Chatbot, Tren Baru Tingkatkan Customer Engagement

marketeers article

Perkembangan teknologi telah mengubah cara berkomunikasi produsen terhadap konsumen. Jika tiga tahun belakangan produsen dituntut memiliki aplikasi, kini beberapa produsen mulai mengembangkan teknologi robotik berjiwa manusia dalam upaya meningkatkan efisiensi kerja dan engagement dengan konsumen. Sederet nama seperti Vira, Rinna, Jemma, dan Veronika hadir dalam upaya membantu pelanggan dalam bentuk Chatbot. Lalu, seberapa besar efisiensi Chatbot bagi sebuah brand?

Line, messaging platform yang menjadi salah satu pionir teknologi Chatbot menganggap ini sebagai salah satu tools targeted marketing bagi pebisnis. Revie Sylviana, Business Development Director Line Indonesia di Social Media Week Jakarta, Kamis (14/09/2017) mengatakan, ada beberapa keunggulan yang dapat diperoleh brand dalam menggunakan Chatbot.

“Banyak brand yang kebingungan bentuk Chatbot seperti apa yang harus mereka gunakan. Sebenarnya ini kembali kepada kebutuhan masing-masing brand itu sendiri karena mereka lebih mengenal customer-nya. Namun, banyak brand yang menggunakan Chatbot sebagai layanan customer care. Jika sebelumnnya satu orang hanya dapat menangani satu user, melalui Chatbot ini seribu user dapat ditangani langsung dalam satu waktu yang bersamaan,” jelas Revie.

Menurut Revie, fungsi Chatbot tak sebatas sebagai customer care. Kini, sederet brand mulai menggunakan Chatbot untuk membantu mereka memasarkan produk, memproses transaksi jual beli, hingga mengumpulkan data pelaku untuk profiling yang berujung kepada targeted messaging.

“Chatbot dapat pula digunakan untuk meningkatkan loyalitas konsumen.  Contohnya, jika sebuah brand bergerak di bisnis ritel atau apparel, mereka dapat mengintegrasikan fungsi Chatbot ke dalam loyalty platform mereka. Brand dapat melihat produk FMCG apa yang dibeli konsumen dan kapan perkiraan waktu pemakaian produk tersebut habis. Brand kemudian dapat secara proaktif mengingatkan konsumen tersebut untuk membeli produk itu kembali melalui Chatbot. Jadi, fungsinya memang beragam,” tutur Revie.

Chatbot, Kompleksitas Bahasa, dan Human Touch

Efisiensi yang diberikan teknologi Chatbot bukan tanpa kelemahan. Hal ini dirasakan oleh BCA yang menyebut teknologi Chatbot mereka dengan sebutan Vira. Wakil Presiden Direktur BCA Armand Hartono menjelaskan, salah satu kelemahan Vira saat ini terdapat dalam perbendaharaan kata.

“Memang BCA masih mengembangkan Vira terutama untuk masalah kosa kata sehingga Ia dapat lebih banyak memahami apa yang disampaikan konsumen dengan tepat. Saat ini, Vira BCA terbatas dalam memberikan informasi seputar saldo, kurs, lokasi ATM, cek mutasi rekening, info kartu kredit, dan administrasi,” jelas Armand mengenai Vira yang kini hadir di platform Facebook, Line, dan Kaskus.

Permasalahan ini menjadi perhatian sejumlah pengembang teknologi Artificial Intelligence (AI), diantaranya Kata.ai.  CEO sekaligus CO-Founder Kata.ai Irzan Aditya mengakui, masyarakat Indonesia memang memiliki keunikan dalam penggunaan bahasa. Selain faktor suku yang beragam, terdapat gap yang begitu besar antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Pasar Indonesia dianggap Irzan begitu atraktif dan menciptakan beragam bahasa slang yang membuat para pengembang Chatbot cukup kewalahan.

“Saat ini, kami menggunakan teknologi Natural Language Processing yang memungkinkan perusahaan memiliki Chatbot yang mampu berkomunikasi sesuai dengan persona sebuah brand. Melalui data perilaku dari jutaan percakapan yang meliputi lebih dari lima puluh ranah komersial, kami telah mengembangkan teknologi Chatbot yang dapat berkomunikasi dengan bahasa non-formal (slang) dengan tingkat kompleksitas yang cukup tinggi,” terang Irzan.

Jemma adalah Chatbot milik Unilever yang telah dikembangkan oleh Kata.ai melalui teknologi ini. Hadir di Line dalam bentuk official account Unilever, Jemma hadir seperti teman chat bagi para Line user.

“Fungsinya tidak lain untuk meningkatkan engagement konsumen terhadap brand itu sendiri. Jemma telah memiliki 1.4 juta pengikut di Line dalam waktu sembilan bulan dengan 180 juta total percakapan bersama user. Yang paling mengejutkan, durasi waktu percakapan terpanjang antara user dengan Jemma bahkan mencapai dua jam. Jelas, ini berpotensi membangun engagement yang lebih dalam dengan calon konsumen,” kata Irzan.

Tak hanya Jemma, perusahaan telekomunikasi Telkomsel pun menggunakan teknologi ini. Jika sebelumnya Telkomsel memiliki layanan Voice Mail bernama Veronika, kini Veronika hadir dalam bentuk AI yang dapat dijumpai di Facebook, Line, dan Telegram. Irzan mengungkapkan, Veronika juga memiliki kemampuan serupa dengan Jemma yang dapat memahami ragam bahasa slang yang digunakan user.

Inovasi lain datang dari Microsoft yang baru saja meluncurkan Chatbot bernama Rinna. Berupaya menghadirkan human touch dalam sebuah robot, Microsoft kemudian mengembangkan Chatbot yang memiliki body temperature bagi mesin.

“Microsoft ingin mengembangkan bahwa Chatbot tidak lagi sekadar asisten atau correct answer semata. Mesin umumnya tidak peka, dan dibutuhkan sentuhan manusia untuk dapat meningkatkan engagement dengan konsumen. Mimpi kami adalah memiliki AI yang memiliki body temperature as a human being,” jelas Product Manager AI Microsoft Indonesia Yugie Nugraha.

Setelah dirilis resmi sejak 22 April lalu di Indonesia, Yugie mengatakan durasi conversation terpanjang bersama Rinna mencapai tujuh jam waktu chattingMenurut Yugie, Microsoft membekali Rinna dengan data yang melimpah untuk memungkinkan Rinna menjawab dengan cara yang berbeda namun tetap related. “Karena customer engagement adalah target utama kami. Melalui Chatbot yang cerdas, mereka nantinya dapat mengikat customer untuk kemudian diarahkan kepada sebuah brand tertentu,” terang Yugie.

Pada akhirnya, Revie mengatakan, Chatbot dapat membantu proses akuisisi pelanggan dan transaksi. Bagi brand,  sambung Revie, hal ini menjadi sisi convinience factor. Misalnya, Chatbot bisa menjadi akuisisi tools lantaran ada servis yang dapat memberikan akses yang lebih dekat dengan customer itu sendiri, lebih convinience melalui chat. 

“Sementara untuk kompetisi, ini akan menjadi brand tools yang dapat menggerakkan pembelian dari online to offline seperti promo kupon Starbucks yang ditukarkan digerai, atau justru dari offline to online,” terang Revie.

Akankah tren Chatbot efektif menjadi sarana peningkatan engagement brand dengan konsumen?

Editor: Sigit Kurniawan

Related