Brand Numbness dan Janjinya kepada Konsumen

marketeers article
Janji sebuah merek ke konsumen (Ilustrasi: 123RF)

Oleh Ignatius Untung, Praktisi Marketing & Behavioral Science 

Apa Anda pernah mendengar istilah brand numbness? Atau pernah mendengar ucapan berikut: Ah, dia sih sudah biasa janji-janji surga. Jangan dipercaya, sudah biasa itu sih.” Anda pasti pernah mendengar ucapan seperti ini. Ucapan seperti ini biasa dilontarkan pada orang-orang yang sudah mempunyai citra buruk karena sering tidak menepati janji.

Sehingga, ketika ia mengucap janji-janji lagi, kita yang mendengarnya tidak menanggapinya dan tidak menggubrisnya lebih jauh. Tidak jarang, kita bahkan hanya diam atau tersenyum simpul sekadar menunjukkan kesopanan saja, namun dalam hati kita sudah tidak terpengaruh sama sekali dengan omongannya.

Hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari fungsi otak yang selalu berusaha mengotomatisasi. Otak merupakan organ yang paling banyak mengonsumsi energi kita. Walaupun beratnya hanya 2%-3% dari bobot tubuh kita, namun otak mengonsumsi 20% energi kita sehari-hari. 

Sebab itu, kita tidak bisa melakukan dua hal yang tidak diotomatisasi secara bersamaan. Sebagian besar dari kita, misalnya, kesulitan berbicara di telepon sambil parkir mundur. Kita juga kesulitan untuk mendengarkan dua presentasi di dua online meeting yang bersamaan. Ini karena otak belum memiliki database yang cukup untuk merespons pembicaraan di telepon, parkir mundur, dan topik dalam dua online meeting tersebut. Untuk itu, kita butuh berkonsentrasi dan menggunakan mode pilot kita. Mode pilot kita tidak bisa berjalan paralel bersamaan pada dua hal berbeda.

Namun, kita bisa mengerjakan dua hal yang sudah ada database-nya, sehingga bisa diotomatisasi oleh mode autopilot kita. Kita bisa menyetrika pakaian sambil ngemil. Kita bisa menyetir mobil ke kantor sambil menghitung satu hingga seratus. Karena semua hal ini sudah tertanam dalam database otak kita, sehingga kita bisa melakukannya “di luar kepala” secara paralel bersamaan. 

Bahkan, otak kita masih bisa memproses dua hal yang paralel bersamaan, baik yang satu autopilot dan satu mode pilot. Maka dari itu, kita bisa menyetir sambil berbicara dengan teman kantor melalui telepon, karena database menyetir sudah ada di autopilot kita. Kita juga bisa bermain gitar sambil mendengar curhatan teman sambil memberi saran kepadanya. Karena bermain gitar sudah masuk ke dalam database kita, sehingga bisa kita otomatisasi.

Mode Pilot Otak

Mode pilot otak kita inilah yang makan energi sebegitu besar. Karenanya, otak sebisa mungkin berusaha menangkap apa pun yang secara berulang terjadi untuk kemudian disimpan dalam database dan dijadikan program untuk diotomatisasi. Tujuannya, agar otak bisa melakukannya secara paralel dengan hal lain yang lebih membutuhkan konsentrasi.

Segala informasi yang ditangkap oleh otak kita akan dilihat seberapa hal itu berulang. Ketika berulang maka program otomatis mulai dibangun. Program otomatisasinya bisa berupa diabaikan atau apa pun bentuknya. Walaupun tidak selalu akurat, namun karena sudah begitu konsisten perlakuan yang kita terima dari seseorang yang sama, kita mempercayai kemungkinan terulang kembalinya besar sekali.

Pada tahap awal gerak-gerik dan perlakuan si subjek masih terus diamati dan direkam oleh otak untuk kemudian di-update dalam database otak kita tentang kelakuannya. Namun, konsisten secara terus menerus, maka otak memberi label paten dan sulit mengubahnya.

BACA JUGA: Motivasi Konsumen Bisa Jadi Strategi Jitu Tingkatkan Pembelian Ulang

Ketika database dan program terhadap sesuatu itu sudah jadi, kita bisa melakukannya tanpa memikir. Kita dan otak kita bisa melakukannya sambil melakukan hal lain. Sayangnya, sulit untuk mengubahnya. Hal ini terlontar sebagai artikulasi dari program yang sudah terbangun karena konsistensi tersebut dan sulit bagi kita untuk mempercayai bahwa ia bisa berubah. 

