E-Dagang di Indonesia Tak Bisa 100% Online

marketeers article
Sumber Gambar: Linkedin.com

E-commerce atau e-dagang disebut sebagai pasar masa depan. Meskipun nilai transaksinya masih 1% dari total pasar ritel di Indonesia, namun sejumlah data memberikan harapan positif. Salah satunya mengenai jumlah pengguna smartphone di Indonesia.

Menurut Google & TNS Global Research, jumlah pengguna smartphone melonjak menjadi 74,9 juta jiwa. Per Januari 2016, jumlah pengguna internet mengalami peningkatan menjadi 88,1 juta jiwa. Dari jumlah itu, 48% merupakan pengguna internet aktit. Sedangkan, baru 20% pengguna smartphone yang memanfaatkan pirantinya untuk berbelanja online.

Artinya, masih banyak celah yang bisa digarap oleh pelaku industri niaga online agar penjualannya meningkat signifikan. Hal itu pula yang memberanikan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara untuk memperkirakan bahwa nilai perdagangan e-dagang di Indonesia tahun ini mencapai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 280 triliun.

Nilai itu lebih besar dari pencapaian tahun 2015 yang sebesar US$ 12 miliar dan tahun 2015 senilai US$ 8 milliar. Dakam kata lain, pertumbuhan tahun ke tahun mencapai 60%-70%.

Akan tetapi, itu semua masih dalam batas perkiraan. Sebab, belum ada data baku mengenai seberapa besar sebenarnya nilai pasar lapak online di Tanah Air. Mungkin yang paling masuk akal adalah laporan dari Euromonitor yang menyebut bahwa nilai transaksi e-dagang sebesar US$ 1,1 miliar, alias hanya 0,7% dari total nilai perdagangan ritel dalam negeri.

Jika di bandingkan dengan penetrasi e-dagang di dua raksasa ekonomi dunia, yaitu Tiongkok dan Amerika Serikat (AS), masing-masing mengantongi 10,6% dan 8,3%. Bisa dibilang, Indonesia adalah potensi pasar yang besar bagi industri perdagangan onlin. Namun tidak pada akselerasinya.

Banyak hambatan yang mengganjal perkembangan bisnis e-dagang nasional, baik eksternal maupun internal. Dari sisi eksternal, infrastruktur dan logistik menjadi kendala pemain e-dagang. Alhasil, mereka “numplek” berebut pasar di Pulau Jawa.

Hambatan internal terkait dengan budaya belanja online yang tidak familier, dan lagi-lagi, butuh waktu untuk mengubah habit itu. Kita semua tahu bahwa secara turun-temurun, masyarakat Indonesia menjalankan tradisi Baju Lebaran, atau membeli baju baru saat Hari Raya tiba.

Pada momen-momen itu, orang berbondong-bondong menyambangi toko baju, department store, dan pusat belanja. Yang mereka lakukan tidak sekadar membeli produk. Melainkan mewarisi sebuah pemahaman bahwa membeli adalah proses melihat-lihat barang terlebih dahulu, meraba-rabanya, lalu jika sudah cocok, baru membelinya. Kata kuncinya adalah touch & feel.

Konsep touch & feel inilah yang coba dibawa oleh pemain baru e-dagang yang berasal dari berbagai raksasa perusahaan ritel. Salah satu yang dilakukan adalah dengan menjadikan ritel fisik yang sudah ada sebagai pick-up point bagi ritel online. Fasilitas itu memungkinkan konsumen untuk mengecek dan melihat-lihat apakah produk yang dibelinya lewat online sesuai dengan kriteria produk yang dijanjikan atau tidak.

Fenomena yang disebut O2O (online to offline) ini dilakukan oleh hampir seluruh pemain e-dagang yang lahir dari ritel fisik. Sebut saja MatahariMall lewat Matahari Department Store, MAP E-Mall lewat ribuan gerai MAP, RupaRupa.com melalui Ace Hardware, Informa, dan Toys Kingdom. Serta Alfacart.com lewat Alfamart.

Tak hanya mereka, konsep O2O juga pernah diterapkan oleh Zalora, ritel mode online di bawah naungan perusahaan teknologi asal Jerman Rocket Internet. Pada akhir Desember 2014 silam, Zalora membuat “toko” fisiknya untuk pertama kali di Indonesia.

Kala itu, Zalora menawarkan pengalaman belanja offline di sebuah retail showroom yang dilengkapi dengan digital in-store experience. Pelanggan dapat mencoba dan melihat-lihat produk, namun pembeliannya dilakukan secara online lewat PC Macbook yang telah disediakan.

Haryo Suryo Putro, Chief Operating Officer & Chief Marketing Officer Alfacart.com mengatakan, fasilitas belanja online namun bayar secara offline menjadi alternatif terbaik yang ditawarkan kepada konsumen, khususnya mereka yang belum memiliki akun perbankan, tabungan, dan kartu kredit.

“Dengan kami menghadirkan pick up point di gerai Alfamart yang dikehendaki konsumen, akan semakin banyak orang berbelanja online. Sehingga, dapat mendorong pertumbuhan e-dagang di Indonesia,” tutur Haryo.

Saat ini, Alfacart telah menerapkan fasilitas tersebut di 7.000 gerainya di Indonesia yang dimiliki oleh perusahaan induk, PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (SAT).

Tak hanya gerai yang dimanfaatkan Alfacart, distribution channel (DC) atau gudang yang dimiliki SAT juga akan dimanfaatkan sebagai hub dari produk-produk yang dijual Alfacart.com, baik itu produk elektronik, mode, maupun produk yang dipasok dari UKM.

“Ini dimaksudkan agar produk semakin dekat ke konsumen. Saat ini, Alfamart memiliki 32 DC tersebar di seluruh Indonesia. Integrasi tidak hanya di gerai, namun juga di back up system,” tutur Haryo.

Catherine Hindra Sutjahyo, CEO Alfacart.com menambahkan kesalahan terbesar kebanyakan perusahaan e-dagang adalah terlalu terfokus pada pertumbuhan yang agresif demi mengejar kenaikan penjualan (top line). “Akan tetapi, mereka mengorbankan tingkat keuntungan atau bottom line. Jadi, jangan hanya growth sebesar-besarnya, namun merugi,” tandasya.

Related