Cross-category Marketing: Strategi Efektif untuk Keluar dari Pasar Jenuh

marketeers article
cross-category marketing | sumber: 123rf

Pernahkah Anda terpikirkan bahwa merek oli dapat diasosiasikan dengan permainan sepak bola? Realitanya hal ini dapat terwujud dengan cara cross-category marketing.

Hal ini dilakukan oleh merek oli Castrol yang sejak tahun 2008 konsisten memberikan sponsor untuk ajang permainan bola terbesar di dunia, World Cup, yang disebut dengan Castrol Performance Index.

Castrol Performance Index menjadi ranking yang diberikan kepada para pemain sepak bola berdasarkan performance-nya. Kata ‘performance’ menjadi asosiasi antara kata ‘performance lubricants’ pada oli dan ‘performance’ pada sepak bola. 

Hingga saat ini, Castrol tetap giat untuk membangun ‘performance’ sebagai positioning mereka dan menjadi salah satu strategi cross-category marketing. 

Cross-category marketing merupakan strategi marketing dari sebuah brand yang mempromosikan produknya di kategori lain, tidak di kategori asalnya. 

Mengapa brand melakukan cross-category marketing?

Iwan Setiawan, CEO Marketeers dan CEO MarkPlus, Inc. dalam Program Analisis pada kanal YouTube Marketeers TV mengungkapkan empat alasan mengapa perusahaan melakukan cross-category marketing:

1. Avoid category clutter

Pada dasarnya, banyak brand yang sudah lelah bermain di kategorinya sendiri karena begitu ketatnya kompetisi dan begitu banyak pemain pada kategori tersebut. 

Hal ini membuat brand positioning yang dimiliki menjadi tidak sekuat itu karena umumnya mereka akan menggunakan media yang sama secara berulang-ulang, bahkan menggunakan influencer yang mirip. 

Iwan menyebutkan bahwa inilah yang menyebabkan munculnya clutter atau kebisingan pada kategori tersebut. 

“Untuk escape dari category clutter, biasanya mereka keluar dari kategorinya untuk melakukan campaign di kategori lain,” tutur Iwan.

Contohnya adalah Honda, merek otomotif Jepang, yang melakukan campaign di segmen gamers bersama Fortnite untuk menciptakan experience bagi para gamers. 

BACA JUGA: Berapa Marketing Budget Plan yang Tepat untuk Tahun 2024?

2. Leverage stronger brand

Ketika brand melakukan cross-category marketing, biasanya brand tersebut akan melakukan co-branding. Brand yang lebih lemah tentu akan mendapatkan asosiasi dari brand yang lebih kuat. 

Misalnya adalah brand baru skincare Dear Me Beauty yang berkolaborasi dengan KFC. KFC sebagai brand fast food yang legendaris membantu Dear Me Beauty untuk memperkenalkan brand baru yang tidak sebesar KFC kepada audiens besar yang lebih mengenal KFC. 

3. Expand target market

Ketika pasar sudah terlalu jenuh dan sulit untuk merebut pangsa pasar dari market leader, maka itulah saatnya untuk keluar dari pasar dan mengakuisisi pelanggan dari segmen lain yang mungkin tidak terlalu berhubungan dengan produk yang dimiliki. Inilah tujuan dari cross-category marketing. 

Sebagai contoh adalah luxury brand di China mulai membuka kafe, seperti merek skincare Kiehls yang membuat coffee shop dengan tujuan untuk memperluas pasar dan memperkenalkan Kiehls pada pelanggan dari segmen F&B yang berbeda jauh dari skincare. 

4. Demonstrate novelty & innovation

“Kadang-kadang ketika sebuah produk di suatu industri atau kategori sudah terkomoditi karena terlalu mirip antara satu pemain dengan pemain lainnya, biasanya cara untuk membuat nuansa baru atau novelty dan menciptakan persepsi inovasi adalah dengan bekerjasama dengan brand di kategori lain,” jelas Iwan. 

Contohnya adalah OnePlus yang berkolaborasi dengan Star Wars untuk menciptakan persepsi kebaruan atau novelty dan terkesan inovatif di kategori produk elektronik gadget

BACA JUGA: 5 Taktik Political Marketing, Strategi Raup Banyak Suara di Pemilu 2024

Tips melakukan cross-category marketing

Hal pertama yang dilakukan untuk melakukan cross-category marketing adalah dengan memahami siapa audiens Anda dari segi geografi tempat tinggal, demografi, psikografi, dan perilaku pelanggan Anda. 

Misalnya, cari tahu dimana tempat tinggal pelanggan Anda, usia, gender, tingkat pendapatan, hobi, motivasi, media sosial yang digunakan, dan lainnya. 

“Kita harus memahami kehidupan audiens kita secara lebih lengkap karena setiap orang memiliki banyak produk yang digunakan dalam kesehariannya, tidak hanya produk kita. Jika kita mengetahui produk apa lagi yang digunakan oleh audiens kita, maka kita bisa masuk ke kategori tersebut untuk melakukan cross-category marketing,” jelasnya.

Dengan begitu, Anda bisa menemukan sebuah elemen yang disebut audience similarity, yaitu Anda menemukan kategori lain di luar kategori Anda dengan audiens yang kurang lebih sama, maka Anda bisa menemukan kategori mana yang bisa Anda jajaki untuk melakukan strategi ini.

Hal ini bisa ditentukan melalui dua faktor penentu. Pertama adalah brand compatibility, yaitu ketika Anda masuk ke kategori lain tersebut, apakah Anda bisa cocok dengan brand tersebut atau tidak. 

Kedua adalah amplification opportunity, apakah ketika Anda melakukan pemasaran di kategori lain dapat memperluas jangkauan audiens Anda dan mengamplifikasi brand Anda di kategori baru tersebut. 

Iwan juga menyimpulkan bahwa jika Anda dapat memenuhi audience similarity, brand compatibility, dan amplification opportunity, maka dapat dipastikan bahwa Anda memiliki peluang untuk melakukan cross-category marketing.

Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz

BACA JUGA: 6 Tips Marketing, Tetap Relevan dan Garap Peluang Tahun 2024!

Related