Kita apatis pada team member yang sudah sering tidak perform dan seolah-olah tidak bisa perform lagi. Kita menutup pintu karena sudah sebegitu sering membuktikan bahwa ia tidak perform dan tidak berubah. Sampai, sama sekali tidak mudah untuk mengubah program tersebut. 

Pada fase ini, kita disebut judgemental dan tidak jarang kita menjadi stereotyping alias menggeneralisasi hal yang sama pada kelompok yang sama. Misalnya, kita bisa menganggap etnis tertentu cenderung omong besar dan malas. Sementara etnis lain kita labeli sebagai pekerja keras, rajin, dan perhitungan. 

Proses stereotyping ini bukan hanya terjadi pada kelompok besar, tapi juga kelompok kecil dengan pembeda yang lebih spesifik. Misalnya, lulusan kampus A cenderung rajin dan reliable. Sementara, mereka yang pernah kerja di perusahaan B cenderung bossy dan malas. Ini semua terjadi secara otomatis tanpa diminta karena otak butuh untuk mengelompokkan dan mensimplifikasi bebannya berdasarkan kemungkinan sesuatu akan terjadi lagi di kemudian hari.

Ketika fase ini terjadi, kesempatan menjadi terbatas buat mereka yang keburu dianggap tidak becus, tidak bisa dipercaya, dan berbagai persepsi buruk lainnya. Sulit untuk melawan program tersebut. Apalagi program ini terjadi secara otomatis secara bawah sadar sebagai bentuk survival mode otak.  

Brand Numbness

Tidak jarang, ketika mereka yang dianggap jelek pada akhirnya berubah, kita sudah tidak begitu percaya. Kita sudah terlalu sulit untuk percaya bahwa ia bisa berubah. Hal ini terjadi bukan hanya pada hal buruk saja, tapi seseorang juga bisa mendapatkan cap baik karena sebegitu konsistennya berbuat baik. 

Kabar baiknya, cap baik ini bisa terjadi pada merek. Kabar buruknya, hal yang sama juga bisa terjadi pada merek. Kita pasti punya merek yang sudah masuk dalam kelompok “ya sudahlah”, yaitu merek-merek yang apa pun yang diomongkan akan dikomentari dalam hati sebagai “ya sudahlah”. 

Lebih parah lagi, ada dari mereka yang bahkan pesan dan penawarannya sudah tidak dikomentari sama sekali. Merek-merek ini mengalami kehilangan dampak pada kampanye dan hal-hal yang ditawarkannya. Walaupun digelontorkan dengan belanja media yang luar biasa dan membuat banyak orang tahu, namun reputasinya yang sebegitu buruk membuat audiens mengomentarinya dengan “ya sudahlah”.

Berkurangnya dampak terhadap campaign dan offer-nya pun tidak terjadi seketika. Namun, perlahan-lahan persis seperti karat yang perlahan-lahan menyebar. Di tahap awal, campaign yang dilancarkan masih memilik dampak walaupun dampaknya segera menghilang ketika campaign-nya dihentikan. 

Padahal, biasanya dampak campaign bisa bertahan beberapa waktu setelah selesai. Lama kelamaan, bahkan di periode brand campaign yang sedang habis-habisan belanja media juga tidak ada pengaruh signifikan selain awareness saja. Sayangnya, merek yang ada di kategori ini seringkali tidak sadar akan kondisi mereka. Ini terjadi karena pemahaman si empunya merek mengenai dampak campaign biasanya minim. Mereka hanya menghitung awareness saja tanpa memperhitungkan traction dan marketing funnel-nya. Sebab itu, merek-merek semacam ini bisa dengan mudah terseret ke jurang yang semakin dalam seiring tidak sadarnya mereka akan kesalahan mereka.

Tahap ini saya beri nama brand numbness alias merek yang sudah membuat orang mati rasa. Pesannya, campaign dan offer-nya sudah kehilangan daya untuk menciptakan impact. Berapa pun belanja marketing yang digelontorkan akan lewat begitu saja tanpa hasil yang baik. Semakin tidak diperbaiki penyebabnya, semakin parah stadium kegawatannya.

Dalam stadium yang ringan dan masih bisa diobati, merek masuk ke dalam fase ini karena kurang kreatif. Pesan dan penawaran yang ditawarkan begitu-begitu saja, sehingga tidak ada kejutan bagi audiens dan target pasarnya. 

