Data Driven Marketing: Tugas IT atau Marketing?

marketeers article
Ilustrasi Data-driven marketing (FOTO:123RF)

Data-driven marketing menjadi salah satu terobosan baru di dunia pemasaran dengan menggunakan teknologi terbaru. Kemampuan pembacaan data yang presisi memampukan pemasar menggunakan teknik pemasaran ini untuk lebih relevan ke tingkat personal konsumen.

Data-driven marketing menurut Philip Kotler, Hermawan Kartajaya, dan Iwan Setiawan dalam buku “Marketing 5.0” adalah aktivitas mengumpulkan dan menganalisis big data dari berbagai saluran internal maupun eksternal, sekaligus membangun ekosistem untuk mendorong dan mengoptimalkan keputusan pemasaran.

Dalam pelaksanaannya, data-driven marketing membutuhkan tenaga ahli, khususnya teknologi informasi (IT). Dengan demikian tak jarang, para pemasar lepas tangan dalam proses pelaksanaannya. 

Ketiganya mengatakan meski menjanjikan, tidak banyak perusahaan yang mampu menjalankan data-driven marketing dengan benar.

BACA JUGA: Marketing Butuh Targeting, Apa Itu?

Tugas IT atau Marketing?

Jamak perusahaan berakhir dengan berinvestasi ke dalam teknologi dalam jumlah besar, namun belum memahami betul benefit dari ekosistem data yang dimiliki. Baik Kotler, Kartajaya, dan Setiawan menjabarkan ada tiga masalah besar yang menyebabkan perusahaan gagal menjalankan strategi data driven marketing.

1. Salah Pemahaman

“Perusahaan sering memperlakukan data-driven marketing sebagai tugas dari divisi IT. Ketika menjalankan strategi ini, kebanyakan perusahaan berfokus pada pemilihan software, pembuatan infrastruktur, investasi di teknologi, merekrut ahli data. Padahal data-driven marketing seharusnya menjadi pekerjaan divisi marketing. Infrastruktur teknologi harusnya mengikuti strategi marketing, bukan sebaliknya,” kata Kotler, Kartajaya, dan Setiawan dalam Marketing 5.0.

Pemasar seharusnya menjadi desainer dari proses data-driven marketing. Pasalnya, pemasar dengan tujuan pemasaran yang jelas dapat menemukan insight yang berguna bagi untuk mencapai tujuan pemasaran. Banyak peneliti data juga meyakini meski data memiliki volume yang besar, bukan berarti data memiliki insight yang besar pula.

BACA JUGA: Memahami Sustainable Marketing Enterprise dan Submodelnya

2. Bergantung penuh pada analisis big data

Analisis big data sering kali dianggap sebagai pamungkas ketika mencari sebuah terobosan baru. Tidak sedikit yang menganggap bahwa setiap masalah dalam pemasaran selesai melalui analisis big data.

Big data bukanlah alternatif dari metode riset pemasaran yang tradisional, terlebih yang memerlukan keahlian khusus seperti etnografi, usability testing, dan uji rasa. Analisis big data dan metode riset pemasaran haruslah melengkapi satu sama lain,” kata Kotler, Kartajaya, dan Setiawan.

Riset pemasaran dapat dilakukan dalam durasi waktu rutin yang sudah ditentukan dengan tujuan yang spesifik. Sementara itu, analisis big data  dapat melengkapi dengan analisis yang dilakukan secara real-time, untuk meningkatkan presisi dan kecepatan keputusan pemasaran.

3. Lepas tangan dalam proses

Jamak perusahaan yang mengira setelah memiliki ekosistem data dan analisa big data, maka keputusan pemasaran dapat dilakukan secara autopilot alias lepas tangan. Harapan dengan teknologi tersebut, pemasar dapat menemukan jawaban dan insight yang diperlukan, hanya dengan memberikan set data ke dalam mesin analisis.

“Realitanya, pemasar masih harus ikut campur tangan dalam data-driven marketing. Meskipun mesin dapat membaca pola yang tidak bisa dibaca oleh manusia, pemasar yang ahli dengan pengetahuan yang relevan dan kontekstual masih sangat diperlukan untuk menyaring dan membaca pola-pola yang ada,” tulis Kotler, Kartajaya, dan Setiawan.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related