Industri Fesyen di tengah Ancaman Overproduksi dan Sustainable Product

marketeers article
PHOTO CREDIT: 123RF

Pada tahun 2017, publik marah kepada Burberry karena membakar produk senilai lebih dari US$ 37 juta. Semenjak itu, kelebihan produksi menjadi masalah yang paling merusak lingkungan di industri fesyen.

Industri fesyen sering menjadi sasaran bagi para aktivis lingkungan. Setidaknya industri ini bertanggung jawab atas 10% emisi karbon di dunia. Contohnya, mulai dari deadstock, istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan produk yang tak pernah terjual, jumlah kain yang tersisa di pabrik setelah pembatalan produksi, serta pengembalian produk yang sering dilakukan oleh konsumen.

Melihat hal tersebut, banyak merek fesyen yang menyadari perlunya menemukan solusi yang lebih berkelanjutan untuk barang-barang yang tidak terjual. Alternatif pun mulai terbentuk. Berbagai bisnis mulai menyediakan solusi bagi para merek mengubah cara bermain untuk bisnis mode yang lebih berkelanjutan.

Tidak hanya itu, beberapa merek mode fesyen juga mengubah standar industri dengan membangun model bisnis yang lebih sustainable, yaitu menggunakan kain bekas atau kain sisa untuk koleksi fesyen mereka. Serta mengurangi ketergantungan pada sumber daya mentah. Dikutip dari Vogue Business, berikut beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi overproduction.

Investaris yang Tak Terjual

Sebelumnya, merek fesyen tidak terlalu memberikan perhatian pada produk yang tidak terjual. Namun, ketika konsumen menuntut pakaian yang lebih sustainable, banyak brand mulai mencari solusinya.  Beberapa perusahaan pun telah menawarkan konsep bisnis berkelanjutan seperti Parker Lane Group yang menawarkan solusi dalam menangani kelebihan persediaan produk, serta membantu untuk memasarkan kembali pakaian atau koleksi yang tidak terjual atau mendaur ulangnya.

Selain Parker Lane Group, Optoro yang berbasis di Amerika juga menawarkan layanan serupa dengan produk yang tak terjual. Menggunakan AI dan machine learning software, platformnya dapat menandai produk yang masih dapat dijual atau perlu disumbangkan.

Meski kedua perusahaan belum bekerja sama dengan merek ternama, seperti Burberry, Kering, dan LVMH, keduanya menunjukkan kepada mereka akan potensi dari pemasaran ulang produk yang tidak terjual.

Mode Baru dari Kain Lama

Beberapa desainer fesyen melihat kesempatan dari kelebihan kain dalam rantai pasokan. Pada tahun 2013, desainer Rachel Faller memulai lini pakaian dan aksesoris wanita yang menggunakan bahan tekstil yang dibuang serta bahan-bahan yang berlebih di pabrik, bernama Tonlé.

Tidak hanya Tonlé, Paskho, label dari New York yang didirikan oleh mantan eksekutif Giorgio Armani dan Perry Ellis, Patrick Robinson juga melakukan hal yang sama. Menurut Robinson, menggunakan limbah kain dari pabrik pakaian dapat menekan pengeluaran karena harganya 20% hingga 38% lebih murah daripada kain baru.

Menggunakan material apa saja yang tersedia dapat menjadi sangat membatasi proses desain. Namun, deadstocks menjadi cara efisien untuk brand bereksperimen tanpa perlu mengembangan kain baru atau memesan bahan dalam jumlah minimum. Serta dapat mengurangi limbah kain bekas pemotongan yang tidak terpakai.

Menyelesaikan Overproduction

Vogue menulis bahwa overproduksi merupakan hasil dari persediaan musiman dan prediksi permintaan yang salah perhitungan. Sementara kelebihan persediaan dapat berasal dari kontrol kualitas yang gagal dan penarikan produk dari pasar.

Ellen MacArthur Foundation, sebuah badan amal dari Inggris yang menginisiasi gerakan Make Fashion Circular, organisasi ini percaya bahwa menyelesaikan masalah overproduksi diperlukan perubahan yang mendasar dari industri mode dan pada rencana produksi. Contohnya seperti Zara, yang sebelumnya mendapat kritikan karena mendorong industri fast fashion. Saat ini, Zara menguji produk-produk baru mereka di pasar sebelum meningkatkan produksi, membantunya menghindari pemborosan persediaan.

 

Editor: Ramadhan Triwijanarko

Related