Bukan Lagi Digital Banking, Tapi Intelligence Banking

marketeers article

Di Indonesia, permintaan terhadap layanan digital perbankan terus mengalami kenaikan sejalan dengan meningkatnya pengguna internet aktif. Bank dituntut menyediakan layanan yang lebih cepat, nyaman, praktis, serta layanan dengan harga yang terjangkau.

Pandemi juga telah mempercepat layanan perbankan untuk mengadopsi teknologi digital. Dalam beberapa bulan pertama pandemi COVID-19, penggunaan online mobile banking dalam negeri telah meningkat sekitar 20% hingga 50%.

Menurut data McKinsey, 40% dari responden mengatakan akan melakukan transaksi perbankan secara online. Sementara itu, 42% responden juga akan lebih menggunakan mobile banking dibanding 8% responden yang mengatakan tidak. Dari sisi kunjungan cabang, sebanyak 34% responden mengatakan akan mengurangi kunjungan cabang, sedangkan 16% masih akan menggunakan cara konvensional dalam melakukan transaksi perbankan.

“Sebelum era digital, cabang merupakan suatu yang vital. Namun, penggunaan cabang telah menurun secara signifikan. Nasabah akan lebih memilih untuk menggunakan digital platform,” kata Kevin Kane, Chief Technology Officer Amar Bank dalam gelaran acara MarkPlus Conference 2021, Kamis (10/12/2020).

Kane menuturkan, saat ini perbankan tidak hanya membutuhkan digital banking tetapi juga intelligence banking dengan memanfaatkan teknologi Artificial Intelligence (AI). Potensi annual value untuk penggunaan analitik AI di perbankan global bahkan dapat mencapai US$ 1 triliun.

Bank dapat memanfaatkan penggunaan AI untuk memperbaiki customer experience maupun proses back-office seperti teknologi machine learning untuk mendeteksi pola penipuan dan serangan keamanan siber. AI juga dapat digunakan untuk menganalisis transaksi secara real-time sehingga dapat memonitor potensi risiko.

Selain back-office, teknologi juga dapat digunakan pada poses front-office. Saat ini, bank masih menggunakan pin untuk melakukan konfirmasi transaksi perbankan, ke depannya bank dapat menggunakan face recognition atau facial scanning.

“Bayangkan jika pin diganti dengan face recognition. Jadi, instead of what we know yang selama ini dapat diketahui orang lain diganti menjadi what we have, yaitu muka kita sendiri. Ini akan meningkatkan keamanan dalam bertransaksi,” pungkas Kane.

Selain AI, terdapat infrastruktur lainnya yang dibutuhkan dalam mendukung intelligence bank, yaitu Cloud, Data, dan Application Programming Interface (API). Dengan menggunakan cloud, bank dapat meningkatkan skalabilitas dan kecepatan dari computer engine yang membantu dalam proses layanan perbankan.

Di sisi lain, data seorang nasabah di layanan perbankan kadang terpisah-pisah. Jika data dapat diintegrasikan dalam satu tempat, pengelolaan data dan kegiatan pemasaran perbankan akan dapat lebih tepat sasaran.

“Bank juga membutuhkan API sistem yang terintegrasi dan mudah untuk diintegrasikan. Seringkali di perbankan, untuk melakukan integrasi dengan partner brand sangat susah karena API harus dibuat dari awal. Integrasi API dibutuhkan untuk membantu ketersediaan data dan menyediakan end-to-end services kepada nasabah,” jelas Kane.

Terdapat beberapa keuntungan dalam menggunakan AI di layanan perbankan. Pertama, meningkat revenue melalui peningkatan personalisasi layanan kepada nasabah maupun karyawan. Kedua, menurunkan pengeluaran melalui efisiensi dari teknologi otomatisasi, mengurangi error rates, dan pemanfaatan sumber daya yang lebih baik. Terakhir, bank dapat menangkap peluang baru berdasarkan data yang telah dikumpulkan.

“Untuk memenuhi kebutuhan konsumen, AI-first bank dalam menawarkan proposisi dan pengalaman yang intelligent, personalized, dan omnichannel yang lebih seamless menghasilkan produk dan layanan yang lebih relevan,” tutup Kane.

Editor: Ramadhan Triwijanarko

Related