Industri Tekstil RI Terpecah, Pengusaha Lokal Saling Sikut

marketeers article
Industri tekstil Indonesia (Foto: Wifkain)

Institute For Development of Economics and Finance (Indef) membeberkan kondisi industri tekstil nasional di sektor hulu tengah menghadapi perpecahan. Hal ini terjadi lantaran para pemainnya beda kepentingan terkait kebijakan impor bahan baku chip untuk produksi benang poliester dan serat sintetis.

Fenomena ini tengah terjadi pada Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI). Di dalam asosiasi ini, ada kelompok pengusaha yang mendukung kebijakan anti-dumping untuk membatasi impor dan mendorong industri lokal berkembang. Namun, di sisi lain, ada yang merasa proteksi berlebihan akan menyebabkan kelangkaan bahan baku yang berujung pada lesunya sektor hilir.

BACA JUGA: Digempur Barang Impor, Industri Tekstil RI Merugi Rp 235 Triliun

Bahkan beberapa produsen besar menghentikan produksi poliester mereka dan beralih ke impor bahan baku. Beberapa perusahaan besar yang sebelumnya beroperasi penuh dalam rantai produksi dari bahan mentah hingga produk jadi, kini memilih menghentikan lini produksi mereka dan membeli chip impor.

“Industri tidak hanya sulit untuk menjual produknya di pasar domestik, tetapi yang terjadi juga pada akhirnya perang di antara sesama para pelaku domestik. Ini terjadi karena kebijakan importasi kita, kebijakan importasi yang dibiarkan begitu saja,” ujar Andry Satrio, Kepala Center of Industry Indef melalui keterangan resmi, Senin (24/2/2025).

BACA JUGA: Impor Ilegal Bikin 60 Perusahaan Tekstil Bangkrut, 250 Ribu Pekerja Kena PHK

Fenomena ini tentu menimbulkan dilema bagi industri karena jika impor dibiarkan tanpa proteksi, maka produsen lokal akan semakin terpinggirkan. Akan tetapi jika impor dibatasi, akan terjadi kekurangan bahan baku di dalam negeri akibat banyaknya pabrik yang berhenti produksi.

Andry menyebut, kebijakan impor yang tidak berpihak pada industri tekstil dalam negeri ini merupakan konsekuensi dari regulasi yang tidak mengalami perubahan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Sebab itu, pemerintah dinilai perlu menghilangkan mindset yang hanya mendukung salah satu sektor dalam industri tekstil, baik itu hulu maupun hilir.

“Untuk mencapai hilirisasi diperlukan sektor hulu yang kuat. Kalau misalnya sektor hulunya tidak kuat, hilirisasinya malah ditopang oleh produk-produk impor. Itu menurut saya bukan mencerminkan ketahanan industri yang diharapkan,” tutur dia.

Lebih lanjut, Andry menyoroti ketidaksepahaman antara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) RI dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI dalam merumuskan kebijakan yang mendukung industri tekstil nasional. Perbedaan fokus di antara kedua kementerian tersebut justru menciptakan persaingan internal yang menghambat pertumbuhan industri.

Hal ini tercermin dari ketidakjelasan Revisi Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Padahal, kata Andry, regulasi terkait larangan terbatas ini dinantikan oleh pelaku industri agar mendapatkan perlindungan dan kepastian keberlangsungan usaha.

“Berkali-kali rapat dilakukan antara Kemendag dan Kemenperin, tapi sampai sekarang belum ada aturan baru yang jelas. Padahal para pelaku industri sudah lama menunggu kepastian,” katanya.

Ke depan, lanjutnya, diharapkan kebijakan yang diambil dapat lebih berpihak pada industri domestik secara menyeluruh. Pemerintah diharapkan tidak hanya memberikan wacana terkait hilirisasi, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan yang dibuat benar-benar mendukung ketahanan industri nasional.

“Tentu diharapkan industri ini tetap solid, termasuk perusahaan dan pelaku usaha yang ada di dalamnya,” kata Andry.

Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz

Related

award
SPSAwArDS