Inovasi Bakmi Jawi Mbak Hardjo Bikin Makanan Kalengan

marketeers article

Ada potensi besar yang dimiliki oleh usaha asal Indonesia yang harus diperhatikan pelaku usaha, yaitu kreativitas dan kekhasan. Indonesia memiliki berbagai macam suku bangsa dan budaya yang kerap menjadi inspirasi pengembangan usaha. Keberagaman lanskap alam dan sumber daya yang berbeda-beda di setiap daerah pun bisa dimanfaatkan sebagai ide segar untuk menembus pasar dunia.

Hal ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Bambang Tri Mulyono, Pemilik Bakmi Jawi Mbaj Hardjo. Sebagai pengusaha, ia menginginkan usahanya berkembang secara pendapatan dan cakupan pasar. Namun, akan sangat biasa jika pengembangan ini hanya dilakukan dengan menambah cabang.

Perhatian Bambang justru tertuju pada potensi kuliner terhadap pasar pariwisata. Ia melihat sendiri bagaimana konsumennya rela datang ke Yogyakarta hanya untuk menyantap bakmi jawa khas Jogja. Saat sudah di kedai pun, konsumen kerap harus menunggu berjam-jam sebelum disajikan. Dari sana, Ia sadar bahwa sebenarnya kuliner khas pun bisa dikembangkan sebagai produk oleh-oleh dengan penyajian yang mudah, kualitas yang tidak kalah dengan hidangan langsung di kedai, bergizi, dan tahan lama.

“Potensi pariwisata produk kuliner ini sangat besar. Saya melihat sendiri orang-orang datang datang ke Jogja,  mengunjungi kedai kuliner khas yang dirindukan, lalu kembali ke kota asal atau meneruskan perjalanan ke daerah yang sebelumnya ingin dituju. Akhirnya, saya berpikir bagaimana jika kuliner khas bisa dijual dalam kemasan yang lebih praktis, namun tidak mengurangi kualitas kekhasannya di daerah asal,” tutur Bambang.

Bertahun-tahun Bambang mengembangkan bakmi jawa kalengan yang bisa didistribusikan lebih luas lagi dan bisa menjadi produk oleh-oleh khas Yogyakarta. Dalam perjalanannya, tentu ada masa-masa kegagalan hingga akhirnya Ia menemukan metode pengalengan makanan yang tepat dengan metode pemanasan tinggi sehingga produknya awet hingga satu tahun.

Tidak sampai di sana, tantangan juga datang saat Ia harus memasarkan Bakmi Jawi Mbah Hardjo dalam kemasan kaleng. Bambang berusaha membangun kepercayaan konsumennya bahwa produk makanan kalengnya ini aman dan memiliki rasa yang sama dengan yang ada di kedai. Ia mengambil langkah berani dengan melegalisasi produknya untuk menadapatkan cap sertifikasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan logo halal dari MUI. Pada tahun 2019, Bambang sudah bisa memasarkan produk makanan kalengnya yang legal dan memiliki jaminan produk baik.

“Ternyata animonya sangat besar, terutama sebagai alat pelepas rindu jika konsumen tidak bisa ke Jogja untuk menyantap bakmi otentik dan sebagai produk oleh-oleh. Respons yang positif ini membuat kami yakin untuk mengembangkan produk lain. Sekarang, sudah ada tongseng dan rica ayam khas Jogja dalam kemasan kaleng yang juga sudah bersertifikasi BPOM. Kami sedang berusaha melegalisasi produk lain, yaitu sate domba khas Jogja dan awon khas Jogja di bawah bendera merek Bakmi Jawi Mbah Hardjo,” ungkapnya.

Jika diperhatikan, Bambang selalu menyertakan klaim ‘khas Jogja’ pada setiap produknya. Hal ini dilakukan dalam rangka branding karena masih banyak orang yang tidak memahami, bahwa ada jenis kuliner yang sama di daerah lain namun memiliki cita rasa berbeda. Ia memberikan contoh pada produk rawonnya. Jika selama ini rawon dikenal sebagai makanan khas Jawa Timur, namun sebenarnya rawon ada di semua daerah di Jawa dengan cita rasa dan metode masak yang berbeda-beda.

Sukses dengan pasar domestik, Bambang mulai melirik pasar internasional untuk memperluas cakupan pasarnya. Menurutnya, hal ini perlu dilakukan karena kuliner merupakan hal yang bisa mengalahkan negara lain di pasar ekspor. Kuliner Indonesia memiliki nilai kekhasan tersendiri yang tidak bisa dicontoh oleh negara eksportir lain dan harusnya bisa menjadi peluang untuk merebut pangsa pasar ekspor.

Bambang memanfaatkan kanal pembinaan UKM dari Pertamina. Melalui program Go Global, Ia bertemu dengan buyer internasional dan kini berhasil memasuki pasar kuliner instan di Singapura dan Hongkong. “Memang awalnya menyasar orang-orang Indonesia yang bekerja di sana, namun ternyata masyarakat aslinya juga menyukai cita rasa masakan Indonesia. Bakmi Jawi Mbah Hardjo bahkan sempat diulas oleh food vlogger ternama di Hongkong,” tambah Bambang.

Kini, Bakmi Jawi Mbah Hardjo memproduksi produk kalengan hingga 12.000 kaleng setiap bulan per menunya di luar produksi harian di kedai yang terletak di Desa Mantrijeron, DI Yogyakarta. Setiap bulannya ada masing-masing 200 hingga 300 kaleng bakmi, rica ayam, dan tongseng. Yang diekspor ke Singapura dan Hongkong. Meskipun masih sedikit, namun permintaan selalu datang dan sejak memulai ekspor di tahun 2020, Bambang tidak pernah berhenti mengirimkan produknya.

Nyatanya, keberanian Bambang untuk menciptakan inovasi baru terhadap produk kulinernya tidak hanya memperluas pasar, tapi juga membuat Bakmi Jawi Mbah Hardjo siap menghadapi pandemi. Saat pandemi melanda, pariwisata yang anjlok menimbulkan domino effect terhadap usaha yang bergantung pada sektor ini, salah satunya kuliner. Kedai bakmi tiba-tiba sepi pengunjung, namun Bambang melirik peluang e-commerce untuk menjual produknya.

“Karena memiliki kemasan kaleng, kami masih bisa terus berjualan. Omzet kedai memang turun, namun penjualan yang terus terjadi di e-commerce membuat kami tetap bisa beroperasi dan meraih pendapatan,” tutupnya.

Editor: Sigit Kurniawan

Related