Empat Cara Bangun Kreativitas Kampanye Lewat Data

marketeers article

Di tengah digitalisasi yang terakselerasi dengan sangat cepat akibat pandemi, terjadi juga perubahan dalam bagaimana seharusnya brand berinteraksi dengan konsumennya. Bisa dibilang, kini data menjadi nafas baru dari bagaimana interaksi ini dapat terbangun.

Data yang diungkapkan oleh Tushar Gidwani, Business Head Marketing Services Zilingo, kini dalam lanskap industri kecantikan di India dan Indonesia, 81% konsumennya di kisaran umum 18-35 tahun berinteraksi dengan merek pilihan mereka berdasarkan tayangan di YouTube. 27% di antaranya membeli produk kecantikan setelah menonton setidaknya dua video ulasan di platform yang sama.

Lebih lanjut, 50% konsumen di kawan ASEAN juga menggunakan media sosial dalam upaya memilih produk, terutama Instagram dan Facebook. 40% sisanya mengandalkan mesin pencarian daring untuk mencari tahu review produk sebelum membelinya.

“Tapi ini bukan hanya sebatas tentang pasar kecantikan. Data dari Dentsu Aegis membuktikan bahwa persepsi Gen-Z terhadap brand meningkat hingga 42% saat brand tersebut menggunakan Instagram untuk membangun engagement dengan konsumennya,” katanya di gelaran ASEAN Marketing Summit 2020, Senin (09/11/2020).

Media sosial menjadi kanal terbaik untuk melihat bagaimana perilaku konsumen setiap harinya. Komunitas masyarakat di Asia Tenggara kisaran umur 18-30 tahun menjadikan validasi media sosial setiap harinya. Setidaknya mereka menghabiskan 120 menit setiap hari di media sosial, terutama Instagram dengan catatan 580 juta Instagram Stories yang diunggah setiap harinya.

Akselerasi digital yang terjadi mendorong kedekatan konsumen dengan media sosial. Dari Instagram dan Facebook saja, ada 70% peningkatan penggunaan aplikasi dan 50% peningkatan views pada fitur Instagram dan Faceook Live.

“Artinya, ada dua kemungkinan. Yaitu a data heavy marketing funnel dan #dopaminedetox. Kedekatan consumer bisa menjadi corong baru yang menunjukkan, memetakan, dan menargetkan data perilaku konsumen yang lebih kaya dari sebelumnya. Atau kedekatan ini bisa menjadi cara konsumen meningkatkan kesadaran bahwa mereka harus menjauhi diri dari kecanduan sosial media,” paparnya.

Namun pada nyatanya, pasar e-commerce di Asia Tenggara meningkat pesat pada periode pandemi. Bersamaan dengannya, pelaku e-commerce berlomba-lomba memperkuat kampanyenya. Dengan tujuan tampil sebagai yang paling beda dan menarik.

Sayangnya, keunikan ini tidak dibarengi dengan hasil yang memuaskan. Tushar mengungkapkan 68% konsumen daring di Indonesia, Thailand, dan Filipina menganggap kampanye yang dilakukan e-commerce, terutama kampanye-kampanye momentum liburan membosankan. Terutama kampanye-kampanye tanggal kembar. Mereka menginginkan ide yang menghibur, kreatif, dan relevan dengan kondisinya.

Bagaimana caranya agar brand bisa keluar dari lingkaran kampanye khas e-commerce ini? Tushar memberikan empat langkah.

Pertama, bergantunglah pada data. Seperti disebutkan di awal, akselerasi digital memberikan kemungkinan pemberian corong pengumpulan data yang masif melalui media sosial. Dari sana, brand bisa membaca apa yang diinginkan oleh konsumennya.

Kedua, dari data tersebut, buatlah kampanye yang hyper-targeted. Kampanye dengan target konsumen yang tepat lebih berpengaruh dalam pembangunan engagement dibandingkan dengan target kampanye yang terlalu luas.

Ketiga, jadilah brand yang bisa menyampaikan pesan-pesan secara personal. Sehingga, konsumen merasa relevan dan dekat dengan brand.

Keempat, kondisi pandemi di mana semua orang menjadikan kanal daring sebagai sumber interaksi adalah waktu yang tepat untuk membangun awareness. Di masa ini, mereka sedang aktif-aktifnya mencari informasi. Seharusnya brand bisa masuk di tengah-tengahnya untuk menarik perhatian dengan solusi yang ditawarkan,” tutup Tushar.

Editor: Ramadhan Triwijanarko

Related