Jadi Korban Hoaks, Ini yang Harus Dilakukan Merek

marketeers article
No fake news in a bottle.

Salah satu tantangan hidup di era internet adalah menyebarnya hoaks atau kabar bohong. Hoaks meresahkan masyarakat karena menimbulkan kerugian besar, khususnya bagi para korbannya. Entah itu kerugian material, moral, ekonomi, sosial, hingga psikis.

Merek pun tidak luput dari sasaran hoaks. Ketika merek terkena hoaks, yang terjadi adalah krisis. Reputasi merek terancam hancur di mata konsumen. Reputasi yang hancur ujungnya akan memengaruhi bisnis perusahaan.

Pada pengujung Januari lalu, Marketeers juga menjadi korban hoaks. Seseorang di akun Facebooknya mengaku sebagai Human Resources Marketeers. Padahal, tidak ada karyawan Marketeers yang bernama seperti akun tersebut. Hal ini baru redaksi Marketeers ketahui ketika di internet sudah viral tentang postingan akun tersebut yang terbukti hoaks dan diprotes oleh netizen. Akun itu menyebar hoaks seputar virus Corona di Wuhan, Cina. Untungnya, Marketeers bergerak cepat sehingga dampak lebih besar hoaks itu bisa diatasi.

Ada banyak pembelajaran ketika sebuah merek terkena hoaks seperti yang dialami Marketeers. Di tengah krisis merek ini, peran public relations (PR) perusahaan diuji. Inilah tahapan bagi PR untuk melakukan pemulihan atau brand recovery. Lalu, apa saja yang harus dipahami dan dilakukan oleh PR saat merek atau perusahaan menjadi korban hoaks?

Pertama, bergerak cepat

Kecepatan menangani hoaks menjadi kunci untuk membatasi dampak yang lebih besar dari hoaks tersebut. Apalagi hoaks tersebut mudah sekali viral di internet. Sama halnya dengan virus Corona yang saat ini sedang menghebohkan dunia, tindakan cepat untuk mencegah, membatasi, sekaligus memulihkan sangat diperlukan. Kalau tidak, virus tersebut akan menyebar tak terkontrol dan menimbulkan kerusakan dan korban yang lebih besar lagi.

Memang PR tak bisa bekerja sendirian. Apalagi kalau krisis itu menyangkut sesuatu yang krusial di perusahaan. Biasanya, kasus seperti ini akan menjadi perhatian juga bagian legal, human resources, bahkan hingga CEO. Namun, itu semua tidak bisa menjadi alasan PR untuk lamban dalam merespons hoaks. Prioritas tugas PR saat hoaks muncul adalah klarifikasi. Baru kemudian melakukan proses lanjutan.

Setelah melakukan penyelidikan cepat pada kasus, Marketeers segera melakukan klarifikasi secepatnya. Marketeers menyatakan melalui berbagai media sosial, khususnya Facebook tempat hoaks itu pertama berasal, bahwa pemilik akun tersebut bukan karyawan Marketeers. Klarifikasi cepat ini membantu Marketeers dalam memulihkan brand image yang tercoreng karena hoaks tersebut.

Kedua, tidak gegabah

Bertindak cepat itu bukan berarti bertindak gegabah. Sebelum bertindak, pemilik merek perlu mempelajari lebih dulu kasus dan duduk perkaranya. Setelah dirasa cukup paham, baru kemudian bertindak.

“Memiliki data selengkap mungkin itu modal awal dalam menghadapi krisis. Setelah itu menentukan langkah apa saja yang diperlukan dan menentukan siapa yang harus dilibatkan dalam menangani krisis, terutama terkait komunikasi,” kata Yulian Warman, Chief Corporate Communication & CSR FIFGROUP seperti dikutip dari Majalah Marketeers edisi September 2018.

