Jika Hermawan Kartajaya Membaca Novel “Kiat Sukses”

marketeers article
Hermawan Kartajaya, Founder dan Chairman MCorp dalam acara Special Masterclass bertajuk Tech x Human: Product Management. (FOTO: Marketeers)

Oleh: Christina Nawang Endah Pamularsih, Program Magister Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UNSOED, Purwokerto

Hermawan Kartajaya adalah seorang pakar pemasaran yang sudah malang melintang berbicara mengenai kiat sukses dalam bisnis dan marketing. Mari kita membayangkan jika sosok seperti Hermawan ini membaca novel provokatif dengan judul “aneh,” Kiat Sukses Hancur Lebur yang ditulis Martin Suryajaya, seorang novelis dan doktor filsafat.

Sebelumnya, mari kita lihat terlebih dahulu warna-warni keistimewaan novel tersebut.

Pada 2016, Martin Suryajaya mengunjungi salah satu toko buku besar di Semarang. Melihat setiap sudut, ia terheran-heran dengan dominasi buku-buku kiat menjadi sukses, sementara buku-buku sastra dan filsafat semakin langka.

Kunjungan itu, menjadi pemicu munculnya ide untuk menciptakan narasi baru yang berakar pada sejarah sastra Indonesia, Kiat Sukses Hancur Lebur.

Gaya parodi dan satire, menghiasi kritik Martin terhadap dominasi lirisisme dalam sastra Indonesia, sambil mengeksplorasi epik modern yang mencerminkan perlawanan di abad ke-21.

Tak heran, Kiat Sukses Hancur Lebur karya Martin Suryajaya telah menarik perhatian para sastrawan dan kritikus sastra di Indonesia. Berikut merupakan beberapa gagasan dan apresiasi yang muncul dalam komentar mengenai novel ini:

1. Parodi sebagai Bentuk Perlawanan: Novel ini dianggap sebagai parodi yang menantang kemapanan prosa, khususnya dalam bentuk novel. Martin Suryajaya berani menarik genre novel ke titik paling ekstrem, menciptakan karya yang tidak biasa dan menantang norma sastra konvensional.

2. Penggunaan Gaya Bahasa yang Tidak Lazim: Gaya penulisan dalam novel yang oleh salah seorang pembaca dilukiskan sebagai “seorang pemabuk yang hampir pingsan”, menciptakan pengalaman membaca yang unik dan menantang bagi pembaca.

Pendekatan ini menambah kedalaman dan kompleksitas narasi, mendorong pembaca untuk merenungkan makna di balik gaya penulisan yang tidak konvensional.

3. Kritik terhadap Ilmu Pengetahuan dan Manajemen: Melalui tokoh Anto Labil, novel ini menyampaikan kritik terhadap berbagai disiplin ilmu, termasuk manajemen bisnis dan akuntansi.

Hal ini mengajak pembaca untuk mempertanyakan kembali relevansi dan aplikasi praktis dari ilmu-ilmu tersebut dalam kehidupan nyata.

4. Penghargaan dalam Dunia Sastra: Novel ini telah menerima penghargaan Sastra Badan Bahasa pada tahun 2018, menunjukkan pengakuan atas kontribusinya dalam dunia sastra Indonesia. Penghargaan ini menegaskan nilai artistik dan inovasi yang dibawa oleh karya Martin Suryajaya.

5. Mengundang beragam Reaksi Pembaca: Novel ini dapat menimbulkan berbagai reaksi, mulai dari kesenangan hingga kejengkelan, tergantung pada niat dan perspektif pembaca.

Hal ini mencerminkan kemampuan novel untuk memprovokasi pemikiran dan emosi yang berbeda, menjadikannya karya yang dinamis dan interaktif.

Bisa disimpulkan, Kiat Sukses Hancur Lebur dipandang sebagai karya yang inovatif dan provokatif, mendorong batas-batas genre novel dan mengajak pembaca untuk merenungkan kembali berbagai aspek kehidupan dan pengetahuan.

Hermawan Kartajaya MarkPlus Conference
Hermawan Kartajaya memaparkan Indonesia Marketing Outlook di MarkPlus Conference. (FOTO: Marketeers)

Hermawan Kartajaya adalah seorang guru pemasaran yang berbicara panjang lebar dan komprehensif mengenai kiat sukses dalam bisnis dan marketing. Saat ini, penulis artikel ini tidak tahu apakah ia membaca Kiat Sukses Hancur Lebur.

Tetapi, mari kita membayangkan dan memikirkan momen ketika Hermawan Kartajaya dengan serius membaca novel ini dan merefleksikan dirinya dan seluruh pemikiran dan gagasan marketingnya dengan mengkonfrontasikannya pada esensi pesan dari novel tersebut.

Pertama-tama dan terutama, Hermawan tidak akan memandangnya semata-mata sebagai karya sastra, melainkan sebagai bentuk komentar budaya yang bersinggungan langsung dengan kritik-kritik yang selama ini ia tujukan pada dunia pemasaran dan bisnis.

