marketeers article
Ilustrasi (123rf)

Oleh Hermawan Kartajaya, Founder and Chairman M Corp.

WHY: MACHINE VS HUMAN

Bulan Agustus ini, MarkPlus, Inc. kembali mengadakan Indonesia MarkPlus Festival (IMF) di beberapa kota. Setelah dua tahun sebelumnya dilaksanakan secara virtual, akhirnya tahun ini kami bisa menyelenggarakannya kembali secara tatap muka. 

Tentu dengan tetap memperhatikan protocol kesehatan. Tahun ini, rencananya IMF hadir di enam kota besar di Indonesia mulai dari Denpasar, Semarang, Bandung, Manado, Pekanbaru, dan Surabaya.

IMF pertama tahun ini diselenggarakan di Hotel Harris Sunset Road, Denpasar, pada hari Kamis, 11 Agustus 2022. Wakil Gubernur Bali, Dr. Ir. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, M.Si atau yang kerap disapa Cok Ace resmi membuka acara ini melalui kata sambutan yang dibacakan oleh Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali.

Dalam acara tersebut, saya membawakan materi yang berjudul “Human 5.0”. Topik ini dilatarbelakangi adanya perkembangan teknologi yang semakin radikal, ditambah dengan dinamika politik, ekonomi, serta sosial-budaya secara global.

Dalam bidang teknologi, saya mengangkat cerita tentang chatbot besutan Google Bernama LaMDA yang diisukan telah bisa memiliki emosi layaknya manusia. Isu tersebut diangkat salah satu engineer Google yang kemudian ramai-ramai “digoreng” media. 

Meski tidak terbukti benar-benar memiliki emosi, LaMDA menunjukkan bagaimana teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang sangat canggih bisa “belajar” untuk meniru respon manusia secara emosional. Akhirnya, lawan bicara merasa seolah-seolah berinteraksi dengan manusia lain yang memiliki emosi dan rasa.

Apakah ini peluang? Atau justru ancaman bagi umat manusia? Perdebatan soal pemanfaatan artificial intelligence ini mungkin tidak akan ada habisnya.

Itulah kenapa Profesor Philip Kotler dan Christian Sarkar memasukkan “work and tech” sebagai salah satu dari tujuh isu besar yang bisa menjadi tantangan bagi dunia di masa depan. 

Mereka menyebutnya Wicked 7. Salah satu pertanyaan terbesar yang dihadapi oleh para praktisi pemasaran dengan adanya perkembangan teknologi ini adalah sejauh mana peran manusia akan bertahan di dunia bisnis? 

Akankah mesin bisa menggantikan pekerjaan yang saat ini mereka lakukan? Saya sendiri percaya bahwa tidak semua hal bisa digantikan oleh mesin. 

Tidak semua hal masih bisa dikerjakan dengan menggunakan tenaga dan pikiran manusia. Lalu, bagaimana caranya agar manusia tetap bisa berperan di masa depan? 

Saya percaya jawabannya adalah dengan menjadi Human 5.0.

WHAT: HUMANIZING THE TECHNOLOGY

Saat buku Marketing 3.0 diluncurkan pada awal tahun 2021 yang lalu, saya percaya bahwa technology harus bisa dimanfaatkan untuk humanity. Itulah yang kemudian menjadi subjudul dari buku tersebut.

Tidak hanya mendapatkan apresiasi sebagai Best Business Book in 2021 dari Soundview, buku Marketing 5.0 juga laris diterjemahkan ke berbagai Bahasa. Per hari ini, Marketing 5.0 sudah diterjemahkan ke dalam 22 bahasa, termasuk Bahasa Indonesia. 

Antusiasme dari penerbit dan pembaca mengindikasikan bahwa isu terkait “mesin vs manusia” ini sangat relevan di dunia bisnis dan pemasaran. Di dalam buku tersebut saya bersama Profesor Philip Kotler dan Iwan Setiawan berargumen bahwa kolaborasi antara manusia dan teknologi akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan hanya menggunakan manusia saja atau teknologi saja. 

