulan setelah pembukaan toko pertama mereka di Senopati.

Menggiurkan? Jelas. Namun, apakah tren konsumsi makanan dan minuman sehat ini akan bertahan setidaknya sampai tiga hingga lima tahun ke depan?

Bagi SaladStop, fenomena ini bukan sekadar tren tahunan yang akan hilang dan digantikan dengan yang lain. “Ini merupakan sebuah perubahan gaya hidup. Bukan sekadar tren makanan, namun secara kolektif mengubah the way people live,” terang Brand Manager SaladStop Adhi Putra Tawakal.

Yang jelas, hal ini memakan waktu. Persoalan utama yang dihadapi pemain healthy F&B terletak pada perkara edukasi. Mengubah mindset orang Indonesia yang menilai “makanan sehat itu mahal” atau stigma “makanan sehat pasti tidak enak” menjadi pekerjaan rumah bagi para pemain.

Hal ini yang dialami SaladStop ketika memboyong merek mereka ke Indonesia pada 2016. Meski merasa masuk pada timing yang tepat lantaran pasar Indonesia dirasa mulai mengadopsi pola makan sehat, tantangan yang dihadapi nyatanya masih sama.

Lidah konsumen Indonesia sudah terbiasa dengan menu masakan Jepang, mulai dari teriyaki hingga yakiniku yang diperkenalkan oleh sejumlah restoran cepat saji, seperti Hoka-Hoka Bento. Demikian pula menu Pizza yang telah diperkenalkan Pizza Hut selama bertahun-tahun. Namun, tidak dengan salad.

Faktanya, sebelum SaladStop masuk ke Indonesia, belum ada merek yang benar-benar memberikan edukasi tentang salad. No wonder, jika masih banyak orang yang salah kaprah dan menaruh ekspektasi rendah soal salad.

“Ini yang jadi pekerjaan rumah kami. Menu salad memang sudah ada dan banyak kita jumpai sejak dulu. Namun, penyajiannya kerap membuat orang tidak tertarik, sekadar sayur dan dressing. Padahal, kita tahu orang Indonesia jarang menyukai sayur. Sayur selalu menjadi secondary alias pelengkap, tidak lebih utama dari nasi dan lauk. Sudah masyarakatnya tidak suka makan sayur, restoran yang memberikan edukasi kepada publik kalau sayuran itu enak juga belum ada,” ujar Adhi.

Hal senada turut dirasakan Re.juve. Produsen cold-pressed juices ini juga harus berjuang keras untuk mengubah mindset orang Indonesia kalau makanan sehat belum tentu tidak enak.

Baik SaladStop maupun Re.juve mengemas branding mereka dengan satu pesan senada, memberikan makanan sehat berkualitas, tapi juga enak.

Menyesuaikan dengan lidah konsumen Indonesia, SaladStop menyediakan sekitar 20 dressing salad dengan ragam komposisi topping yang sudah jelas perhitungan gizinya. Mereka juga menyediakan entry level menu bagi konsumen yang baru memulai gaya hidup sehat.

One Protein Bowls misalnya, sajian makanan berbahan dasar sayur dengan komposisi protein yang lebih tinggi ini disajikan Salad Stop bersama beberapa produk campuran dari brown rice dan quinoa. Alhasil, konsumen yang baru belajar mengonsumsi salad tetap merasa ‘lengkap’ dengan kehadiran nasi dalam menu makanan mereka.

Sementara, Re.juve yang sejak awal mengedepankan integritas untuk menghadirkan produk yang sehat dan enak turut megimplementasikan nilai ini. Mereka tidak segan untuk tidak menggunakan buah dan sayur yang umum dikonsumsi konsumen Indonesia jika cita rasa yang tercipta dirasa belum sempurna.

“Lihat saja, hingga hari ini kami tidak menjual jus stroberi karena kami belum menemukan campuran yang enak untuk buah tersebut. Alhasil, kami hold dulu buah itu dan dimanfaatkan untuk produk infused water. Ini menegaskan, Re.juve tidak hanya memastikan produk yang diberikan sehat bagi konsumen, melainkan juga enak,” jelas Richard Anthony, CEO and President Director PT Sewu Segar Primatama.

Bagi Richard, sekadar menaruh label ‘produk sehat’ tidak akan membuat bisnis sustain di pasaran. Pada akhirnya, rasa yang berbicara. Tinggal bagaimana para produsen dapat meracik sajian yang sehat namun juga enak.

