Emisi Karbon Jadi Ancaman Implementasi Bisnis Hijau

marketeers article
Earth is chancing due to pollution and undifferentiated trash. Save the World now. World provided by NASA

Perubahan iklim masih menjadi pembicaraan hangat diberbagai belahan dunia. Penggunaan emisi karbon dianggap menjadi faktor utama terjadinya kerusakan lingkungan yang mengarah pada perubahan iklim dan bencana alam.

Laporan DBS Group Research pada tahun 2020 bertajuk Environmental, Social, Governance: Turning Carbon Into Gold mengatakan, adanya peningkatan pada penggunaan emisi karbon di negara berkembang. Pasalnya, batu bara serta bahan bakar fosil masih menjadi instrumen utama pembangunan negara berkembang dan akan tetap digunakan hingga tahun 2035 di Asia.

Pada tahun 2019, menurut laporan Carbon Brief, Indonesia bahkan telah melampaui Australia menjadi negara pengekspor batu bara termal terbesar di dunia. Padahal, pertambangan batu bara sendiri memiliki dampak negatif pada lingkungan seperti polusi air dan udara, hingga pemanasan global.

Berdasarkan data yang dikumpilkan oleh Postdam Institute for Climate Impact Research (PIK), emisi gas rumah kaca tahunan Indonesia mencapai 2,4 miliar ton pada tahun 2015. Emisi Indonesia setidaknya mewakili 4,8% dari total emisi global dunia pada tahun tersebut.

Meski demikian, terdapat peluang baru bagi pelaku bisnis yaitu dengan mendorong pengurangan konsumsi melalui pengingkatan efisensi energi dan mengembangkan produk hijau baru yang lebih ramah pasar, hingga perluasan bisnis Energi Baru Terbarukan (EBT).

Akan tetapi, para proses transisi bisnis menjadi lebih ramah lingkungan, perusahaan yang bergerak pada bidang pertambangan, pembangkit listrik, dan eksplorasi bahan bakar fosil perlu mempertimbangkan risiko dan peluangnya.

Dalam laporan yang sama, ekonom Bank DBS memperkirakan akan ada risiko potensi penurunan pendapatan serta penurunan nilai dari aset-aset yang menghasilkan karbon tersebut yang disebabkan oleh adanya transisi ke energi ramah lingkungan. Biaya operasional juga diperkirakan dapat meningkat karena peraturan yang lebih ketat ketika pemerintah mengubah batas emisi.

Namun, tidak ada salahnya untuk melakukan transisi ke bisnis yang ramah lingkungan mengingat telah terjadi banyak bencana alam yang diakibatkan perubahan iklim. Konsumen saat ini juga telah lebih concern terhadap perubahan iklim, sehingga mengharapkan perusahaan memiliki produk yang ramah lingkungan.

Sementara itu, untuk mengontrol emisi gas rumah kaca (GRK) guna menghindari pemanasan global, pada tahun 2015, 187 negara sudah meratifikasi Persetujuan Paris (Paris Agreement), termasuk Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 314 juta ton karbon dioksida pada tahun 2030.

Editor: Ramadhan Triwijanarko

Related