Hermawan Kartajaya Membeberkan Strategi Brand Hadapi Perang Dagang AS dan Cina

Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina terus memanas. Sejak Donald Trump kembali menjadi Presiden AS pada Januari 2025, dia telah menerapkan tarif sebesar 145% untuk produk asal Cina yang masuk ke AS.
Tak tinggal diam, Beijing menanggapi hal itu dengan menerapkan tarif balasan sebesar 125% untuk produk asal AS. Kendati demikian, Xi Jinping, Presiden Cina pun menilai perang dagang tak menguntungkan siapapun.
Perang dagang ini diperkirakan bakal mengancam keberlanjutan bisnis bagi merek-merek yang memiliki pasar besar di kedua negara tersebut. Meski begitu, Hermawan Kartajaya, Bapak Marketing Indonesia yang juga Founder & Chair of MCorp memiliki resep jitu untuk menjaga performa penjualan di tengah perang tarif.
BACA JUGA: Operational Excellence di Era Digital: Optimalkan QCDS untuk Keberlanjutan Bisnis
Hermawan menjelaskan, untuk bisa keluar dari perang tarif merek harus bisa menerapkan QCDS alias quality, cost, delivery, dan service dengan baik. Dalam hal quality, merek harus bisa memproduksi barang berkualitas dengan harga semurah mungkin.
Dengan kata lain, efisiensi operasional atau operational excellence menjadi kunci merek bisa memproduksi barang murah tapi berkualitas. Kemudian, cost produksi juga harus lebih rendah dari merek lain.
Dari sisi delivery atau penyampaian produk ke tangan konsumen, harus dilakukan secepat mungkin. Lalu tiga langkah ini dikombinasikan dengan service atau layanan terbaik.
“Setiap perusahaan harus punya rencana QCDS yang jelas saat kondisi seperti sekarang. Semua harus punya jiwa entrepreneur dan menerapkan operational excellence sebagai solusi di tengah ketidakpastian,” kata Hermawan dalam The 104th Jakarta CMO Club di Jakarta, Rabu (23/4/2025).
Menurutnya, Cina menjadi negara yang paling sukses menerapkan QCDS dengan baik. Sehingga industri manufakturnya berkembang dengan sangat pesat.
BACA JUGA: Hermawan Kartajaya: QCDS Bukan Sekadar Strategi, tapi Fondasi Daya Saing
Hermawan bahkan menyebut, hampir sebagian besar produk manufaktur dunia dibuat di Cina. Termasuk pula barang-barang yang masuk ke AS.
Di sisi lain, Paman Sam justru tengah mengalami kesulitan meningkatkan produksi manufaktur lantaran banyaknya masalah yang ada di dalam negera tersebut.
Alhasil, mereka lebih banyak mengimpor barang. Bahkan, sejumlah merek AS memproduksi barangnya di Cina.
“Amerika sekarang ini banyak mafia industrinya, jadi mereka banyak mengimpor dari Cina karena memang lebih murah,” ujarnya.
Lebih lanjut, Hermawan menjelaskan, langkah selanjutnya ketika sudah melakukan QCDS adalah meningkatkan inovasi.
Cara ini bisa dilakukan dengan menciptakan teknologi-teknologi terbaru yang semakin meningkatkan produktivitas dengan modal yang paling murah.
“Cina itu sudah masuk ke tahap inovasi. Teknologi di sana sudah bersaing dengan Amerika, dari smartphone hingga mobil listrik mereka sudah sangat berkualitas,” ujarnya.
Editor: Eric Iskandarsjah Z