Melalui lima refleksi dirinya sebagai praktisi pemasaran, penulis artikel berimajinasi melukiskan bagaimana Kartajaya merumuskan responsnya terhadap novel ini, berikut rincianya:

1. Memahami Manusia dan Strategi Sekaligus

Hermawan kemungkinan besar akan mengapresiasi bagaimana Kiat Sukses Hancur Lebur berhasil menyusup jauh ke dalam psikologi pembaca Indonesia masa kini—khususnya mereka yang dibanjiri oleh janji-janji sukses yang seragam dan membosankan.

Pria yang akrab disapa HK bisa saja menilai bahwa penggambaran tokoh Anto Labil yang penuh satir membongkar kelemahan mendasar dalam sistem pengetahuan kontemporer: terlalu taktis penuh dengan tips, namun minim empati terhadap kecemasan eksistensial manusia.

Bagi Hermawan, kritik ini sejalan dengan kegagalan banyak kampanye pemasaran yang kerap salah membaca realitas emosional konsumennya.

Mungkin ia akan berkata, “Melalui satir, Martin menunjukkan bahwa memahami manusia lebih penting ketimbang sekadar menyusun struktur. Dunia pemasaran perlu belajar dari sini—berhentilah menjual mimpi jika belum memahami mimpi buruk di baliknya.”

2. Adaptif dan Visioner

Hermawan mungkin akan melihat Kiat Sukses Hancur Lebur sebagai respons yang sekaligus memberontak dan adaptif terhadap lanskap budaya yang penuh dengan “literatur sukses”.

Novel ini bisa dipahaminya sebagai bentuk pivot sastra—dari narasi-narasi konformis menuju ekspresi postmodern yang mengguncang.

Ini paralel dengan pandangannya bahwa dunia pemasaran pun harus berevolusi: dari sekadar berfokus pada produk (1.0) atau pelanggan (2.0), ke pendekatan yang lebih manusiawi (3.0) hingga konektif (4.0).

Ia akan mncatat,“Novel ini berhasil membongkar wacana dominan, sebagaimana Marketing 4.0 mengacaukan iklan tradisional. Ia merangkai titik-titik kekacauan, dan dengan itu, merefleksikan kebutuhan pemasaran untuk merangkul kompleksitas dan ambiguitas.”

3. Menjalani dan Menghidupi Nilai

Karya Martin, yang memparodikan janji-janji kosong dari budaya pengetahuan populer dan produktivitas semu, sejalan dengan gagasan Hermawan bahwa institusi—baik korporasi maupun sastra—harus memiliki nilai luhur yang diperjuangkan.

Ia mungkin melihat novel ini sebagai bentuk Marketing 3.0 dalam ranah sastra: bukan menjual produk atau moralitas instan, melainkan menantang asumsi sosial dan menawarkan nilai-nilai yang lebih dalam.

Hermawan mungkin akan berguman, “Martin tidak sekadar bercerita—ia membongkar kepalsuan. Inilah yang seharusnya dilakukan pemasar ketika nilai-nilai dipertaruhkan: jangan hanya mengikuti arus, tapi tantanglah arus lewat narasi yang solid dan matang.”

4. Memimpin dengan Jiwa Pelayan

Dengan menampilkan sosok protagonis yang limbung dalam dunia yang terobsesi dengan kesuksesan instan, Martin seolah mengambil posisi sebagai pemimpin pelayan dalam sastra.

Ia tidak menyodorkan solusi, melainkan menghadirkan cermin atas kontradiksi masyarakat.

HK mungkin akan menilai bahwa inilah model kepemimpinan yang harus diadopsi juga dalam pemasaran: bukan memaksakan keinginan, tetapi memfasilitasi refleksi dan pilihan etis.

Ia mungkin akan memperingatkan “Alih-alih memanipulasi kebutuhan, Martin justru membantu pembaca menemukan kembali daya pilihnya—beginilah wujud kepemimpinan pelayan dalam dunia sastra.”

5. Membangun Keterlibatan yang Bermakna

Akhirnya, Hermawan besar kemungkinan akan mengagumi bagaimana novel ini mampu memantik reaksi emosional dan intelektual yang kuat. Baginya, keterlibatan bukanlah soal interaksi semata—tetapi tentang menggugah pikiran, memicu percakapan, dan mendorong perubahan yang bermakna.

Dalam kerangka itu, Kiat Sukses Hancur Lebur bukan sekadar novel—ia adalah wadah dialog budaya.

“Keterlibatan tak selalu menyenangkan—ia bisa membuat tak nyaman. Di sinilah Martin berhasil, saat banyak pemasar justru gagal: ia memaksa kita untuk bertanya ulang.”

Hermawan Kartajaya kemungkinan besar tidak akan menolak absurditas, satire, atau ketidaknyamanan yang ditawarkan novel Kiat Sukses Hancur Lebur ini.

Sebaliknya, ia akan merayakannya sebagai produk budaya yang menghidupi prinsip-prinsip pemasaran yang ia yakini: empati, evolusi, nilai, kepemimpinan yang melayani, dan keterlibatan yang kritis.

Bahkan, ia mungkin menyarankan agar para pemasar membaca lebih banyak karya semacam ini—bukan untuk melarikan diri dari kenyataan, tetapi untuk memahami kebenaran yang tak selalu tampak dalam angka-angka.

Editor: Eric Iskandarsjah Z

Related

award
SPSAwArDS