Investasi Hijau Jadi Tren, Pemodal Masih Butuh Edukasi

marketeers article
Ilustrasi investasi hijau (ESG). (Sumber: 123rf)

Bursa Efek Indonesia (BEI) terus mendorong seluruh emiten untuk menerapkan prinsip Environmental Social Governance (ESG) atau tata kelola bisnis yang berkelanjutan. Selain investasi bisnis, perusahaan juga dituntut memperhatikan kelanjutan lingkungan dan sosial untuk generasi berikut.

Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi menuturkan, animo perusahaan menerapkan ESG tak lepas dari peran seluruh pemangku kepentingan. Terlebih lagi dari sisi penyedia dana pinjaman dan investor yang memasukkan aspek ESG sebagai persyaratan bagi perusahaan untuk mendapatkan suntikan dana segar. Proses penerapan prinsip ESG semakin massif dilakukan perseroan dengan meningkatnya kesadaran konsumen untuk berburu produk yang dibuat tanpa merugikan faktor lingkungan maupun sosial.

Dari pemaparan Hasan, hingga kuartal pertama tahun 2022 semua emiten di Indonesia telah menerapkan ESG. Namun, tingkatan mereka berbeda-beda tergantung dari berapa lama perseroan mengadopsi ESG. Hal itu didukung dengan adanya tututan regulasi berupa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51 Tahun 2017 yang mewajibkan seluruh emiten untuk menyampaikan laporan keberlanjutan atau sustainability report setiap tahun.

“Trennya terus meningkat. Hal ini terlihat dari manajer investasi yang menggunakan underlying index ESG. Jadi, yang terbanyak itu ditempati oleh IDX 30, LQ 45, dan ketiga adalah Green Index,” ujar Hasan kepada Marketeers, dikutip Rabu (8/6/2022).

Peningkatan tren emiten yang menerapakan ESG juga terlihat dari nilai dana kelolaan (asset under management/AUM). Tercatat, pada tahun 2021 nilainya melonjak signifikan yang mencapai Rp 3,46 triliun dari yang sebelumnya hanya Rp 42 miliar pada tahun 2016. Sedangkan secara global juga terjadi peningkatan.

Berdasarkan data United Nations of Principle of Responsible Investment (UNPRI), jumlah AUM produk investasi berbasis ESG juga meningkat dari sebesar US$ 59 triliun pada tahun 2015 menjadi sebesar US$ 121,3 triliun pada tahun 2021. Pesatnya peningkatan saham ESG menunjukkan bahwa permintaannya sangat tinggi oleh investor. Itu menunjukkan emiten yang telah menerapakan prinsip berkelanjutan memiliki saham yang likuid.

Kendati demikian, Hasan menyebut, investor di Indonesia masih membutuhkan edukasi agar potensi tersebut dapat dioptimalisasi. Sebab, budaya investasi yang dilakukan pemodal saat ini masih menjadikan profit sebagai tujuan. Sementara itu, dalam ESG yaitu membentuk budaya investasi yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial.

“Investor yang responsible dan berdampak itu adalah investor yang memperhatikan atau mengalokasikan investasinya ke perusahaan yang tidak merugikan lingkungan dan tidak berdampak sosial yang buruk, serta menerapkan tata kelola yang baik. Untuk sampai ke sana, perlu terus dibangun mulai dari awareness kesadarannya kemudian kita bangun juga pemahamannya melalui serangkaian edukasi,” ujarnya.

Dari sisi regulasi, Hasan mengklaim saat ini aturan yang dikeluarkan pemerintah sudah sangat baik. Namun, ke depan akan terus dilakukan penyempurnaan agar aplikasinya dapat berjalan optimal. Dia memperkirakan regulasi akan diperkuat baik secara umum maupun per sektor.

Tak hanya itu, insentif pajak pun akan diberikan bagi perusahaan-perusahaan yang menerapkan ESG dengan baik. Termasuk pula usaha-usaha yang berinisiatif mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) dalam proses produksi.

“Praktik ESG yang baik ini bukan menjadi pilihan tapi sudah menjadi tuntutan atau sudah menjadi keharusan karena sebetulnya dari faktor luar semua pihak yang menjadi stakeholders perusahaan sudah menjadikan kriteria ESG menjadi bagian pertimbangannya. Misalnya dari proses pendanaan dari perbankan dan investor sekarang, sudah peduli kalau perusahaan yang tidak menggunakan ESG dengan baik nanti akan kesulitan mendapat sumber permodalan,” pungkasnya.

Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz

Related