Investasi emas sering kali dianggap sebagai langkah keuangan yang aman dan menguntungkan. Namun, menurut Muhammad Findi, Pakar Kebijakan Publik dari IPB University, ada sejumlah kebiasaan yang justru bisa membuat investasi emas menjadi keputusan yang keliru.
Salah satu hal yang paling disorot Findi adalah kebiasaan membeli emas dengan cara berutang. Ia mengingatkan, meskipun emas adalah aset yang likuid, masyarakat—terutama dari kalangan ekonomi menengah ke bawah—tak seharusnya memaksakan diri sampai harus menanggung utang demi itu.
“Meskipun emas merupakan aset yang sangat likuid, saya mengimbau masyarakat agar tidak tergesa-gesa membeli emas, apalagi sampai berutang,” kata dosen dari Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen itu, dikutip dari ipb.ac.id, Jumat (9/5/2025).
BACA JUGA: 6 Perbedaan Paylater dan Pinjaman Online, Serupa tapi Tak Sama!
Ia menilai investasi emas hanya ideal jika dilakukan dengan dana dingin, yaitu dana sisa setelah seluruh kebutuhan pokok dan pengeluaran rutin terpenuhi. Sayangnya, banyak masyarakat yang justru rela mengorbankan kebutuhan sehari-hari demi mengikuti tren investasi, atau tergiur janji imbal hasil tinggi.
“Kalau kebutuhan pokok saja belum aman, membeli emas malah bisa jadi beban, bukan aset,” tegasnya.
Yang lebih mengkhawatirkan, kata Findi, tren membeli emas dengan pinjaman digital semakin marak. Kemudahan proses pinjaman justru mendorong sebagian orang mengambil utang tanpa pertimbangan matang.
Akibatnya, mereka terjebak dalam lingkaran utang, bahkan tidak jarang meminjam lagi hanya untuk membayar utang sebelumnya. Findi pun menekankan bahwa investasi seharusnya berasal dari hasil kerja keras, bukan dari utang.
BACA JUGA: 5 Kebiasaan Hemat Pendiri Google yang Patut Dicontoh
Ia mendorong masyarakat untuk kembali ke pola hidup sederhana dan realistis. Menurutnya, penting untuk menyesuaikan pengeluaran dengan pendapatan, dan hanya berinvestasi saat ada kelebihan dana.
“Tabungan dan investasi, termasuk emas, harus dilakukan saat penghasilan sudah cukup. Jangan dijadikan kebiasaan kalau harus mengandalkan pinjaman,” ujar Findi.
Lebih lanjut, ia juga mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati dalam menggunakan layanan pinjaman digital. Meski menawarkan kecepatan dan kemudahan, banyak risiko yang bisa muncul, terutama jika platform yang digunakan tidak terdaftar dan tidak diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Pastikan hanya menggunakan bank digital yang legal dan terdaftar di OJK. Meskipun cepat, tetap harus hati-hati. Jangan sampai kemudahan itu malah membuat kita gegabah,” tutupnya.