Ekspansi Pusat Kebugaran Terganjal Regulasi Pemerintah

marketeers article
17155279 woman running on a treadmill in a fitness club, sport in the fitness club

Pusat pelatihan olah tubuh atau gym tengah diganderungi masyarakat perkotaan. Mulai banyaknya pusat gym di berbagai kota mengindikasikan bahwa gaya hidup ini diterima oleh masyarakat.

Akan tetapi, sejumlah pekerjaan rumah masih membebani pelaku industri tersebut. Salah satunya, masih adanya benturan antara bisnis dengan pemerintah yang menyangkut pajak.

Hendra Nugraha, VP Founder Celebrity Fitness (Celfit) mengatakan, jaringan pusat kebugarannya tak begitu terburu-buru berekspansi ke kota-kora Tanah Air. Sebab, masih banyak peraturan daerah yang menganggap gym sebagai tempat hiburan.

“Pajak gym dihitung sama dengan pajak tempat entertainment. Bahkan, di Manado, pajaknya bisa 35%,” katanya saat ditemui di sela-sela perayaan Hari Jadi ke-15 L-Men di De Leila Cafe Jakarta, Selasa, (30/8/2016).

Hendra mengungkapkan, alasan pemerintah daerah membebankan pajak gym sama dengan pajak tempat hiburan dinilainya tidak masuk akal.

“Karena gym kami memiliki spa dan steam maka kami disamakan dengan tempat hiburan. Mereka tak melihat alat olahraga yang ada di tempat itu,” teragnya.

Nasib yang sama sebenarnya pernah terjadi pada golf yang awalnya dikenakan pajak hiburan. Namun, terhitung tahun 2012, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan yang meninginkan golf sebagai bagian dari olahraga.

“Golf bisa masuk sebagai cabang olahraga sehingga pajaknya kecil. Mengapa kami, tempat pusat kebugaran tidak?,” tanyanya heran.

Padahal, sambung Hendra, banyak daerah yang menantikan sebuah pusat kebugaran berstandar dan berkualitas. “Kami tidak mewaralabakan Celfit. Sebab, sang pemilik masih memiliki modal kuat untuk mengembangkannya sendiri,” jawab Hendra.

Pemilik yang dimaksud Hendra adalah firma ekuitas asal Amerika Serikat Navis Capital Partners yang mencaplok mayoritas saham Celfit pada tahun 2007.

Navis dikenal sebagai private equity yang juga memiliki saham di Wall Street Institute, People Bank Australia, dan sempat menimang restoran cepat saji Wendy’s.

Sedangkan Celfit sendiri pertama kali hadir pada Februari 2004 di Plaza Indonesia dan dimiliki oleh sekumpulan ekspatriat, yaitu John Franklin, J. J. Sweeney, dan Mike Anderson.

Sepuluh tahun berselang, Celfit sudah menjamah empat pasar, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura dan India.

Hendra mengatakan, saat ini Celfit memiliki 37 klub yang tersebar di Medan, Batam, Palembang, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, Bali, Makassar, dan Jakarta.

“Tahun ini kami buka empat gerai baru yaitu di Pantai Indah Kapuk, Bali, Solo, dan Yogyakarta. Kami tidak mau ekspansi terlalu emosi. Kami lihat lokasi karena kami bermain di segmen B+ dan A,” ujarnya.

Meski pertumbuhan ekonomi tak bersahabat tahun lalu, Celfit cukup menjaga profitabilitas perusahan. Ia mengklaim pertumbuhan sales tahun 2015 meningkat 10%. “Di tahun-tahun biasanya, kami tumbuh 20%-30%.”

Ia menilai gym akan masih diminati oleh masyarakat Indonesia, sebab masih banyak orang belum mengenal apa itu pusat kebugaran.

“Pasar terbesar kami bukan orang yang suka ke gym. Tapi mereka yang tidak suka nge-gym. Mereka yang selama ini mengatakan bahwa gym itu membosankan,” tuturnya.

Orang seperti itu, katanya, sangat banyak di Indonesia. Sehingga, edukasi menjadi poin utama dalam menggaet pelanggan baru.

“Sisi lainnya, kami tawarkan gym yang fun, yang santai. Desain menarik, musik yang baik, serta kelas-kelas yang menyehatkan sekaligus menyenangkan,” tutup Hendra.

Editor: Sigit Kurniawan

 

Related