HK: Kejar Target Keberlanjutan, Demarketing Bakal Jadi Tren Pemasaran

marketeers article
Hermawan Kartajaya, Founder & Chairman MCorp. (Sumber gambar: Marketeers/Nugraha.)

Dunia saat ini terus dipaksa untuk memulihkan diri dari kerusakan lingkungan dan jejak karbon atau carbon footprint dalam aktivitas sosial maupun ekonominya. Hal tersebut akan berpengaruh pada bergesernya konsumsi masyarakat.

Hermawan Kartajaya, pakar pemasaran sekaligus Founder & Chairman MCorp menjelaskan, fenomena itu berdampak pula terhadap tren pemasaran.

Pria yang akrab disapa HK ini juga berpendapat, di masa depan demarketing menjadi tren pemasaran yang dilakukan oleh brand untuk produk-produk yang tidak mengarah ke aspek-aspek 5P (people, planet, prosperity, peace, and partnership).

BACA JUGA: Dukung SDGs, Asuransi Astra Hadirkan Sarana Air Bersih di Bekasi

Kita tahu, demarketing adalah strategi pemasaran yang bertujuan untuk mengurangi permintaan atau konsumsi produk dan layanan tertentu.

Berbeda dengan pemasaran konvensional yang berfokus pada meningkatkan permintaan, demarketing bertujuan untuk mengendalikan permintaan agar sesuai dengan kapasitas produksi yang tersedia atau untuk mengurangi dampak negatif penggunaan berlebihan.

Cuan tanpa memperhatikan 5P ini apa artinya? Nanti justru jadinya tidak cuan karena barang-barang yang dijual tidak diminati konsumen yang mulai meminta produk ramah lingkungan,” kata Hermawan dalam acara HK Special Masterclass bertajuk Sustainability x Impact: Customer Management di Jakarta, Kamis (28/3/2024).

BACA JUGA: Dukung SDGs, Program DEB Pertamina Sukses Tekan 729 Ribu Ton Emisi

Menurutnya, saat ini konsumen terus menuntut brand agar melakukan pergeseran baik dari sisi produk maupun marketing menjadi lebih ramah terhadap lingkungan. Terutama terjadi pada negara-negara maju seperti di Eropa.

Hermawan menyebut, meskipun dewasa ini masih belum begitu massif permintaannya, tapi trennya terus merangsak naik. Dia mencontohkan, di Skandinavia ada salah satu orang yang memilih bunuh diri lantaran produk-produk yang dikonsumsinya belum ramah lingkungan sehingga berdampak dengan adanya gerakan sosial yang terus menggelinding seperti bola salju.

“Kejadian ini bukan pemilik perusahaannya, tapi justru customer-nya. Makanya brand harus segera melakukannya, kalau menunggu lima tahun lagi ya sudah ketinggalan,” ujarnya.

Di sisi lain, peraih gelar doctor honoris causa (H.C) pertama Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) ini mencontohkan salah satu brand yang sukses melakukan demarketing adalah Uniqlo. Merek fesyen asal Jepang ini tidak mendorong konsumen membeli produknya secara besar-besaran.

Sebagai gantinya, Uniqlo membuat produk yang lebih tahan lama dengan tujuan bisa mengurangi sampah fesyen. Bahkan, perusahaan membuat pabrik reparasi celana atau baju yang telah rusak untuk diperbaiki.

Inovasi tak berhenti di situ, guna mengurangi sampah Uniqlo melakukan pergeseran produksi yang lebih ramah lingkungan sejak dari proses hulu hingga hilir. Uniqlo mengklaim dengan teknologi terbaru, dalam memproduksi satu celana hanya membutuhkan satu centong air.

“Zaman dulu orang selalu dipaksa beli, walaupun mereka tidak membutuhkan. Tapi sekarang justru sebaliknya dan Uniqlo berani mengorbankan dirinya sendiri yang justru menjadi pembeda dengan produk-produk lainnya,” tutur Hermawan.

Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz

Related