Film Bara (The Flame) Suguhkan Isu Lingkungan dan Hutan Adat

marketeers article
Aerial view of deforestation. Rainforest being removed to make way for palm oil and rubber plantations

Deforestasi atau penggundulan hutan masih menjadi permasalahan yang harus dihadapi oleh Indonesia. Dengan masifnya deforestasi, memberikan dampak yang cukup besar bagi masyarakat luas. Walaupun Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara yang memiliki hutan tropis terbesar di seluruh dunia, namun Indonesia juga menempati posisi keempat sebagai deforestasi tertinggi di dunia.

Salah satu dampak yang dirasakan oleh masyarakat diangkat melalui sebuah film dokumenter berjudul Bara (The Flame). Film tersebut merupakan film dokumenter panjang pertama yang di sutradai oleh Arfan Sabran dan di produseri oleh Gita Fara.

Bara (The Flame) menceritakan kisah perjuangan Iber Djamal, penduduk asli Kalimantan yang mempertaruhkan sepanjang hidupnya untuk mendapatkan hak waris hutan adatnya. Di sisi lain, film ini juga bertujuan untuk memaparkan isu krisis iklim dan lingkungan hidup yang telah menjadi permasalahan besar di Indonesia.

Bara (The Flame) telah tayang di beberapa festival film internasional, seperti Vision du Reel Film Festival di Swiss, DMZ Documentary Film Festival di Korea, Bifed, Ecology Film Festival di Turki. Nantinya, film ini juga akan ditayangkan perdana di Jogja NETPAC Asian Film Festival 2021 dan di Singapore International Film Festival.

Gita Fara, Produser Bara (The Flame) menyampaikan bahwa produksi film ini terbilang cukup lama. Film ini digarap dengan konsep dan alur cerita yang sangat intim. Menurutnya, film ini sangat penting untuk diteruskan dan ditonton oleh masyarakat Indonesia untuk meningkatkan awareness masyarakat mengenai perjuangan Pak Iber.

“Film ini memperlihatkan perjuangan penduduk asli Kalimantan untuk melindungi warisannya, dipadukan dengan sejarah dan investigasi tentang bagaimana deforestasi di Indonesia telah menciptakan dampak nyata bagi seluruh wilayah di hutan Kalimantan. Kami harap, film ini dapat membuka mata masyarakat untuk menyadari mengenai perjuangan Pak Iber,” jelas Gita.

Arfan Sabran, Sutradara Bara (The Flame) menceritakan alasannya mengangkat isu tersebut. Sebagai film maker yang konsisten membuat film mengenai isu lingkungan dan sosial, Arfan merasa tergugah saat bertemu dengan Pak Iber yang sedang memperjuangkan haknya dan akhirnya memutuskan untuk membuat film yang berbicara tentang isu lingkungan.

“Sebagai film maker, saya merasa terpanggil untuk mengangkat isu-isu penting dan mendasar, seperti isu lingkungan ini. Hal-hal seperti itulah yang menjadi concern saya dalam membuat karya. Lewat film ini pun saya membicarakan tentang isu lingkungan, namun dengan lebih personal, melalui cerita Pak Iber dengan keluarganya. Itu cara yang saya gunakan,” papar Arfan.

Film ini  berkolaborasi dengan Yayasan Dian Sastrowardoyo (YDS) dan Sejauh Mata Memandang (SMM) agar sampai ke masyarakat luas. Dengan kolaborasi ini,  diharapkan pesan dari film ini dapat terdengar ke masyarakat luas melalui berbagai kampanye dan bisa meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mendukung pelestarian hutan adat di Indonesia.

Salah satu kolaborator, yaitu Dian Sastrowardoyo, pendiri YDS mengatakah bahwa Bara (The Flame) dapat menjadi salah satu alat edukasi yang efektif kepada seluruh masyarakat Indonesia Sebab, film ini memberikan gambaran nyata mengenai permasalahan deforestasi hutan di Indonesia.

“Saat ini, perjuangan tentang isu-isu lingkungan masih sangat minim. Melalui film ini dan dengan kami yang mencoba membantu menyuarakannya, diharapkan dapat menjadi pembuka mata hati kita semua untuk mulai bertindak bersama-sama dan menjaga pelestarian lingkungan hidup Indonesia,” kata Dian.

Senada dengan Dian, Chitra Subiyakto, pendiri Sejauh Mata Memandang menyampaikan bahwa isu lingkungan belum menjadi isu yang banyak dibicarakan. Menurutnya, untuk membuat isu tersebut menjadi mainstream sehingga dapat membuka mata masyarakat lebih jauh, perlu kolaborasi dari berbagai pihak.

“Masyarakat perlu tahu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia saat ini belum terjadi dengan baik. Indonesia itu dari Sabang sampai Merauke, namun masih banyak daerah yang belum tergapai. Dengan kolaborasi, kami ingin menyuarakan lebih luas lagi, bahwa di dunia ini ada hal lain selain tren, dan itu bisa ditonton melalui film ini,” tutup Chitra.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related