Climate Finance di Asia dan Timur Tengah Masih Rendah

marketeers article
Sumber: 123RF

ICAEW Economic InsIght Forum Q3 membahas pelaksanaan climate finance di kawasan Asia dan Timur Tengah. Dalam forum tersebut, terungkap tantangan dalam pelaksanaan climate finance, yaitu terkait kondisi anggaran pemerintah dan investasi dari sektor swasta.

Dalam forum ICAEW tersebut disebutkan kawasan Eurasia dan Timur Tengah lebih intensif untuk urusan energi dibandingkan kawasan lainnya. Sebab, kebanyakan pemanfaatan listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan masih tertinggal di banyak negara di kawasan ini.

Upaya mengalihkan ketergantungan dari bahan bakar berpolusi seperti batu bara ke energi terbarukan akan menjadi tantangan besar untuk mencapai net zero. Dengan demikian, disarankan untuk repricing energi untuk menggambarkan biaya kerusakan lingkungan. 

Ini dapat dilaksanakan untuk memengaruhi lebih banyak bisnis agar menggunakan energi terbarukan sebagai pengganti bahan bakar berpolusi. Menurut Climate Action Tracker, penerapan kebijakan dan aksi nyata menanggapi perubahan iklim di Cina, Asia Tenggara termasuk Indonesia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Timur Tengah, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. 

Menurut tracker tersebut, kawasan ini masih dianggap belum memadai. Berdasarkan pengamatan, tidak semua negara siap untuk transaksi ini. 

Sebab itu, target yang lebih ambisius didorong untuk segera ditetapkan. Climate Action Tracker mencatatkan Indonesia adalah salah satu dari 14 negara yang dikategorikan sebagai negara yang sangat tidak memadai untuk urusan kebijakan iklim dan penerapannya.

Namun demikian, posisi negara Indonesia masih lebih baik jika dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya. Beberapa negara seperti Singapura, Malaysia dan Vietnam sudah berada di kategori kritis untuk urusan kebijakan iklim dan penerapannya.

Di Indonesia sendiri, sumber energi listrik masih didominasi oleh batu bara, gas alam, dan minyak pada tahun 2015. Diperkirakan, tahun 2050 nanti Indonesia baru bisa meninggalkan ketergantungan terhadap batu bara dan minyak. 

Nantinya, sumber energi listrik pada tahun tersebut akan didominasi oleh energi terbarukan, dan hanya menyisakan sedikit dari gas alam. Berdasarkan fakta tersebut, climate finance dinilai belum mampu untuk memenuhi apa yang diperlukan untuk mencapai tujuannya. 

Investasi di infrastruktur untuk energi terbarukan, teknologi elektrifikasi, dan efisiensi energi menjadi makin diperlukan. Selain itu, nilai bruto dari investasi infrastruktur tersebut, seperti yang diprediksi oleh Climate Policy Initiatives akan memakan biaya sekitar US$ 4,5-5 triliun per tahunnya.

Meskipun begitu, Conny Siahaan, ICAEW Head of Indonesia mengatakan Indonesia berpotensi besar untuk meningkatkan climate finance. Menurutnya, dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara, potensi Indonesia untuk memperkuat climate finance sangat tinggi.

“Pemerintah terus berupaya untuk mendorong seluruh pihak, terutama pemain industri dalam menurunkan kadar emisi karbon. Salah satu yang terbaru adalah rencana pemerintah dalam menyiapkan regulasi baru terkait penggunaan mobil listrik di lingkungan pemerintah dan perencanaan penerapan pajak karbon,” tutur Conny.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related