Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) memperkirakan industri tekstil Indonesia berpotensi merugi sebesar Rp 235 triliun akibat adanya gempuran barang impor dengan harga murah. Alhasil, hingga sekarang banyak perusahaan terpaksa gulung tikar.
Redma Gita Wirawasta, Ketua Umum APSyFI menjelaskan industri ini sebenarnya memiliki potensi luar biasa untuk memberikan nilai tambah ekonomi. Namun, terancam oleh maraknya impor dan barang selundupan.
BACA JUGA: Impor Ilegal Bikin 60 Perusahaan Tekstil Bangkrut, 250 Ribu Pekerja Kena PHK
Dia memberikan gambaran terkait nilai tambah tersebut, dari bahan baku seperti PX (Paraxylene) dibeli seharga Rp 5.000 per 0,30 kilogram (kg) dapat menghasilkan nilai tambah menjadi 1 kg pakaian jadi senilai Rp 104.000 atau naik hingga 2.000%.
“Dari PX yang cuma Rp 5.000 kali kuantitinya, kami beli dari Pertamina hampir 600.000 metrik ton per tahun, jadi total nilainya sekitar Rp 10 triliun. Dari Rp10 triliun itu, business size-nya bisa berkembang jadi Rp 235 triliun,” kata Redma melalui keterangan resmi, Selasa (14/1/2025).
BACA JUGA: Banjir Impor, Pengusaha Tekstil Lokal Sulit Jual 1,5 Juta Meter Bahan
Dari sisi kontribusi pajak dari industri tekstil juga signifikan. Dengan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11%, Redma memperkirakan pemerintah bisa mengumpulkan hingga Rp 25 triliun per tahun.
Angka ini menunjukkan sektor tekstil tidak hanya penting sebagai pendorong ekonomi, tetapi juga sumber penerimaan negara. Belum lagi dari kontribusi PPN impor tekstil, salah satunya komoditas kapas.
Diketahui hingga 2023, konsumsi kapas di Indonesia mencapai 611.000 metrik ton dengan harga beli Rp 31.000 per kg. Artinya, apabila impor kapas berjalan dengan benar, pajak yang dapat diterima negara sekitar Rp 18,95 triliun per tahun.
“Ini menunjukkan betapa besar multiplier effect dari industri tekstil terhadap ekonomi nasional,” katanya.
Kendati demikian, potensi ini menemui jalan buntu akibat masuknya barang impor dan selundupan, terutama pada produk kain dan garmen. Hal ini berdampak langsung pada sektor benang dan polyester, yang kini mengalami penurunan kapasitas produksi.
“Kalau baju impor masuk, berarti kain lokal tidak dibutuhkan. Akhirnya kain impor juga masuk, pabrik benang dan poliester pun terkena imbas. Padahal, kapasitas produksi polyester kita cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik, tetapi pabrik-pabrik ini malah tutup karena serbuan impor,” tuturnya.
Di sisi lain, Redma menyangsikan akurasi data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan pertumbuhan PDB per triwulan III 2024 sektor tekstil sebesar 7,43% secara tahunan (year-on-year/yoy). Hal ini karena besarnya importasi yang tidak tercatat yang tidak dimasukan dalam perhitungan neraca perdagangan sehingga otomatis dihitung sebagai produk dalam negeri, padahal itu adalah produk impor.
“Itu impor kain dan garmen yang tercatat hanya 50%, seakan neraca kita positif padahal negatifnya sangat besar, tahun ini lebih dari US$ 2,5 miliar. Faktanya pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi dimana-mana, baiknya pemerintah turun langsung verifikasi 60 perusahaan yang tutup ini biar jelas,” katanya.
Redma menegaskan pentingnya kebijakan untuk melindungi industri tekstil dari serangan impor dan selundupan. Salah satunya adalah dengan memperketat pengawasan di sektor hilir seperti kain dan garmen. Selain itu, dia mendorong pemerintah untuk memprioritaskan penggunaan produk lokal dalam berbagai proyek, termasuk pengadaan seragam sekolah dan kebutuhan pemerintah lainnya.
“Jika impor terus menggempur, pabrik lokal yang memproduksi kain, benang, polyester, PTA, Paraxylene bakal mengalami tekanan berat dan terancam mati,” ujarnya.
Editor: Ranto Rajagukguk