GSMA Tinjau Pengembangan Spektrum Frekuensi Seluler 5G di Indonesia

marketeers article
GSMA Sarankan Pengembangan Spektrum Frekuensi Seluler 5G Ditinjau Ulang. (Dok. GSMA)

GSMA, sebagai asosiasi industri seluler global, menyuarakan kebutuhan Indonesia untuk meninjau kembali, rencana pengembangan spektrum frekuensi seluler 5G yang sedang berlangsung.

Fokus utamanya adalah penetapan harga, yang mana penyesuaian dianggap krusial untuk memastikan kelancaran transformasi digital di Tanah Air.

Julian Gorman, Kepala GSMA Asia Pasifik menyampaikan keprihatinan bahwa Indonesia berpotensi kehilangan sepertiga pemasukan negara dari teknologi 5G jika harga spektrum tidak disesuaikan dengan kondisi pasar.

“Potensi sosio-ekonomi 5G, yang mencapai sekitar Rp 216 triliun, bisa terancam hilang dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dalam periode 2024-2030,” kata Gorman dalam keterangannya, Rabu (6/12/2023).

BACA JUGA: TECNO Rilis Phantom V Flip 5G, Ponsel Lipat Harga 8 Jutaan

Sejak peluncuran teknologi 5G di Korea Selatan pada tahun 2019, pengguna teknologi seluler ini telah mencapai angka 1 miliar secara global untuk akhir 2022, dengan proyeksi peningkatan menjadi 1,5 miliar dalam waktu dekat.

Dalam konteks ini, kemajuan teknologi 5G diharapkan mendorong perkembangan ekonomi digital Indonesia, mendukung ambisi menjadi salah satu ekonomi terbesar di dunia.

Meski demikian, Gorman menyoroti peningkatan biaya total spektrum tahunan bagi operator seluler di Indonesia sejak tahun 2010, yang meningkat lebih dari lima kali lipat. Hal ini disebabkan oleh biaya lelang dan biaya spektrum frekuensi terkait perpanjangan perizinan.

Namun, pertumbuhan pendapatan industri seluler di Indonesia tidak sebanding dengan penurunan pendapatan rata-rata per pengguna layanan seluler, yang turun sebesar 48% dalam periode yang sama.

BACA JUGA: Perkuat Portfolio 5G, MediaTek Rilis Cipset SoC Dimensity 8300

Gorman juga mencatat rasio biaya frekuensi tahunan dengan pendapatan operator seluler di Indonesia saat ini mencapai 12,2%, melampaui rata-rata rasio di Asia Pasifik (8,7%) dan secara global (7%).

Sebab itu, GSMA mendorong pemerintah untuk menurunkan harga tawar minimum spektrum frekuensi, mengurangi beban operator seluler dengan rasio harga yang tinggi, dan memberikan insentif untuk investasi lebih lanjut dalam pengembangan jaringan 5G.

“Dengan menurunkan harga tawar minimum, Indonesia dapat memberikan ruang untuk penetapan harga baru serta mengurangi risiko spektrum frekuensi yang tidak terpakai,” ujar Gorman.

Selain itu, GSMA merekomendasikan evaluasi dan penyesuaian formula biaya tahunan spektrum frekuensi, serta penyusunan peta jalan pembangunan teknologi seluler 5G dan generasi-generasi selanjutnya.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related