Jerih Payah Facebook Perbaiki Reputasi

marketeers article

Tech for good or tech for bad. Istilah ini bisa kita gunakan untuk menggambarkan perilaku manusia dalam menyikapi kemajuan teknologi saat ini. Seperti kita tahu, berbagai produk teknologi terus bermunculan, mulai dari platform media sosial, pesan singkat, games, analytics, Artificial Intelligent (AI), dan lainnya. Tentunya, para pencipta produk teknologi itu ingin hasil karya mereka bisa berguna dan membantu kebanyakan orang. Namun, mimpi dan harapan terkadang tidak berjalan sesuai dengan kenyataan.

Facebook menjadi salah satu media sosial yang berusia cukup lama. Sekitar 15 tahun lalu, Mark Zuckerberg melahirkan Facebook sebagai platform jejaring sosial. Banyak dari kita yang tidak ingin ketinggalan zaman, membuat akun Facebook, membuat koneksi dengan para sahabat, dan menyambung kembali tali silaturahmi. Banyak teman lama, saudara, hingga mantan pasangan yang telah lama putus hubungan, kembali terkoneksi berkat kehadiran Facebook.

Namun, lain dulu, lain sekarang. Facebook yang merupakan media sosial terbesar di dunia dengan jumlah pengguna aktif mencapai 2,45 miliar pengguna per kuartal ketiga 2019 harus menghadapi dilema. Facebook yang memiliki misi give people power to build community dan bring the world closer together justru disalahgunakan oleh sekelompok orang tertentu. Berbagai fake news dan hoax justru tersebar dengan mudah untuk memengaruhi pikiran masyarakat luas. Tujuannya agar tidak mempercayai kondisi dan fakta sesungguhnya. Inilah era yang dikenal dengan pasca kebenaran atau post-truth.

Yang pasti, Indonesia bukan satu-satunya negara di muka bumi ini yang harus menghadapi kejamnya fake news dan hoax. Negara besar juga menjadi korban dari penyalahgunaan teknologi ini. Seperti Inggris ketika menyelenggarakan referendum Brexit atau Amerika Serikat ketika menyelenggarakan pemilu yang mengakibatkan Donald Trump menang sebagai Presiden ke-45. Kondisi politik negara Asia Tenggara lain, seperti Thailand, Filipina hingga India harus merasakan kejamnya penyalahgunaan produk teknologi ini.

Jangan heran jika banyak pihak yang menyalahkan Facebook sebagai kambing hitam. Padahal Facebook hanyalah sebuah platform. Semua keputusan kembali kepada para penggunanya. Selayaknya sebuah brand yang reputasinya terancam, Facebook melakukan berbagai cara untuk memperbaikinya.

Facebook mengatakan bahwa selama dua tahun terakhir mereka telah melakukan berbagai antisipasi dalam Pemilu. Mereka melakukan blocking dan menghapus akun palsu, mencari dan menghapus akun para aktor yang dirasa menyebarkan berita palsu, serta transparansi dalam iklan politik. Beberapa pemilu yang menjadi perhatian mereka adalah Thailand, Indonesia, Australia, India, Filipina, Jepang dan Sri Lanka.

Begitu pula dalam hal keamanan. Facebook mengklaim telah menyediakan anggaran lebih dari US$ 3,78 miliar, atau lebih besar dari dana yang mereka dapatkan dalam Initial Public Offering (IPO) 2012. Mereka juga menghapus 2,2 miliar akun palsu pada kuartal pertama 2019, serta 26 juta konten yang berkorelasi dengan grup teroris dunia seperti ISIS dan al-Qaeda. “99% di antaranya ditemukan berkat tools kami, sebelum ada pihak lain yang melaporkan,” menurut laporan dari Facebook.

Untuk menghadapi fake news, Facebook juga menggandeng pihak ketiga untuk melakukan pengecekan fakta hingga kombinasi teknologi dan manusia yang bisa mendeteksi berbagai bahasa. Sedangkan untuk mengatasi ancaman dan pelecehan, Facebook menyediakan fitur SafetyHub untuk mencegah bullying di dunia online. Sedangkan di Instagram, mereka merilis Restrict yang menjadikan konten menjadi terbatas untuk dilihat.

Pada periode April hingga Juni 2019, Facebook mengatakan telah mengantisipasi 1,5 juta konten dari para pengguna yang ingin bunuh diri atau melukai diri sendiri. Akibatnya 95% dari konten yang ada bisa diantisipasi sebelum ada orang lain yang melaporkan.

Facebook pun kembali mempertegas bahwa mereka seharusnya menjadi platform yang berguna bagi dunia bisnis, khususnya Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UKM). Mereka mengklaim telah memiliki 140 juta akun bisnis yang mengandalkan Facebook sebagai platform untuk mencari customer baru, mencari karyawan, hingga engage dengan komunitas. Facebook juga menghadirkan program SheMeansBusiness yang menyasar entrepreneur perempuan, Made By Loved By yang memberdayakan UKM lokal, Boost with FB, hingga melatih 320.000 UKM di 197 lokasi.

“80% ekonomi Asia Tenggara digerakkan oleh UKM. Kami ingin menyediakan tools yang bukan hanya bisa dipakai perusahaan besar, melainkan perusahaan kecil, hingga yang baru memulai,” kata Benjamin Joe, Vice President, Southeast Asia and Emerging Contries for Facebook di APAC Press Day, Singapura.

Melalui berbagai upaya itu, Facebook ingin membangun ekonomi digital, membangkitkan UKM, literasi dalam dunia digital, dan pendidikan.

Dalam presentasinya, Facebook mencoba menegaskan bahwa teknologi seharusnya bisa berguna bagi sesama. Menurut catatan mereka, Facebook bisa menjadi platform pengumpulan dana untuk membantu sesama –di mana terdapat US$ 2 miliar dana yang terkumpul-, donor darah – terdapat 50 juta donor darah yang membantu sesama-, hingga platform bagi komunitas dengan tujuan positif–setidaknya terdapat 27 juta grup-.

Sebagai platform teknologi yang bisa digunakan secara mendunia, tentunya bukan hal yang mudah bagi Facebook untuk memperbaiki reputasinya saat ini. Apalagi, produk Facebook kian beragam, mulai dari Instagram hingga WhatsApp. Tercatat ada lebih dari 500 juta orang yang menggunakan produk mereka setiap harinya, atau 7% dari total populasi dunia. Facebook boleh saja mengantisipasi dengan berbagai cara. Tapi, semuanya akan kembali tujuan dan maksud dari masing-masing pengguna media sosial ini. Tech for good or tech for bad.

Related