Ini Penyebab Merger dan Akuisisi di Indonesia Lesu

marketeers article
Tren merger dan akuisisi (M&A) secara global mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Pada kuartal pertama tahun ini, nilai valuasi M&A hampir sama dengan tahun 2007 yang merupakan periode terbesar M&A di dunia. Sepanjang tahun 2015, tujuh dari sepuluh transaksi besar M&A telah terjadi selama enam bulan terakhir.
 
Iklim merger dan akusisi yang positif itu nyatanya tidak dirasakan 100% oleh Indonesia. Hal ini salah satunya dipicu oleh dampak Pemilu 2014 yang membuat sejumlah investor wait & see hingga kondisi stabil. Alasan lainnya, banyak keputusan pemerintah yang membuat aksi M&A sempat terhenti. Seperti aturan mengenai pembatasan kepemilikan asing dalam jasa pengeboran minyak dan gas (migas), baik onshore (di atas tanah) maupun offshore (di atas laut).
 
“Peraturan soal saham asing di bank nasional hanya boleh 40%, serta kandasnya akuisisi DBS Bank dengan Danamon, membuat transaksi M&A di sektor perbankan pada tahun 2014 sangat menurun,” kata Bruce Delteil, Merger & Acquisition (M&A) Lead for Asia Pacific Accenture, di Jakarta, Selasa, (11/8/2015).
 
Bruce memaparkan, di ASEAN, tren merger dan akusisi masih berjalan positif. Pada tahun 2014, jumlah merger dan akuisisi di kawasan ini meningkat sekitar 12% atau US$ 68,4 miliar, dengan jumlah transaksi mencapai 1.751 kasus. Sebagian besar merger dan akuisisi tersebut terjadi pada enam bidang usaha, antara lain keuangan, energi dan listrik, properti, teknologi, dan bahan baku.
 
Sedangkan di Indonesia, valuasi merger dan akusisi pada tahun lalu hanya mencapai US$ 9 miliar, atau setengah dari torehan tahun 2007 yang sebesar US$ 18 miliar. “Tahun 2015 akan menjadi tahun yang sedikit di atas 2014 tapi belum bisa me-recovery M&A di Indonesia,” tuturnya.
 
Menurutnya, pertumbuhan dan stabiitas ekonomi, nilai mata uang yang stabil, serta konsolidasi industri menjadi faktor yang mendorong pertumbuhan M&A di Indonesia. Sampai saat ini, katanya, 60% merger dan akuisisi di Indonesia dilakukan oleh pihak asing. 
 
Ia melanjutkan, masih ada harapan aksi M&A berskala besar terjadi di Indonesia, khususnya di sektor telekomunikasi GSM dan ritel. Sebaliknya, kemungkinan kecil menghinggapi industri perbankan dan asuransi. “Kami berharap lebih banyak ritel melakukan M&A tahun ini. Sedangkan, industri telekomunikasi akan bisa terjadi, tapi tidak dalam tahun ini. Mungkin terjadi pada satu atau dua tahun ke depan,” kata pria asal Prancis ini.
 
Bruce menambahkan, “Di sisi lain, jika merger dan akuisis terjadi di industri perbankan pada tahun ini, setidaknya itu terjadi pada bank-bank kecil.”
 
Ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN digulirkan, Indonesia harus siap bahwa pada tahun 2020 nanti, asing boleh memiliki 70% aset perusahaan dalam negeri di industri apa pun. Sebab itu, kata Bruce, Indonesia perlu memiliki kebijakan investasi yang lebih fleksibel. Ia yakin, M&A mampu membawa keuntungan bagi iklim ekonomi suatu negara.
 
“Level M&A yang rendah menyiratkan pertanyaan tentang dinamika industri di negara itu. Tanpa M&A, tidak ada perbaikan yang bisa dilakukan industri. Sebaliknya, lewat M&A, Indonesia akan memiliki perusahaan besar yang skalanya mampu menyaingi perusahaan regional dan global,” terang Bruce.
 
Bruce pun optimistis, pada tahun 2016 nanti, iklim merger dan akuisisi di Indonesia mengalami pertumbuhan yang positif.

Related