Ketiga, tidak menutupi

Ketika terkena krisis, perusahaan maupun merek tidak boleh menutupi hal itu dari media. Sebab, ketika isu itu terendus media dan perusahaan tidak mau terbuka, maka netizen atau jurnalis akan mencari informasi dari sumber lain. Marketeers juga melakukan publikasi tentang serangan hoaks yang menimpanya. Marketeers tidak menutupi kasus ini. Sebaliknya, membukanya ke publik karena menyangkut brand image.

“Lebih baik PR aktif dan memberikan update. Ketika perusahaan tidak proaktif, media bisa mencari narasumber lain yang tidak relevan dan akhirnya simpang siur dan reputasi merek malah semakin hancur,” kata Lawrence Tjandra, Account Support Director, Senior Consultant Inke Maris & Associates.

Keempat, jangan menggampangkan

Seorang PR tidak boleh menganggap enteng krisis yang sedang melanda merek. Patut disayangkan jika PR menganggap hoaks di internet lebih baik dibiarkan karena bakal hilang sendiri. Ini merupakan pandangan yang keliru dan sangat berbahaya. Apalagi kalau hoaks itu menyangkut reputasi perusahaan. Reputasi perusahaan yang dibangun bertahun-tahun bisa hancur sekejap gara-gara hoaks.

Kelima, memiliki literasi media yang kuat

Agar tidak bersikap menggampangkan, PR harus memiliki literasi media yang kuat. Ia harus memahami seluk beluk dunia digital dengan hoaks dan penyebarannya. Ia memahami juga regulasi atau undang-undang yang mengatur informasi. Dengan literasi kuat, PR akan dengan lincah melakukan penanganan hoaks secara tepat. Termasuk membuat konten dan memilih kanal media yang cocok untuk klarifikasi.

Selain PR, literasi media ini juga harus dimiliki oleh para manajer, direktur, hingga CEO. Paling tidak, dengan literasi media, perusahaan akan lebih siap menghadapi krisis.

Keenam, menentukan spokeperson yang tepat

Siapa yang menjadi juru bicara tergantung dari bobot krisis. Kalau sekadar klarifikasi, kepala PR sudah cukup mewakili. “Kalau sudah menyangkut kredibilitas perusahaan, CEO-nya harus turun tangan. Dan, ketika CEO-nya sendiri turun tangan, para wartawan dan pihak lain akan lebih percaya karena dialah the most trusted person dalam persoalan tersebut,” ujar Agung Laksamana, Ketua Umum BPP Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas).

Ketujuh, mengubah krisis menjadi momentum

Krisis bisa dilihat dari dua sisi. Dalam bahasa Cina, krisis disebut dengan Weiji. Weiji ini terdiri dari dua kata, Wei yang berarti bahaya dan Ji yang berarti peluang. Bagi pengelola merek yang kreatif dan optimistis, krisis yang menimpa perusahaannya bisa dijadikan peluang sekaligus momentum pemasaran yang efektif.

Dengan kasus hoaks itu, Marketeers justru semakin mendapat awareness. Orang yang sebelumnya tidak mengenal Marketeers justru mulai menaruh perhatian. Krisis diubah menjadi kampanye pemasaran gratis. Atensi audiens yang besar dikelola sedemikian rupa agar bisa mengenal lebih dalam Marketeers. Kasus hoaks yang menimpa Marketeers pun sudah diselesaikan. Pemilik akun mengakui bahwa dirinya bukan karyawan Marketeers, meminta maaf, dan mempublikasikan klarifikasinya.

Demikianlah tujuh hal yang perlu dipahami sekaligus dilakukan oleh para pengelola merek, khususnya PR, ketika sebuah hoaks menimpa perusahaannya. Intinya, tidak perlu menganggap tragedi hoaks ini sebagai kiamat bagi merek. Sebaliknya, krisis ini dipandang secara positif – tak hanya untuk brand recovery tetapi juga sebagai momentum marketing yang bagus.

 

Related