Keberanian ANTV Hadirkan Inovasi Konten ke Untapped Market

marketeers article

Banyak orang yang memprediksi bahwa masa media televisi sudah habis. Sebagian lagi meragukan kemampuan televisi untuk bisa eksis. Ungkapan tersebut cukup beralasan mengingat kecenderungan masyarakat, terutama generasi muda, yang lebih memilih kanal-kanal digital saat mencari hiburan.  

Faktanya, prediksi tersebut tidak dan belum terbukti. Data Nielsen menunjukan pada tahun 2020 selama pandemi tingkat viewership televisi kembali meningkat. Sejak diberlakukannya kebijakan work from home (WFH) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), viewership TV rata-rata 12% lebih tinggi dari periode normal. Penonton dari segmen kelas atas juga mengalami kenaikan lebih tinggi, yaitu 14% dengan durasi menonton TV yang meningkat menjadi di atas lima jam sehari.

Hal ini diamini oleh Otis Hahijary, Vice President Director PT Cakrawala Andalas Televisi (ANTV). Menurutnya, tahun 2020 menjadi tahun yang tidak dapat diprediksi untuk industri televisi, khususnya saat Presiden Joko Widodo mulai mengumumkan kasus COVID-19 pada Maret lalu. Saat itu, proses pengambilan gambar harus dihentikan, namun di satu sisi viewership justru naik.

ANTV langsung bergerak cepat untuk membaca peta kompetisi dan menerapkan serangkaian strategi yang relevan. ANTV mengantisipasi perubahan kompetisi dengan membaca Changing Audience Preference Cycle dan berhasil mendapatkan performa yang positif.

Menurut Otis, selama COVID-19 performa ANTV secara bisnis dan audiens mengalami pertumbuhan. Meskipun sempat mengalami pelambatan terkait dengan performa tv share di periode Mei-Juni, tapi inovasi strategi dan konten yang dilakukan berhasil membuat ANTV rebound.

Salah satu kontributor terbesar disumbangkan dari seri-seri adaptasi luar negeri dan seri luar negeri. Jenis konten ini mulai diperkenalkan ke audiens oleh ANTV sejak tahun 2014, melalui serial Mahabharata. Jenis seri asing dan mitologi mulai mendapatkan atensi dari penonton di rumah.

Otis Hahijary, Vice President Director PT Cakrawala Andalas Televisi (ANTV)

“Beberapa tahun ke belakang, kami bisa menerobos pasar dengan serial konten India. Sejak Mahabharata populer, kami terus keluarkan serial mitologi India lainnya. Tren itu terus berputar layaknya tren fesyen. Cycle ini menjadi sebuah panduan bagi kami dalam menentukan arah konten,” tutur Otis.

Layaknya industri fesyen, bagi Otis pola tren konsumsi konten masyarakat Indonesia, khususnya untuk televisi sangat cepat perubahannya. Syarat untuk bisa menembus pasar tersebut dengan mengikuti apa yang diinginkan oleh penonton.

Otis mengingat ketika ia pertama kali bergabung ANTV pada 2013, ia berpikir bila ingin menembus pasar, maka tidak bisa mengandalkan strategi konten yang itu-itu saja. Saat itu, ANTV berada di posisi paling terakhir dari total delapan stasiun televisi hiburan di Indonesia. ANTV lalu melepas tayangan sepak bola Liga Indonesia yang mereka miliki. Alasannya, penonton televisi di Indonesia kebanyakan adalah perempuan sehingga harus fokus pada program hiburan dan bukan di program olahraga.

“Kami ada ide Mahabharata. Apalagi, selama puluhan tahun tidak pernah ada serial tv India masuk ke Indonesia. Setelah menjadi meledak dan mengalahkan rating Piala Dunia 2014 kala itu. ANTV dari stasiun TV papan bawah menjadi stasiun tv papan atas. Intinya, di industri TV tidak bisa kalau sekadar ngikut yang sudah ada,” jelasnya.

Kesuksesan Mahabharata diikuti dengan penayangan serial India lainnya seperti Jodha Akbar dan Uttaran. Tidak berhenti di serial India, pada tahun 2015 ANTV memopulerkan serial dari Turki seperti Abad Kejayaan, Cansu & Hazal, dan Shehrazat. Dari tahun ke tahun, ANTV memiliki tema program tahunan yang menjadi highlight di tahun tersebut. Seperti pada tahun 2017, serial lokal dan program reality show dan diikuti reality show series seperti Karma The Series pada tahun 2018. Lalu, popularitas drama serial lokal pada tahun 2019 melalui tayangan Aisyah, Fitri, dan Firasat. Tahun 2020, ANTV mengusung serial lokal yang skrip dan ceritanya mereka dapatkan dari serial-serial di negara seperti Ukraina dan Filipina.