Hal tersebut bisa diaplikasikan dalam konteks manajemen pelanggan, produk maupun merek. Lalu apa maksudnya “memanusiakan teknologi” (humanizing technology)?

Saya percaya bahwa berbagai teknologi baru yang muncul saat ini akan menjadi lebih powerful jika mendapatkan sentuhan manusia. Kalau hanya murni mengandalkan teknologi, pasti tidak akan ada “roh”-nya. 

Itulah kenapa riset-riset seputar transformasi digital selalu berujung kesimpulan yang sama: ini bukan soal teknologi, tapi soal manusianya!

Saya beberapa kali ngobrol dengan salah satu diaspora MarkPlus, Inc., Baby, yang kini memulai jalan entrepreneur sebagai partner Tiktok. Dia mengatakan Tiktok memang menawarkan teknologi bagi penggunanya untuk memantau respon dari follower. Tapi ini adalah teknologi yang inklusif, terbuka bagi semua pengguna. 

Artinya, agar bisa stand out from the crowd, tergantung pada kreativitas dari pengguna itu dalam menciptakan konten-konten yang unik. Jadi, ini adalah soal manusianya, bukan sekadar teknologi.

HOW: HUMAN IS CI-EL, MACHINE IS PI-PM

Untuk menjadi Human 5.0, Anda harus bisa mengintegrasikan kemampuan manusia dengan kecanggihan teknologi atau mesin. Masing-masing punya peran yang berbeda. 

Tantangannya adalah bagaimana menggabungkan keduanya secara pas. Saya selalu mengatakan bahwa mesin atau teknologi akan lebih optimal jika digunakan untuk mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan productivity, improvement, professionalism, serta management (PI-PM). 

Analoginya dalam cerita wayang ibarat para Pandawa yang posisinya elit, bertugas menjaga kestabilan dan kemapanan. Sementara itu, peran manusia akan lebih berkaitan dengan creativity, innovation, entrepreneurship, dan leadership (CI-EL). 

Analoginya adalah para Punokawan yang “nakal” dan sering melakukan terobosan di luar tatanan normal. Maka, menjadi Human 5.0 berarti menjadi individu yang bisa menggabungkan teknologi dan sentuhan manusia secara tepat. 

Anda harus bisa CI-EL dengan memanfaatkan kemampuan human, sekaligus PI-PM dengan bantuan teknologi. Contoh penerapannya bisa kita lihat dalam teknologi drone

MarkPlus, Inc. sekarang sudah punya satu orang pilot drone yang sudah memiliki sertifikasi. Kami memang sedang menjajaki kerja sama dengan NAC, perusahaan teknologi dari Thailand, untuk pemasaran produk drone buatan mereka.

Bulan lalu, kami sengaja mendatangkan satu buah drone dari Thailand. Drone dengan ukuran yang cukup besar ini khusus digunakan untuk membantu sektor pertanian. 

Dengan memanfaatkan drone, para petani bisa meningkatkan productivity lahan sekaligus melakukan improvement di sektor agrikultur. Namun, creativity dan innovation untuk pemanfaatan drone secara lebih luas tetap berada di tangan penggunanya.

Misalnya, dengan creativity serta innovation, drone bisa dimodifikasi sehingga tidak lagi hanya bisa digunakan untuk menyebarkan pupuk cair, namun juga pupuk yang berbentuk padat. Dengan kondisi petani Indonesia yang masih banyak mengandalkan pupuk padat, inovasi semacam itu tentu sangat bermanfaat bagi mereka.

Jadi, peran human-lah yang dominan untuk menangkap kebutuhan-kebutuhan konsumen di lapangan sehingga bisa diubah menjadi solusi bagi mereka. Inilah proses inovasi. 

Teknologi tetap berperan, tetapi manusialah yang memandu di depan.

Artikel ini telah tayang di Majalah Marketeers edisi September 2022.

Related