Buruh Desak Pemerintah Naikkan Upah Berdasarkan Inflasi

marketeers article
Ilustrasi pekerja tekstil. Sumber gambar: 123rf.

Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia mendesak pemerintah menentukan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) berdasarkan tingkat inflasi dan ditambah dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini sesuai formula yang ada pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Adapun pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan telah menetapkan kenaikan UMP sebesar 10% pada 2023. Ini tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.

BACA JUGA: Bank Indonesia Naikkan Suku Bunga Acuan 50 Bps ke 5,25%

Mirah Sumirat, Presiden Aspek mengatakan pihaknya mengapresiasi terbitnya aturan tersebut sebagai pengganti dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang merupakan aturan turunan dari Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja. Kendati demikian, dia menyayangkan formula baru yang ada dalam Permenaker 18/2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 yang masih belum maksimal karena kenaikan upah minimum dibatasi dengan indeks tertentu.

“Kami menilai perubahan ketentuan penetapan UMP 2023 tersebut, secara tidak langsung adalah sebuah pengakuan dari pemerintah bahwa PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan adalah ketentuan yang tidak berkeadilan dan tidak mensejahterakan bagi pekerja Indonesia,” kata Mirah melalui keterangannya, Senin (21/11/2022).

BACA JUGA: Inflasi AS Selamatkan Market Kripto Kala Bursa FTX Runtuh

Para buruh juga meminta kepada kelompok pengusaha untuk berjiwa besar dengan tidak memaksakan untuk menolak Permenaker 18/2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 dan tidak memaksakan pemberlakuan PP 36/2021 Pengupahan. Sebab, selama ini pengusaha telah mendapatkan banyak insentif dari pemerintah.

Tak hanya itu, Aspek Indonesia mendesak kepala daerah untuk memaksimalkan peran dewan pengupahan agar realisasi kenaikan upah bisa maksimal sehingga memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi pekerja. Termasuk pula memaksimalkan peran pengawas ketenagakerjaan di daerah agar semua perusahaan tunduk pada Permenaker 18/2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.

“Jika Pemerintah baik pusat maupun daerah, termasuk pengusaha, masih tetap memberlakukan PP 36/2021 tentang Pengupahan, tindakan itu justru merupakan pelanggaran terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menegaskan bahwa Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) cacat secara formil dan dinyatakan inkonstitusionalitas bersyarat,” ujarnya.

Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) juga mengungkapkan hal yang sama. Dia mengapresiasi langkah pemerintah yang tidak menggunakan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan untuk menentukan besaran upah tahun depan.

Namun, Said menilai penentuan rumus dalam menaikkan besaran upah terlalu rumit sehingga harus berpatokan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Rumusan ini diterapkan pula oleh negara-negara di seluruh dunia dalam menetapkan kenaikan upah.

“Sedangkan alternatif kedua, menghitung standar biaya hidup (living cost). Di mana untuk Indonesia standar biaya hidup tersebut dinamai kebutuhan hidup layak (KHL) yang terdiri dari 64 item mulai dari harga daging, beras, baju, dan seterusnya. Hasil survei kebutuhan hidup layak inilah yang dirundingkan di Dewan Pengupahan untuk direkomendasikan kepada kepala daerah,” kata Said.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related