Kemenangan China di Asian Games dan Soft Power Strategy

marketeers article

Asian Games 2018 telah memasuki babak akhir. Sebagai tuan rumah, Indonesia harus puas berada di posisi empat dengan perolehan 30 emas, 23 perak, dan 37 perunggu. Rekor ini adalah yang terbaik yang pernah diperoleh Indonesia di klasmen pertandingan olahraga antarnegara.

Namun, semua mata tertuju pada China, sebuah negara miskin tahun 1960an yang berubah menjadi negara ekonomi terbesar kedua di dunia. Bukan hanya urusan dagang, dari dulu China juga mahir dalam olahraga. Mereka berhasil mempertahankan posisi puncak di Asian Games 2018 dengan memperoleh 112 emas, 76 perak dan 53 perunggu (total 241 medali).

Posisi yang sama juga diraihnya pada Asian Games 2014 di Incheon dan Asian Games 2010 di Guangzhou. Pertanyaan selanjutnya apa yang membuat China besar dalam olahraga?

Kebanggan. Mungkin itu jawaban sederhana, namun bagi rakyat China itu adalah mandat yang bukan hanya diucap dalam kata. Bayangkan, tanpa tim yang bertanding di rumput hijau Rusia, kehadiran China begitu besar di Piala Dunia FIFA 2018. Logo sponsor perusahaan mendekorasi stadion. Lebih dari 40 ribu warga China mengunjungi kota-kota di Rusia tempat Piala Dunia diselenggarakan.

Media asal Inggris Telegraph mengatakan bahwa kepemirsaan China mengalami peningkatan saat menonton Piala Dunia. Pada tahun 2014 jumlah penonton mencapai 623 juta dari seluruh pertandingan. Kini menjadi 815 juta penonton pada tahun 2018. Itu pun hanya selama babak penyisihan grup.

Demam Piala Dunia China bukanlah hal baru. Pada awal tahun 2011, Presiden China Xi Jinping menyatakan keinginannya agar China memenuhi syarat untuk menjadi tuan rumah dan memenangkan Piala Dunia. Pada tahun 2016, China meluncurkan rencana ambisius untuk menjadikan warganya sebagai pencetak pemain sepak bola pada tahun 2050.

Banyak sekolah telah menambahkan sepak bola ke dalam kurikulum pendidikan jasmani mereka, yang mendongkrak minat olahraga ini di kalangan anak muda. Tujuan utama dari sepak bola hanya satu, yaitu memenangkan Piala Dunia di stadion milik mereka sendiri.

Namun, apa yang Xi Jinping dan Pemerintah China inginkan dari sepakbola adalah bukan sekadar trofi Piala Dunia. Cita-cita sepakbola China mencerminkan gerakan yang lebih besar, yang memposisikan olahraga sebagai soft power strategy suatu bangsa.

China telah lama memahami pentingnya citra eksternal. Ia menghabiskan sekitar US$ 10 miliar setiap tahun untuk berbagai inisiatif public relations. Proyek-proyek seperti Belt dan Road Initiative setidaknya sebagian dirancang untuk meyakinkan dunia atas peran China sebagai pemimpin dunia.

Kini, Beijing ingin menggunakan olahraga untuk meningkatkan citra China. Orang-orang suka olahraga. Kebanyakan orang memahami olahraga, atau setidaknya menganggap bahwa menonton olahraga lebih menghibur ketimbang menyaksikan berita tentang ekonomi atau politik.

Kompetisi olahraga berskala internasional adalah platform non-politis yang ideal untuk menunjukkan kepemimpinan negara tanpa harus memperlihatkan kekuatan militer. Harapannya, olahraga dapat memungkinkan China mencapai apa yang selama ini belum diraih oleh jalur perdagangan dan diplomasi, yaitu memenangkan hati dan pikiran dunia.

Logika di balik strategi ini sederhana, tetapi memprediksi keberhasilannya yang cukup sulit. Dengan menjadikan tahun 2050 sebagai acuan, diplomasi sepakbola China masih sekadar ambisi. Keberhasilan keputusan Xi Jinping untuk merangkul olahraga akan diuji terlebih dahulu oleh Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022.

China berhasil menggunakan Olimpiade untuk mempromosikan soft power-nya kepada khalayak global. Pasca Olimpiade Musim Panas Beijing 2008, jajak pendapat yang dilakukan oleh Pew Research Center menunjukkan adanya peningkatan rasa senang kepada orang China di sebagian besar negara, termasuk Amerika Serikat dan Jepang. Artinya, perhelatan Beijing 2008 adalah bentuk reintroduksi bangsa ke dalam komunitas internasional.

Olimpiade 2022

Pada tahun 2022, China kembali akan menggunakan momen Olimpiade untuk mencitrakan sebuah bangsa yang maju dan bersatu. Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022 akan menjadi momen China sebagai pemimpin yang memberi contoh kepada dunia. Ajang itu akan menampilkan visi Presiden Xi mengenai masa depan umat manusia,  yang mana China hadir sebagai pemandu jalan.

Pilihan Beijing untuk kembali mengajukan tawaran sebagai tuan rumah pertandingan musim dingin tahun 2022, terlepas dari sedikit pengalamannya dengan olahraga musim dingin, sejalan dengan ambisi tersebut. China memilih ikut tender ketika negara-negara Barat mencabut keinginannya menjadi tuan rumah. Oslo dan Stockholm menarik tawaran karena tekanan domestik.

Ini menggemakan tren dunia di mana China selalu masuk dan mengisi kekosongan. Dalam artian, apa yang tidak bisa dan tidak akan dilakukan oleh Barat, China dengan penuh semangat bakal melakukannya.

Banyak tantangan menuju Beijing 2022. Fasilitas standar olimpiade masih dalam penyelesaian. Atlet baru harus direkrut untuk mengisi 15 disiplin olahraga musim dingin. Mereka mesti dilatih cukup baik untuk memperoleh medali (China hanya mencetak sembilan medali di Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang 2018).

Selain itu, kurangnya hujan salju membuat permainan akan bergantung sepenuhnya pada salju buatan. Tetapi, kenyataan ini juga menjadikan Olimpiade Musim Dingin 2022 sebagai peluang bagus untuk memperkuat citra China yang mampu, percaya diri dan berdedikasi terhadap komitmen internasional.

Menurut Business Insider, China berencana membangun 800 resor ski dan 650 arena skating pada tahun 2022. Tujuannya adalah untuk memiliki 300 juta warga China yang terlibat dalam olahraga musim dingin pada tahun 2025.

Kemegahan upaya China untuk memberikan Olimpiade Musim Dingin spektakuler akan sangat berkesan dan meninggalkan warisan berkelanjutan. China ingin menampilkan dirinya sebagai masa depan dunia. Ia ingin menunjukkan bahwa ia stabil secara politik dan ekonomi. Ia mampu melakukan proyek internasional secara besar-besaran. Rakyat bersatu dan antusias terhadap orang asing.

Yang paling penting, Cina ingin menunjukkan kepada dunia bahwa kekuatan dan pengaruhnya yang tumbuh bisa memberikan keuntungan bagi komunitas internasional. Kita lihat saja.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related