Hermawan Kartajaya: Operational Excellence Kunci Hadapi Ketidakpastian

marketeers article
Hermawan Kartajaya, Founder dan Chairman MCorp dalam acara MarkPlus Conferenece 2025 bertajuk Reimagining Market-ing: People, Technology, and Impact di Jakarta. Sumber gambar: Marketeers/Nugraha.

Dunia diproyeksikan masih akan menghadapi situasi ketidakpastian ekonomi pada tahun 2025 lantaran eskalasi geopolitik yang terus memanas. Hal ini berdampak pada berubahnya strategi pemasaran bagi pelaku industri agar bisa tetap bertahan di tengah kondisi yang tak mudah.

Hermawan Kartajaya, pakar pemasaran sekaligus Founder & Chair MCorp menjelaskan, dalam kondisi yang penuh ketidakpastian, pemasar dituntut untuk bisa tetap kompetitif, efisien, dan tangguh. Harapannya, kemampuan untuk bisa memberikan operational excellence atau keunggulan operasional bisa menjadi kunci tetap tumbuh pada saat sulit.

Operational excellence diartikan sebagai pendekatan strategis untuk menjalankan proses bisnis secara optimal dengan efisiensi maksimum, kualitas tinggi, dan kemampuan adaptasi yang cepat. Tujuannya adalah menciptakan operasional yang bebas dari pemborosan, meningkatkan produktivitas, dan memberikan pengalaman terbaik kepada pelanggan.

Marketing memang selalu berubah dan kita sebagai pemasar harus bisa dinamis mengikuti perkembangan pasar. Untuk itu, menjadi profesional marketing saja tidak cukup tapi juga perlu operational excellence,” katar Hermawan dalam MarkPlus Conference 2025 bertajuk Reimagining Market-ing: People, Technology, and Impact di Jakarta, Kamis (5/12/2024).

BACA JUGA: Hermawan Kartajaya Bocorkan Dua Kunci Meningkatkan Daya Saing Bisnis

Sosok yang akrab disapa HK ini menyebut, dengan melakukan operational excellence, industri bisa membuat produk-produk yang terjangkau untuk kalangan kelas menengah dan bawah atau middle of the pyramid (MOP) serta bottom of the pyramid (BOP). Berdasarkan piramida ekonomi masyarakat, kedua kelas ini merupakan yang terbesar dan merupakan konsumen paling banyak.

Secara terperinci, middle of the pyramid dihuni oleh sebanyak 17,13% populasi di Indonesia. Mereka memilki pendapatan sebesar Rp 2 juta hingga Rp 10 juta per bulan.

Secara karakteristik konsumsi, kelas itu lebih banyak membelanjakan uangnya untuk keinginan dibandingkan kebutuhan dasar. Sementara itu, bottom of the pyramid merupakan mayoritas ekonomi masyarakat dengan penghasilan kurang dari Rp 2 juta.

Adapun jumlah dari bottom of the pyramid mencapai 82,49% dari populasi di Indonesia. Secara karakteristik konsumsi, kelas itu lebih banyak membelanjakan uangnya untuk keinginan dibandingkan kebutuhan dasar.

“Agar produk-produk bisa terjangkau oleh kedua kelas itu, pemasar perlu memahami QCDS atau quality, cost, delivery, dan service. Artinya produknya harus berkualitas tapi harganya murah, kemudian pengirimannya tepat waktu dan layanan yang diberikan berkualitas,” ujarnya.

BACA JUGA: Hermawan Kartajaya Beberkan Kunci Sukses ASEAN Tahun 2025

Hermawan yang juga peraih gelar doctor honoris causa (HC) dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mencontohkan salah satu merek yang berhasil menggunakan konsep QCDS yakni BYD. Pabrikan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) asal Cina ini berhasil menjual 1,3 juta unit EV pada Agustus 2024.

Pertumbuhan penjualan sebesar 12% secara tahunan (year-on-year/yoy) itu merupakan torehan yang sangat baik lantaran kondisi ekonomi dunia tengah bergejolak. Bahkan, di Indonesia terjadi penurunan daya beli kelas menengah yang cukup signifikan pada saat itu.

“Kalau kita lihat BYD itu harganya lebih murah dibandingkan merek-merek lain, tapi mereka bisa memberikan produk dengan teknologi yang tidak kalah, mengirimkan mobil baru sesuai janji, dan memberikan layanan yang baik. Strategi-strategi tersebut telah berkontribusi pada reputasi yang lebih baik,” pungkasnya.

Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz

Related

award
SPSAwArDS