Sehat tapi mahal, apakah laku di pasaran?

Selain stigma “makanan sehat pasti tidak enak,” persoalan lain yang dihadapi para pemain healthy F&B adalah masalah harga. Meski survei JAKPAT menunjukkan rata-rata konsumen mengutamakan rasa dibandingkan harga, pasar Indonesia diakui para pemain cukup price sensitive. Apalagi, makanan dan minuman sehat identik dengan harga yang tidak murah.

Alasan yang selalu digaungkan pelaku bisnis ini adalah “ada harga, ada barang”. Kualitas diklaim menentukan kuantitas harga. Lantas, bagaimana para pemain deal dengan perilaku konsumen Indonesia yang price sensitive?

Re.juve mencoba mengakali hal ini dengan mengurangi cost mereka. Jika diperhatikan dalam lima tahun terakhir, cost yang dibanderol Re.juve tidak banyak berubah.

“Bagaimana kita mengakalinya? Dengan menambah volume produksi, kami dapat menekan cost produksi sehingga berdampak pada cost di pasar. Dari sisi customer, kami konsisten membangun kepercayaan mereka melalui transparansi yang kami berikan soal produk-produk Re.juve. Ketika customer semakin loyal, jumlah produksi bertambah dan biaya produksi yang dibutuhkan dapat semakin ditekan,” terang Richard.

Berbeda dengan jenis bisnis F&B lain, para pemain healthy F&B nampak tak terlalu tergiur dengan promosi gila-gilaan. Berkaca dari SaladStop, mereka tidak pernah meletakkan banner promosi cashback yang belakangan berjejer di banyak restoran F&B. Alasannya jelas, demi menjaga sustainabilitas bisnis.

“Bukan anti promosi, kami memastikan promosi tidak menjadi pesan yang paling nyaring didengar. Kami memastikan agar apa yang didengar konsumen tentang SaladStop adalah soal kualitas dari produk kami. Jadi, konsumen yang datang bukan karena promosi. Selain menjaga sustainabilitas bisnis, hal ini sekaligus menjaga branding kami, bukan semata-mata soal gengsi,” ungkap Adhi.

Bicara outlook ke depan, para pemain percaya seiring dengan pertumbuhan income per kapita dan literasi gaya hidup sehat yang kian meluas, persoalan harga tak terlalu jadi perkara.

Selebihnya, bagaimana para pemain dapat melakukan strategi pemasaran yang tepat dan menarik target konsumen untuk setidaknya mencoba produk mereka.

Aktivitas pemasaran online dan offline perlu dilakukan secara kreatif dan menyenangkan. Fedwell misalnya, melalui campaign ‘Humans of Fedwell’ mereka mengajak para konsumen terlibat lebih jauh dengan merek mereka.

Regular customer Fedwell diajak untuk memberikan nama pada menu DIY bowl mereka, bisa mencantumkan nama pribadi customer tersebut atau pun nama unik lain. Kemudian, Fedwell mengekspos produk tersebut melalui media sosial dan siapa pun bisa memesan menu racikan regular customer tersebut.

Engagement yang diperoleh diakui Kareyca cukup tinggi. Pasalnya, customer bisa menyuarakan produk personalisasi mereka. Biasanya, para regular customer akan mengadvokasi orang-orang disekitarnya untuk mencoba menu racikan mereka.

Selebihnya, aktivitas offline harus dilakukan. Tentunya, dengan membawa produk tersebut langsung ke hadapan konsumen. Re.juve memilih untuk secara rutin mengunjungi perkantoran dan memberikan edukasi langsung kepada target konsumen mereka. Sekaligus, mengajak mereka mencoba langsung produk Re.juve.

Sementara, bagi SaladStop cara paling efektif adalah menjalin media relations dan aktif meningkatkan community engagement. Dengan skema sponsorship, SaladStop telah mendukung berbagai event dari berbagai sektor, mulai dari kecantikan, kesehatan, hingga fesyen. Sejumlah gelaran, seperti Jakarta Fashion Week, aktivitas RIDE Jakarta, hingga kegiatan Under Armour dan PUMA tak luput dari andil SaladStop.

Pada akhirnya, lebih dari sekadar label ‘produk sehat’, cita rasa dan kemampuan pemain meyakini konsumen soal harga yang reasonable menjadi poin penting bagi keberlangsungan bisnis healthy F&B.s

Related