Dengan membeli skripnya, sambung Otis, konten yang ditayangkan bisa disesuaikan dengan selera penonton di Indonesia. Untuk serial animasi, ANTV membeli konten dari Rusia dan Pakistan. Hasilnya, serial Marsha and the Bear dan Burka Avenger juga sukses di pasaran.

Every daypart is prime time, kami percaya bahwa di setiap periode di satu hari bisa dijadikan momentum menarik penonton sesuai ketersediaan pemirsa tertentu di slot tayang tersebut,” ujar peraih CIEL Medal of Distinction 2020 ini.

Pengambilan konten dari untapped market seperti India, Pakistan, Ukraina, dan Filipina ini yang dikembangkan oleh Otis dan timnya. Bahkan, ia sudah menyiapkan beberapa serial yang diambil dari negara-negara seperti Brazil dan Venezuela. Otis melarang timnya untuk membeli konten dari serial barat seperti Amerika Serikat dan Inggris. Baginya, konten dari negara barat sudah banyak di YouTube dan kepingan DVD.

“Di industri ini, kita harus masuk ke untapped market. Karena kalau sudah terlalu crowded itu harganya tidak bisa dikontrol. Selain itu proses bidding-nya juga banyak dan panjang,” katanya.

Lantas, mengapa ANTV tidak mengambil ceruk serial Korea yang memang memiliki basis penggemar yang besar. Otis memiliki alasan tersendiri, ia menilai bahwa serial Korea sudah banyak diakses melalui platform over-the-top (OTT) seperti Netflix, Viu, dan lain-lain. Alasan lainnya, banyak penggemar serial Korea ingin menonton seri favoritnya tanpa di-dubbing suaranya, dan mereka juga ingin menontonnya di jam-jam yang mereka rasa nyaman untuk menonton. Selain itu, mayoritas serial Korea memiliki umur series yang pendek hanya kisaran belasan episode. Hal ini akan sulit menarik merek untuk beriklan. Jauh berbeda dengan serial India yang mayoritas mencapai ratusan bahkan ribuan episode.

Pada sisi bisnis, masa pandemi memunculkan kebiasaan baru yang berkaitan dengan hidup sehat, sehingga berdampak pada pertumbuhan belanja iklan di beberapa kategori yang berkaitan dengan kesehatan. Jelang akhir tahun, belanja iklan para merek untuk beberapa kategori seperti fast moving consumer goods (FMCG) sudah mirip dengan masa sebelum pandemi. Salah satu medium favorit bagi para merekuntuk beriklan adalah melalui televisi.

Dalam memenangkan hati brand, Otis menerapkan konsep knowing the audience, yang mana mayoritas audiens ANTV adalah kalangan perempuan, muda, dan rapidly growing upper middle class. Dengan citra ini, merek bisa membangun hubungan dan mengkomunikasikan produknya lebih baik untuk konsumen Ibu-Ibu bersama ANTV.  Stasiun televisi ini cenderung efektif menjangkau penonton dari kalangan ibu-ibu, sehingga bisa menjadi medium yang sesuai untuk produk-produk kebutuhan keluarga.

“Inovasi yang kami lakukan menghadirkan program-program terbaik yang berbeda dengan kanal lainnya berhasil membawa ANTV sebagai kanal terkuat di market non Jakarta. Sehingga, brand bisa memperkuat consumer engagement dan expand campaign bersama ANTV,” ungkapnya.

Kesuksesan Otis membangun ANTV untuk masuk jajaran stasiun televisi papan atas tidak lepas dari sisi kreativitas, inovasi, dan kepemimpinannya. Sebagai seorang pemimpin, Otis sangat menjunjung inovasi, konsistensi, fokus pada target, mengacu pada data, dan berusaha keras untuk mencapai yang terbaik. Inovasi bagi Otis adalah kemampuan untuk menjawab tantangan pasar baik dari sisi penonton, pengiklan, dan konsumen internal.

“Kreativitas merupakan kemampuan menginterpretasikan data-data dengan tepat, baik data primer dan sekunder, dan menerjemahkannya menjadi sebuah programming portofolio. Kreativitas juga merupakan seni mensinergikan faktor non angka dengan data-data,” tutup Otis.

Related