Harus diingat manusia adalah adaptation machine, hal yang sama persis yang menggugah emosi kita perlahan-lahan menjadi terasa biasa dan kehilangan dayanya untuk bisa menggugah emosi kita seperti sebelumnya. Secara fisiologis, hormone dopamine juga tidak akan terpicu ketika otak sudah mendapatkan pattern dari pleasure yang ditawarkan. Dopamine memang sensitif terhadap kejutan dan pleasure yang tidak terduga. Sehingga, merek yang melakukan hal yang sama berulang-ulang akan masuk ke stadium awal brand numbness.

Hal yang sama juga bisa menyerang berbagai macam merek yang melakukan hal yang sama secara mirip atau sama dalam jangka waktu yang panjang bersama pemain lain dalam kategori yang sama. Hal ini terjadi pada bagaimana penawaran cashback yang dilancarkan oleh para pemain e-money dan e-wallet. Ketika semua pemain berlomba melakukan penawaran cashback, maka cashback yang dulu terasa sebegitu berdampak meningkatkan traction mulai kehilangan dampaknya. Sayangnya, ini tidak hanya terjadi pada satu merek tersebut, tapi pada semua merek yang ada di kategori tersebut. 

Pada stadium lanjut yang sudah cenderung sulit diobati, ada merek-merek yang sebegitu konsisten mengecewakan. Mereka secara konsisten memberikan pengalaman yang buruk. Produk yang buruk hingga komplain yang tidak ditanggapi dengan baik. Meski awalnya, konsumen komplain karena masih menyimpan kepercayaan pada merek tersebut untuk, namun lama kelamaan konsumen sudah tidak melakukan lagi. Sebab, sudah dianggap tidak tertolong dan tidak akan bisa merespons dengan baik. 

Apa Bisa Recovery?

Merek-merek yang ada di kategori ini sudah kehilangan dampak terhadap penawarannya. Orang-orang tidak lagi merespons campaign. Bahkan, penawaran dari merek ini ditanggapi secara sinis. Bisa dikatakan, merek tersebut itu sudah masuk  ke daftar blacklist.

Namun, bukan berarti merek yang masuk ke dalam fase ini akan secara otomatis kehilangan pelanggan. Merek-merek yang merupakan komoditas atau yang tidak punya pesaing di kategori tersebut bisa berada di fase ini dalam waktu yang lama tanpa kehilangan pangsa pasarnya. Mereka baru akan tersiksa ketika ada pesaing baru yang datang menawarkan pengalaman yang lebih baik.

Untuk bisa mengobati merek yang sudah terlanjur masuk ke fase ini bisa dilakukan beberapa cara bergantung pada tingkat keparahannya. Dalam tahap awal, merek bisa diselamatkan sekadar dengan membuat sesuatu yang berbeda. Contohnya, memberi penawaran berbeda, kemasan berbeda, hingga campaign yang berbeda. 

BACA JUGA: Membentuk Kebiasaan Konsumen Agar Merek Rutin Digunakan

Namun, untuk mereka yang sudah dalam tahap yang lebih parah butuh keseriusan untuk bisa bertransformasi total agar bisa memperbaiki situasi. Butuh waktu dan bahkan endorsement dari pihak ketiga yang bisa dipercaya untuk bisa mengubah persepsi dan mengeluarkan dari daftar blacklist. Butuh waktu untuk bisa mengeluarkannya karena merek pada fase ini secara konsisten memberikan pengalaman buruk yang juga sudah berlangsung cukup lama. 

Dalam melakukan brand transformation ini seringkali perusahaan perlu mengganti orang-orang yang menangani merek dan bertanggung jawab terhadap penciptaan experience-nya. Karena jika memang mereka bisa langsung berubah, seharusnya mereka sudah melakukannya sejak lama. 

Seringkali, merek terjerembab begitu dalam tanpa sadar dan mau berubah hingga pada akhirnya dalam kondisi yang sulit ditolong juga karena orang-orang yang memang sulit berubah. Satu hal penting yang harus dicamkan oleh merek yang sudah berada di fase ini adalah untuk sangat berhati-hati, sehingga tidak jatuh ke kesalahan yang sama lagi. 

Jika kembali melakukan kesalahan yang sama maka akan semakin sulit untuk memperbaikinya dan tidak jarang pemilik merek memilih untuk membunuhnya dan membentuk  merek baru. Perlu diingat juga bahwa penyakit brand numbness ini juga bisa menular pada merek-merek yang berada di bawah payung perusahaan yang sama. 

Maka dari itu, brand health check harus secara rutin dilakukan. Tujuannya, memastikan merek tidak masuk ke dalam “kutukan” ini. Bagaimana dengan merek Anda? 

Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz

Related