Hilirisasi Nikel Diklaim Sukses, Ekspor Ditargetkan Tembus Rp 440 Triliun

marketeers article
Sumber gambar: 123rf

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengklaim kebijakan hilirisasi industri untuk meningkatkan nilai tambah komoditas nikel berjalan dengan sukses. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya ekspor besi baja sebagai salah satu produk turunan nikel hingga 18 kali lipat.

Arus Gunawan, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri (BPSDMI) Kemenperin mengungkapkan pada tahun 2021 ekspor produk olahan nikel mampu menembus Rp 306 triliun. Angka tersebut melesat jauh dibanding capaian tahun 2014 sekitar Rp 16 triliun. 

Pada tahun ini, pemerintah menargetkan ekspor tersebut bisa menanjak di angka Rp 440 triliun.

“Untuk menunjang sektor industri smelter nikel agar lebih produktif dan berdaya saing, salah satunya diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten seperti operator alat berat,” kata Arus melalui keterangannya, Rabu (24/8/2022).

Menurutnya, untuk mengejar target peningkatan ekspor pemerintah melakukan penandatangan nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia guna memenuhi kebutuhan SDM. Kerja sama ini juga melibatkan salah satu unit pendidikan di bawah naungan BPSDMI Kemenperin, yakni Akademi Komunitas Industri Manufaktur di Bantaeng, Sulawesi Selatan.

“Program Setara D1 Operator Alat Berat akan diselenggarakan selama satu tahun di AK-Manufaktur Bantaeng dan lulusannya langsung ditempatkan bekerja dalam rangka meningkatkan daya saing industri,” ujarnya.

Arus menambahkan guna mendukung industri dalam penyediaan tenaga kerja kompeten, pihaknya telah menyelenggarakan pendidikan tinggi pada beberapa jenjang, mulai dari diploma sampai dengan magister terapan, termasuk program setara diploma 1 kerja sama industri. Selain itu, pendidikan setara D1 yang melibatkan industri ini dilaksanakan sebagai wujud nyata kerja sama antara pemerintah, institusi pendidikan dengan dunia industri.

“Melalui program ini diharapkan akan memperkecil competency gap antara dunia industri dengan dunia pendidikan yang akhirnya tercipta SDM industri kompeten tanpa adanya program retraining oleh industri,” ujarnya.

Arus berharap program ini dapat mengatasi permasalahan SDM industri di Indonesia, yaitu besarnya jumlah pengangguran terbuka, tingkat angkatan kerja yang masih rendah, dan produktivitas tenaga kerja yang masih rendah.

“Sebab, kebutuhan akan tenaga kerja industri hingga mencapai 600 ribu orang setiap tahun,” ucapnya.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related