Deretan Langkah Strategis Pacu Subtitusi Impor Sektor IKFT

marketeers article
13821327 closup of textile factory work process

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menginisiasi kebijakan substitusi impor sebesar 35% pada 2022. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki neraca perdagangan nasional, terutama bagi bahan baku dan bahan penolong yang menjadi tulang punggung industri pengolahan nasional. Selain itu, diyakini kemampuan pasokan bahan baku dan bahan penolong di dalam negeri akan meningkat.

“Substitusi impor ini diharapkan tidak hanya memacu peningkatan konsumsi bahan baku dan bahan penolong lokal, namun juga memacu industri nasional dalam mengisi kekosongan pada struktur industri yang selama ini diisi dengan cara impor,” kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam di Jakarta, Kamis (06/05/2021).

Guna mendorong kesuksesan substitusi impor tersebut, Dirjen IKFT menegaskan, mereka fokus pada penurunan impor bahan baku dan bahan penolong, serta barang jadi dari produk hilir yang secara paralel dilakukan beberapa pendekatan yang di sinergikan dengan pemangku kepentingan terkait.

“Namun yang perlu mendapatkan perhatian adalah penurunan impor bahan baku dan bahan penolong ini seyogyanya tidak menghambat produksi, terutama bagi produk hulu atau setengah jadi yang menjadi input oleh industri turunan atau hilir,” papar Khayam.

Beberapa pendekatan yang bisa dilakukan dalam kebijakan substitusi impor, antara lain perluasan industri untuk peningkatan produksi bahan baku dan bahan penolong sebagai input industri turunan. Pendekatan ini lebih ditujukan kepada produsen bahan baku eksisting, ditujukan untuk memperluas volume produksi dan kemampuan supply dalam negeri.

Kedua, investasi baru yang ditujukan ditujukan bagi para industri untuk menangkap peluang atas besarnya impor bahan baku dan bahan penolong melalui produksi bahan baku dan bahan penolong di dalam negeri.

Ketiga, dengan peningkatan utilisasi industri. Pendekatan ini merupakan salah satu outcome yang diharapkan dapat meningkatkan utilisasi industri dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor bahan baku dan bahan penolong.

“Kebijakan substitusi impor tidak bisa dicapai hanya dengan mengurangi impor saja, sehingga ketiga pendekatan tersebut menjadi penting dan prioritas dalam mencapai target substitusi impor sebesar 35% pada 2022,” jelas Khayam.

Ia menilai, sektor IKFT mampu memberikan kontribusi besar terhadap kebijakan substitusi impor tersebut. Potensi ini salah satunya ditunjukkan dari kinerja gemilang industri farmasi, obat kimia dan obat tradisional serta industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia yang pertumbuhannya pada tahun 2020 naik sebesar 9,39% (yoy).

“Sementara itu, kontribusi sektor industri kimia, farmasi dan tekstil sebesar 4,48%, dengan kontribusi terbesar adalah di industri kimia, farmasi dan obat sebesar 1,92%,” ungkap Khayam.

Sepanjang 2020, perkembangan ekspor di sektor IKFT sebesar US$33,99 miliar, dengan surplus US$89 juta. “Sumbangan ekspor terbesar dari industri pakaian jadi dan tekstil, dengan nilai USD10,63 miliar,” sebut Khayam.

Berikutnya, realisasi investasi tahun lalu di sektor IKFT menembus Rp61,97 triliun, yang didominasi oleh industri kimia dan bahan kimia. Sedangkan tenaga kerja yang bisa diserap sebesar 6,24 juta orang dengan penyerapan terbesar di industri tekstil dan pakaian jadi sebesar 3,43 juta orang.

Related