Kepergian Paus Fransiskus tak hanya meninggalkan duka, tetapi juga memantik rasa penasaran banyak orang terkait tata cara pemilihan pemimpin baru Gereja Katolik. Conclave pun kembali disebut-sebut, mengingat film ini mengisahkan tentang proses pemilihan paus.
Disutradarai oleh Edward Berger, Conclave menampilkan proses yang sakral sekaligus penuh intrik. Itulah sebabnya, tak mengherankan jika banyak penonton menganggap film ini sebagai pengalaman sinematik yang mendekati dokumenter.
Namun, seberapa akurat sebenarnya film ini? Menurut para ahli, film ini terbilang cukup akurat dan sangat rinci. Kathleen Sprows Cummings, sejarawan Katolik dari University of Notre Dame, menilai film Conclave berhasil menyeimbangkan sisi spiritual dan sisi manusiawi dari para kardinal yang ambisius.
Pendapat senada disampaikan Bill Cavanaugh, profesor Kajian Katolik dari DePaul University. Ia mengapresiasi akurasi visual dan suasana film, dari latar hingga kostum.
Meski tim produksi tak bekerja sama langsung dengan Vatikan, mereka melakukan riset mendalam.
“Mereka benar-benar berusaha keras menghadirkan akurasi, entah itu lewat wawancara dengan para kardinal, mengunjungi situs-situs penting, hingga membangun ulang Kapel Sistina di studio Cinecittà di Roma,” kata Bill, dikutip dari The Guardian, Selasa (22/4/2025).
BACA JUGA: 7 Misteri Attack on Titan yang Belum Terjawab, Pertanda Bakal Ada Spin-off?
Film ini juga menangkap dinamika percakapan antarkardinal sebelum conclave, atau dikenal sebagai general congregation. Pada tahap ini, para kardinal dari seluruh dunia, termasuk yang sudah berusia di atas 80 tahun dan tak lagi memiliki hak suara, berkumpul untuk berdiskusi mengenai masa depan Gereja.
Conclave juga memperkenalkan tokoh-tokoh yang mewakili berbagai faksi dalam Gereja, mulai dari konservatif, liberal, hingga wakil dari wilayah Global South. Meski mereka digambarkan secara karikatural, Cummings menganggap representasi ini tetap mencerminkan kenyataan.
“Memang ada kardinal yang merasa Paus Fransiskus terlalu terbuka terhadap kaum marginal, dan ada pula yang ingin melanjutkan warisannya,” ujar Cummings.
Namun tentu saja, film ini tidak bebas dari ketidakakuratan. Salah satunya adalah tokoh Kardinal Benitez, kardinal asal Meksiko yang ditunjuk secara rahasia alias in pectore dan tiba-tiba muncul sebagai kandidat paus.
Pada kenyataannya, seorang kardinal yang belum diumumkan secara resmi tidak memiliki hak untuk ikut dalam pemilihan. Peran camerlengo (pejabat sementara selama masa transisi) yang dimainkan Ralph Fiennes juga agak kabur dalam tugasnya, dan karakter biarawati yang bebas berkeliaran pada malam hari di dalam Kapel Sistina jelas mengada-ada.
BACA JUGA: Sinopsis Sah! Katanya, Film Komedi yang Angkat Tradisi Nikah Mayit
Adapun salah satu momen yang dinilai paling menyentuh adalah ketika karakter Bellini bertanya pada Lawrence soal nama paus yang akan ia ambil, dan Lawrence pun menjawab “John”. Menurut Cummings, ini menggambarkan realitas emosional para kardinal.
“Setiap dari mereka tentu pernah memikirkan hal itu, meski tak pernah mengatakannya secara terbuka. Bahkan salah satu sindiran terbaik dalam film adalah bagaimana semua kardinal berpura-pura tak ingin jadi paus, sambil saling menuding yang lain punya ambisi,” ucapnya.
Terlepas dari gambaran dalam film Conclave, Cavanaugh menegaskan misteri tetap akan menyelimuti proses pemilihan paus. Rumor tetap beredar, dan sejarah menunjukkan bahwa Gereja selalu berada di tangan manusia yang memiliki hasrat, keyakinan, dan juga kelemahan.
“Kita memang tidak akan pernah tahu secara pasti bagaimana para kardinal memberikan suaranya. Itu dirahasiakan untuk selamanya,” ujar Cavanaugh.
Editor: Ranto Rajagukguk